Pandemi Global dan Imperialisme Digital
Kolom

Pandemi Global dan Imperialisme Digital

​​​​​​​Indonesia sebagai target pasar yang empuk bagi perusahaan teknologi harus mendapatkan manfaat dan keuntungan dari aktivitas pasar digital.

Bacaan 7 Menit
Hukumonline
Hukumonline

Tahun 2020 yang diwarnai pandemi global telah berakhir dan kita telah menyongsong tahun yang baru. Tetapi, pandemi nyata-nyatanya masih ada dan pandemi telah mengajarkan kehidupan manusia bagaimana untuk bertahan di tengah pandemi dengan bantuan teknologi untuk mengurangi intensitas pertemuan fisik.

Sekilas berbagai teknologi digital telah membuat kehidupan masyarakat di era industri 4.0 dan Network Society 5.0 dewasa ini. Tetapi di sisi lain kemudahan-kemudahan tersebut terdapat potensi ancaman adanya suatu imperialisme digital.

Istilah tersebut mempunyai dua konotasi, yakni (1) seakan-akan semua aktivitas harus digital sehingga jika tidak berdigital di masa ini berarti akan ketinggalan zaman, atau bahkan pengguna harus dipaksa berdigital karena suatu keadaan; (ii) kemudian pada saat bergidital pengguna justru menjadi terksploitasi atau terpaksa harus menggunakan suatu pemusatan sumber daya yang sudah dalam penguasaan suatu pihak. Situasi Covid-19 pun mempercepat terjadinya imperialisme digital. Di mana pengguna seakan dimanjakan oleh teknologi tanpa menyadari risiko yang akan timbul.

Roy (2018) mengemukakan bahwa imperialisme pada saat ini pada intinya terkait dengan permasalahan-permasalahan tahapan monopoli atas penguasaan kapital. Dalam perkembangan diskursusnya, saat ini bahkan mengarah kepada sejauh mana teknologi itu menciptakan pasar serta menjadi media arus utama dan mengubah tatanan kehidupan termasuk perilaku dan kebudayaan. Hal serupa pernah menjadi perhatian dari Heidegger (1927), Ellul (1954) dan Postman (1992). Setidaknya salah satu ciri imperialisme adalah adanya hegemoni sistem informasi dan komunikasi global dalam suatu imperium.

Hegemoni di bidang digital dapat dilihat dalam berbagai aspek, setidaknya ditandai dengan beberapa hal. Pertama, penguasaan sumber daya digital seperti kode dan sinyal (signal and code) termasuk penguasaan atas data. Kedua, dominasi dan penguasaan dari perangkat, baik itu perangkat lunak maupun perangkat keras serta aplikasinya.

Sinyal dan kode adalah unsur paling dasar yang menentukan bagaimana suatu informasi dapat dikirimkan dan diterima oleh para pihak. Kriptografi bersifat sebagai dual-use goods, yang dapat digunakan untuk kepentingan sipil dan juga militer dalam perangkat telepon genggam, jaringan telekomunikasi, berikut sistem aplikasi komunikasi yang digunakannya.

Kemandirian algoritma kriptografi yang digunakan adalah menjadi penentu keamanan dalam suatu komunikasi (secured communication) baik dengan rantai hierarkis keautentikan vertikal yang tersentral (public key infrastructure) maupun yang terdistribusi (blockchain). Sudah saatnya Indonesia memiliki serta menerapkan pengaturan tersendiri terhadap sistem kriptografi nasional.

Transmisi sinyal tentu membutuhkan penggunaan spektrum frekuensi yang ekslusif sesuai dengan perkembangan teknologi telekomunikasi itu sendiri. Faktanya dinamika dari generasi pertama sampai dengan generasi kelima (1G – 5G) telekomunikasi adalah tak lepas dari kepentingan ekonomis atas hasil riset para vendor telekomunikasi (vendor-driven).

Demikian pula dengan pelaku usaha operator telekomunikasi berizin duduk pada spektrum frekuensi sebagai penyedia infrastruktur sinyal. Jika ternyata sahamnya lebih banyak asing, tentu dapat dikatakan bahwa lebih banyak menguntungkan pihak asing.

Walhasil, baik terhadap pemancaran dan pemanfaatan signal serta keberadaan alat dan perangkat serta penyelenggaraan jaringan dan jasa telekomunikasi itu sendiri, ternyata masih lebih banyak menguntungkan asing ketimbang kemandirian lokal,

Sesuai sejarahnya, sebagai sarana militer tentunya kita tidak boleh melupakan kerentanan yang ditimbulkan oleh penggunaan internet secara sehari-hari. Snowden telah memperjelas bagaimana lembaga intelijen Amerika Serikat (AS) melakukan dan memiliki kemampuan untuk spionase setiap pihak yang terkoneksi dengan internet. Sehingga setiap pihak yang terhubung ke jaringan dapat memiliki kerentanan yang sama untuk diawasi dan di-profiling oleh bangsa asing. Kecuali, jika mampu membuat dan menyelenggarakan “root” dan enkripsi sendiri.  

Aplikasi Software dan Data

Selain pengunaan sinyal dan kode, tentu penyelenggaraan layanan jasa secara elektronik tidak akan terlepas dari keberadaan program komputer (software) dan data. Secara kebendaan keduanya adalah objek yang imateril di mana penguasaan atasnya tidak merepresentasikan suatu kepemilikan. Kepemilihan hak cipta atas software berujung kepada kewajiban pembayaran royalty income terhadap setiap penguasaan dan pemanfaatannya oleh setiap pengguna.

Lalu bagaimana halnya dengan data pribadi? Mengapa tidak diperlakukan sebagaimana layaknya kebendaan juga padahal data pribadi melekat kepada keberadaan seseorang? 

Tentunya akan menjadi persoalan hukum jika terhadap setiap penguasaan data yang bertentangan dengan hak individual dari pemiliknya. Data adalah bentuk lain dari kapital di abad ke-21 (Sadowski, 2019), karena semua hal baik fisik maupun non-fisik, eksistensi akan direpresentasikan dalam bentuk data. Secara naturalia ia akan mereprentasikan suatu kepentingan tertentu, baik terbuka, terbatas maupun rahasia.

Tentunya Indonesia dengan sumber daya alam serta jumlah penduduk terbesar ke-4 di dunia menjadi pasar sekaligus sumber kapital bagi perusahaan teknologi global. Secara teknis, suatu aplikasi yang secanggih apapun tentu tidak ada nilai manfaat ekonomisnya jika tidak disuplai dengan data.

Data Digital Economy Report 2019 dari United Nations Conference (UNCTAD, 2019). secara gamblang menunjukkan bahwa perusahaan teknologi digital terkonsentrasi secara geografis di AS dan Tiongkok. Meskipun terdapat perusahaan-perusahaan digital yang berasal dan beroperasi di pasaran negara berkembang, mereka tampaknya hanya menjadi porsi marjinal dalam ekonomi digital.

Meskipun saat ini tengah semarak hadirnya aplikasi nasional, sebagaimana dijelaskan di atas saat ini penguasaan infrastruktur digital tidak berada di tangan bangsa. Dengan pemanfaatan cloud computing, justru data diunggah dan ditampung ke dalam suatu sistem akuarium informasi global yang dapat dilihat oleh pihak yang menguasainya.

Kepercayaan pengguna terhadap produk teknologi seharusnya tidak lepas dari sejauh mana pengetahuan mereka akan resiko kerentanan kegagalan teknologi tersebut dan bagaimana hal itu telah dikelola dan/atau dimitigasi dengan baik.

Tidak ada kesempurnaan dalam teknologi sehingga seharusnya ada kepastian prosedural untuk mitigasi. Sehingga, hal tersebut tentu tidak terlepas dari kewenangan administratif terkait tidak hanya dilepaskan kepada kompetisi pasar saja.

Baru saja di pertengahan Desember lalu, pengguna di dunia dikejutkan dengan gangguan layanan Google selama satu jam. Bahkan raksasa teknologi ternyata tidak bisa mencegah 100% terjadinya kerusakan atau gangguan teknologi dan menjamin keandalan sistem elektroniknya.

Peranan Hukum melawan Imperialisme Digital

Pertanyaan berikutnya adalah bagaimana sistem hukum yang ada dapat melindungi kita semua dari kerentanan dan ketergantungan tersebut? Beberapa ahli memandang perlu untuk memikirkan kembali tentang hukum yang berlaku terkait keberadaan cyberspace. (Reed & Murray, 2018). Meskipun tidak ada suatu otoritas tunggal global, namun faktanya hukum internasional adalah terbangun dan tidak terlepas dari kedaulatan bangsa dan negaranya, namun di sisi lain ada hukum komunitas global yang lebih banyak terdikte oleh kepentingan industi dalam penyelenggaraan standar teknisnya.

Desakan global sesuai Paris Call maka internet diharapkan menjadi wadah yang ‘Trusted and Secure’. Sistem hukum harus dapat memberikan kejelasan atas source code dan fungsinya atau keandalan dan keamanan serta tanggugjawab hukumnya. Secara hukum system komunikasi yang digunakan harus dapat menjamin kaedah hukum keamanan informasi, yakni; confidentiality, integrity, availability, authorization, authenticity dan non-repudiation sehingga mempunyai nilai pembuktian secara hukum.

Terhadap aplikasi yang menyangkut hajat hidup orang banyak di Indonesia tentu perlu dikenal atau terdaftar dan layak menuntut pihak pengembang untuk menjamin akses dan ketersediaan kode sumber (source code) aplikasi.

Aturan pembukaan source code secara mandatori tidak hanya di Tiongkok dan India, ternyata wacana pembukaan kode sumber juga belakangan didukung oleh pakar AS terhadap TikTok karena aplikasi tersebut dianggap membahayakan keamanan nasional AS (Gonzales, dkk., 2020). Ironisnya, semula AS-lah yang selama ini negara berkembang yang mengharuskan aplikasi untuk membuka kode sumbernya.

Perusahaan-perusahaan teknologi multinasional, baik itu produsen hardware dan software yang terkonsentrasi di negara-negara maju menjadi permasalahan hukum tesendiri. Bagaimana bila perusahaan-perusahaan tersebut yang berada di yurisdiksi asing, bila melanggar kepentingan hukum negara (dan warga negara) negara lain, contoh Indonesia?

Kita patut mengingat skandal Cambridge Analytica, di mana perusahaan pihak ketiga melakukan profiling data Facebook tanpa persetujan pengguna. Dalam infrastruktur hardware misanya, Pemerintah negara-negara Barat telah mewaspadai potensi ancaman terhadap keamanan nasional yang ditimbulkan oleh penggunaan perangkat keras telekomunikasi. Kita tidak bisa lagi menjadi naif dengan menganggap semua teknologi itu bersifat netral. Sesungguhnya teknologi merupakan perwujudan supremasi serta hegemoni dan juga social construction of technology.

Di tengah globalisasi ekonomi digital, Indonesia tetap harus membangun ketahanan nasional melalui penguasaan teknologi dan perlindungan hukum. Tidak hanya tentang kejelasan kode sumber dan kepastian tata kelola TIK yang baik, tetapi juga termasuk perlindungan hukum terhadap pemilikan dan penguasaan atas data pribadi.

Di tahun 2020 disayangkan RUU Perlindungan Data Pribadi belum dapat disahkan oleh Parlemen. Tentunya dengan harapan baru di tahun 2021 nanti RUU PDP harus segera diwujudkan untuk menegakkan kedaulatan nasional dan perlindungan hukum yang komprehensif terhadap data pribadi warga negara.

Untuk itu hukum nasional patut melindungi kepentingan nasional Indonesia. Selain UU Ekonomi Kreatif, UU Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan Teknologi dan UU Paten, maka sudah seharusnya UU ITE dan aturan turunannya diharapkan dapat melindungi kepentingan nasional Indonesia dalam penegakan hukum ekstrateritorial. Ke depannya, kita bisa menguatkan kapasitas dan memanfaatkan fungsi Jaksa sebagai Pengacara Negara untuk berperkara di yurisdiksi asing untuk melindungi kepentingan nasional.

Begitupun juga dengan aspek perpajakan digital. Tentunya, Indonesia sebagai target pasar yang empuk bagi perusahaan teknologi harus mendapatkan manfaat dan keuntungan dari aktivitas pasar digital. Adalah langkah yang tepat Indonesia melalui Perpu No. 1/2020 dalam penanganan Covid-19, salah satunya telah memasukkan aspek pajak digital dalam aturannya. Tetapi langkah ini selayaknya tidak dalam perspektif pengenaan pajak pertambahan nilai, namun mencari celah dalam rezim perpajakan internasional untuk memungut pajak penghasilan perusahaan teknologi. Bukankah faktanya perusahaan teknologi tersebut mendapatkan penghasilannya karena ada kepastian penggunaan dari aktivitas di pasar Indonesia?

Akhir kata, tulisan singkat ini hanya ingin memberikan catatan hukum terhadap sinkronisasi hukum ekonomi dan teknologi pada tahun 2020 dalam prespektif kritis. Penulis mengkhawatirkan telah terjadi imperialisme digital, di mana hal tersebut ditandai dengan adanya dominasi penguasaan terhadap sumber daya digital, yang didukung oleh struktur hukum global.

Pandemi diprediksi akan terus ada setidaknya sampai dengan pertengahan hingga akhir tahun 2021. Seiring dengan berlangsungnya pandemi, dependensi terhadap teknologi akan terus terjadi.  Tentunya menjadi tugas kita semua untuk berpikir bersama bagaimana mengatasi atau setidaknya mengurangi ekses dari imperialisme digital ini. Semoga tahun 2021 menjadi tahun yang lebih baik.

*)Dr. Edmon Makarim, S.Kom., S.H., LL.M., adalah Dekan FHUI

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline. Artikel ini merupakan kerja sama Hukumonline dengan Fakultas Hukum Universitas Indonesia dalam program Hukumonline University Solution.

Tags:

Berita Terkait