Pandangan Pemerintah Terkait Pengujian UU Otsus Papua
Terbaru

Pandangan Pemerintah Terkait Pengujian UU Otsus Papua

Selain open legal policy, UU Otsus Papua telah sesuai dengan UUD Tahun 1945 serta memperhatikan kondisi faktual dan memaksimalkan dana otonomi khusus demi keberlanjutan pembangunan di Papua.

Agus Sahbani
Bacaan 5 Menit
Gedung MK. Foto: RES
Gedung MK. Foto: RES

Undang-Undang (UU) No.2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua Atas UU No.21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua (UU Otsus Papua) dibentuk untuk memperkuat ikatan kesatuan dan memajukan Provinsi Papua sebagai bagian sah dari NKRI. Pemerintah dan rakyat Indonesia telah sepakat menjadikan tanah Papua yang saat ini masih terdiri dari dua provinsi dan akan dimekarkan menjadi beberapa provinsi lagi sebagai daerah-daerah otonom atau dengan otonomi khusus.  

Pernyataan itu disampaikan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Moh. Mahfud MD mewakili pemerintah dalam sidang lanjutan uji materi UU Otsus Papua, yang digelar secara daring, Selasa (16/11/2021) seperti dikutip laman MK. “UU ini memuat arah pembangunan Papua secara komprehensif dengan pendekatan kesejahteraan melalui afirmasi di berbagai bidang kehidupan yakni politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Tujuan utama dari UU ini terus membangun Papua dalam rangka membangun NKRI,” jelas Mahfud di hadapan Majelis yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman.

Pemohonan ini diajukan oleh Majelis Rakyat Papua (MRP) yang diwakili oleh Timotius Murib (Ketua), Yoel Luiz Mulait (Wakil Ketua I), dan Debora Mote (Wakil Ketua II). Para pemohon memohon pengujian beberapa pasal, seperti Pasal 6 ayat (2), Pasal 6A, Pasal 28, Pasal 38, Pasal 59 ayat (3), Pasal 68A, Pasal 76 dan Pasal 77 UU Otsus Papua yang dinilainya melanggar hak konstitusional mereka sebagai orang asli Papua (OAP). (Baca Juga: Majelis Rakyat Papua ‘Gugat’ Perubahan UU Otsus Papua)

Terkait dalil Pemohon yang menyebut revisi UU Otsus Papua tidak melibatkan Orang Asli Papua (OAP), Mahfud menyebut dalam menetapkan sebuah undang-undang hanya dibutuhkan persetujuan bersama antara Pemerintah dan DPR sesuai amanat Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1-2) UUD Tahun 1945. Hal ini merupakan bagian dari hak eksklusif Presiden dan DPR. Tapi, Mahfud tidak memungkiri keterlibatan masyarakat berupa masukan dan pendapat tetap dibutuhkan dalam proses pembentukan sebuah undang-undang.

“MRP yang menjadi Pemohon pengujian dalam perkara ini tidak berhak ikut menetapkan UU ini secara final, tetapi tetap berhak menyampaikan dan didengar pendapatnya dalam proses pembentukannya dan hal itu sudah dilakukan. Seperti nanti yang akan dibuktikan di persidangan ini, baik pusat berkunjung ke daerah‑daerah, baik Kantor Kemenko atau Kemendagri menerima kunjungan MRP dan mengundang narasumber‑narasumber, semua sudah didengar. Tetapi ketetapan akhir sesuai UUD Tahun 1945 hanya DPR dan Presiden yang menetapkan,” jelas Mahfud.

Berbagai Pendekatan

Mahfud menjelaskan pembentukan UU Otsus Papua menggunakan pendekatan dari bawah ke atas dan sebaliknya terkait implementasi kebijakan dan program-programnya. Hal ini bertujuan agar terjadi akselerasi dan akurasi sesuai dengan yang diharapkan. Misalnya, dalam penggunaan otsus serta penentuan kebijakan dan prioritas program dilakukan secara bottom-up dan top-down.

“Dalam rencana  pembentukan UU pemekaran daerah khusus papua nantinya maka insiatif pengusulnya ‘dapat’ berasal dari pusat dan ‘dapat’ berasal dari daerah sesuai kebutuhan politik dan pemerintahan yang ekseleratif dan akurat atau tepat sasaran,” tegas Mahfud.

Dikatakan Mahfud, melalui pendekatan tersebut tidak menutup kemungkinan MRP dan pihak lain di Papua dapat mengambil insiatif dan menyampaikan usul pemekaran daerah di Papua. Akan tetapi, harus disesuaikan dengan kebutuhan politik dan administrasi pemerintahan, maka lembaga legislatif dapat pula mengambil inisiatif dan membuat usul sendiri secara top-down.

“Dalam kenyataan sehari-hari ternyata sering terdapat kondisi-kondisi yang menjadi dasar pembentukan dan/atau materi UU yang bersifat open legal policy tanpa harus menyebut satu persatu pasal-pasal yang dimohon pengujian ini. Sehingga, seluruh materi permohonan pengujian konstitusional ini sesungguhnya merupakan materi yang bersifat open legal policy yang telah dipertimbangkan manfaatnya dan mudharat-nya.”

Sementara itu, Dirjen Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Akmal Malik yang juga mewakili Pemerintah mengatakan DPRK dalam UU 2/2021 merupakan perubahan nomenklatur dari DPRP Kabupaten/Kota dalam UU 21/2001. Ketentuan tersebut dalam rangka untuk mengakomodasi keberadaan anggota DPRP di Kabupaten/Kota yang berasal dari OAP. Perubahan nomenklatur dilakukan agar minimnya keterlibatan OAP di DPRD Kabupaten/Kota selama ini dapat diakomodasi.

“Adanya ketentuan anggota DPRP dan DPRK diangkat dari orang asli Papua merupakan bentuk dukungan Pemerintah terhadap orang asli Papua untuk memanfaatkan perangkat demokrasi yang tersedia dalam negara modern,” ujar Akmal. 

Pemerintah juga berupaya untuk mendorong OAP agar turut berpartisipasi dalam praktik pemerintahan di Papua. Tak hanya itu, OAP juga diberikan kewenangan yang cukup luas untuk merumuskan kebijakan publik yang sesuai dengan kearifan lokal dan karakteristik masyarakat di Papua. “Dengan demikian, UU Nomor 2/2021 telah sesuai dengan UUD Tahun 1945 serta memperhatikan kondisi faktual di Papua dan untuk memaksimalkan dana otonomi khusus demi keberlanjutan pembangunan di Papua,” katanya.

Dalam persidangan sebelumnya, Pemohon menilai adanya klausul-klausul dalam pasal-pasal yang dimohonkan pengujian justru merugikan kepentingan dan hak konstitusional pemohon secara khusus kepentingan dan hak konstitusional rakyat orang asli Papua (OAP). Misalnya, perubahan dan penambahan norma baru sebagaimana diatur Pasal 6 ayat (4) dan ayat (5) UU Otsus Papua tentang Kedudukan, Susunan, Tugas, dan Wewenang Hak dan Tanggung Jawab Keanggotaan Pimpinan dan Alat Kelengkapan DPRP dan DPRK sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan justru menciptakan ketidakpastian hukum.

Selain itu, dipertahankannya norma Pasal 77 UU Otsus Papua menjadikan pasal tersebut multitafsir. Pasal tersebut mengatur mengenai usul perubahan atas UU Otsus Papua dapat diajukan oleh rakyat Provinsi Papua melalui MRP dan DPRP kepada DPR atau Pemerintah. Misalnya, perubahan beberapa pasal atas UU No.21 Tahun 2001 adalah murni hasil inisiatif pihak pemerintah pusat, bukan usul dari rakyat Papua.

Untuk itu, dalam petitumnya, Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan Pasal 6A ayat (1) huruf b dan ayat (2); Pasal 6A ayat (1) huruf b dan ayat (2); Pasal 28 ayat (1) dan ayat (2), dan ayat (4); Pasal 38 ayat (2); Pasal 59 ayat (3); dan Pasal 68A; dan Pasal 76 ayat (1) dan ayat (2) UU No.2 Tahun 2021 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Kemudian, Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan norma Pasal 6 ayat (4) dan Pasal 6A ayat (4) bertentangan dengan frasa sesuai dengan peraturan perundang-undangan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai “peraturan perundang-undangan yang dimaksud adalah perdasus dan perdasi Provinsi Papua”. Kemudian, para Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan mengembalikan pemberlakuan norma Pasal 28 ayat (1) dan ayat (2) sebagaimana tercantum dalam UU No.21 Tahun 2001.

Tags:

Berita Terkait