Pandangan Pelaku UKM Terhadap Aturan Turunan UU Cipta Kerja
Berita

Pandangan Pelaku UKM Terhadap Aturan Turunan UU Cipta Kerja

UKM meminta mendapatkan perlindungan dari persaingan dengan usaha skala besar dan usaha asing.

Mochammad Januar Rizki
Bacaan 4 Menit
Ilustrasi: HOL
Ilustrasi: HOL

Pelaku usaha kecil dan menengah (UKM) menilai masih terdapat ketentuan-ketentuan yang kontra produktif dari aturan turunan atau pelaksana Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Hal ini dilantaran belum sepenuhnya berpihak pada industri UKM.

“Kami melihat bahwa perumusan Peraturan Pemerintah belum sepenuhnya menampung aspirasi Usaha Mikro Kecil, bahkan dalam beberapa hal justru bersifat kontra produktif,” jelas Ketua Umum Kolaborasi Masyarakat UKM Indonesia, Sutrisno Iwantono, Jumat (22/1).

Dia mengeluhkan kewajiban bagi usaha kecil dan mikro untuk membayar pesangon kepada karyawan dengan besaran yang hingga saat ini belum jelas hitungannya. Atas hal tersebut, dia meminta kepastian bahwa pesangon tidak merupakan kewajiban bagi usaha mikro dan kecil, melainkan ditentukan berdasarkan kesepakatan antara pekerja dan pemberi kerja.

Kemudian, dia menilai soal besaran upah juga didasarkan atas kesepakatan antara pemberi kerja dan pekerja. Menurutnya, pelaku usaha kecil tidak mampu mengkuti peraturan yang berlaku bagi usaha menengah dan besar. (Baca: Begini Reformasi Perizinan Usaha Bidang Kesehatan dalam UU Cipta Kerja)

Sutrisno juga menilai kemudahan atau penyederhanaan administrasi perpajakan dalam rangka pengajuan fasilitas pembiayaan dari Pemerintah Pusat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan tidak relevan saat ini. Sebab, insentif perpajakan tersebut seharusnya ditingkatkan batasan atasnya yang saat ini dikenakan pajak final 0,5% untuk peredaran tahunan sebesar maksimal Rp 4,8 M.  

“Besaran ini sudah tidak relevan lagi karena sudah bertahun-tahun belum diakukan penyesuaian. Yang sangat memprihatinkan malah dalam draft RPP besaran peredaran tahunan ini diturunkan menjadi Rp 2 milyar, hal ini tentu bertolak belakang dengan tujuan dari UU Ciptaker yang bertujuan memberiakn keringanan dan kemudahan bagi usaha kecil dan mikro,” jelas Sutrisno.

Dia mengusulkan agar batas ambang atas ditingkatkan menjadi peredaran usaha paling banyak Rp7.500.000.000,- setahun, dengan mempertimbangkan tingkat inflasi suku bunga dan perkembangan ekonomi selama ini.  Kemudian, jangka waktu insentif tersebut juga tidak dibatasi seperti saat ini hanya antara 3-7 tahun sesuai bentuk badan usahanya.

“Seharusnya tidak dibatasi jangka waktunya, selama masih berstatus usaha mikro, kecil maka ketentuan perpajakan tersebut seharusnya tetap berlaku. Sektornya usahanya seharusnya juga tidak dibatasi hanya sektor tertentu, seharusnya selama kriterianya memenuhi kriteria usaha mikro kecil maka tetap memperoleh perlakuan yang sama. Kriteria usaha mikro, usaha kecil, dan menengah harus sederhana. Batas peredaran tahunan sampai Rp 15 miliar untuk usaha kecil,” jelasnya.

Sehubungan dengan investasi, Sutrisno menilai UKM seharusnya mendapatkan perlindungan dari persaingan dengan usaha skala besar dan usaha asing. Saat ini invetasi di atas Rp 10 miliar terbuka oleh asing, hal ini dianggap merugikan bagi UKM. Dia mengusulkan agar besar Rp 10 miliar tersebut ditingkatkan menjadi Rp 25 miliar. Namun, apabila investasi tersebut di bawah Rp 25 miliar maka investor asing wajib bermitra dengan usaha kecil.

Selain itu, Komnas UKM juga menganggap sektor-sektor yang terbuka bagi asing terlalu luas. Seharunya, sektor restoran kecil, kedai minuman, akomodasi harian hotel atau penginapan kecil dan akomodasi harian seharusnya tidak dibuka untuk usaha besar dan asing.

“Kami meminta agar pejabat di BKPM, lebih terbuka dalam soal perlindungan investasi bagi UKM ini. Kami minta agar pejabat di BKPM berkenan berdialog dengan kami,” kata Sutrisno.

Komnas UKM meminta agar asosiasi-asoasi usaha mikro, kecil dan menengah dari berbagai sektor ekonomi dapat dilibatkan dalam setiap perumusan kebijakan dan program-program pemerintah agar aspirasi UMKM dapat ditampung sesuai dengan permasalahan riil dilapangan. Komnas UKM menyatakan dukungan sepenuhnya perizinan yang lebih disederhanankan bagi usaha mikro dan kecil, dengan misalnya hanya bersifat pendaftaran bagi usaha mikro dan kecil tentu dengan tetap memperhitungan faktor risiko usaha.

“Beban biaya dan pungutan minta diringankan seperti misalnya sertifikasi halal. Kewajiban sertifikasi halal bagi usaha kecil untuk semua jenis barang/produk tentu sangat memberatkan bagi usaha mikro kecil. Demikian juga dengan sanksi yang dikenakan kepada pelaku usaha yang melakukan kemitraan haruslah wajar, jangan sampai menghambat kainginan pelaku usaha untuk bermitra,” jelasnya.

Lalu, Komnas UKM juga meminta agar koperasi dapat diberikan kemudahan berusaha secara khusus dan didukung dengan fasilitas pembiayan yang kongkret, bukan sekedar normatif. Demikian juga perlu adanya alokasi sumber pembiayaan yang jelas bagi koperasi usaha mikro, kecil dan menengah.

Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartanto menuturkan UU Cipta Kerja merupakan salah satu faktor kunci yang dapat mengakselerasi pertumbuhan ekonomi nasional di 2021. Dia berharap reformasi regulasi dapat menjaga konsumsi rumah tangga untuk mendorong daya beli masyarakat, sebab hal ini menyumbang 57% dari Produk Domestik Bruto (PDB) nasional.

Untuk kelas menengah atas dapat didorong kepercayaannya kembali kepada kondisi perekonomian nasional, sehingga mereka mau membelanjakan uangnya lagi. Sedangkan, untuk kelas menengah bawah dapat dijaga daya belinya dengan menggencarkan program bantuan sosial, perlindungan sosial, maupun penguatan UMKM (misalnya melalui KUR).

Selain itu, Airlangga juga mengatakan reformasi anggaran, dan pembentukan Lembaga Pengelola Investasi (LPI) serta Penyusunan Daftar Prioritas Investasi (DPI) atau positive list juga diharapkan akan membantu penambahan investasi ke dalam negeri. Kemudian, dia mengatakan jika vaksin akan dapat menjadi game changer untuk memulihkan kondisi perekonomian nasional. Jumlah penduduk yang harus divaksinasi, berdasarkan skenario herd immunity mencapai sekira 181,5 juta orang (70% dari total penduduk Indonesia). Sasaran vaksinasi mencakup penduduk usia di atas 18 tahun dan komorbid (yang terkontrol).

Sebanyak 1,2 juta vaksin (vial) telah selesai dikirimkan ke setiap provinsi di Indonesia pada kurun waktu 3-15 Januari 2021. Selanjutnya, Dinas Kesehatan Provinsi akan mendistribusikan ke masing-masing kabupaten/kota untuk dilakukan proses vaksinasi. “Untuk tahap pertama periode vaksinasi, dari Januari-April 2021, ditargetkan untuk tenaga kesehatan di 34 provinsi yang berjumlah sekitar 1,3 juta, kemudian petugas publik 17,4 juta, dan lansia 21,5 juta,” ucap Airlangga, Selasa (19/1).

Tags:

Berita Terkait