Pandangan Jimly Terkait Perppu Penanganan Covid-19
Utama

Pandangan Jimly Terkait Perppu Penanganan Covid-19

Dasar terbitnya Perppu No. 1 Tahun 2020 hanya merujuk Pasal 22 UUD Tahun 1945, sehingga paradigma hukum penanganan Covid-19 adalah hukum biasa (keadaan normal), sehingga tidak boleh bertentangan dengan konstiusi. Jimly menyarankan fungsi DPR seharusnya semua diarahkan pada penanganan Covid-19.

Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Prof Jimly saat memberi Kuliah Umum berjudul 'Perkembangan Hukum Tata Negara Darurat di Indonesia' secara daring, Kamis (30/4). Foto: AID
Prof Jimly saat memberi Kuliah Umum berjudul 'Perkembangan Hukum Tata Negara Darurat di Indonesia' secara daring, Kamis (30/4). Foto: AID

Terbitnya Perppu No. 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19 terus menjadi perbincangan hangat di masyarakat. Terlebih, Perppu yang diarahkan pada stabilitas keuangan akibat dampak pandemi Covid-19 ini tengah dimohonkan pengujian di Mahkamah Konstitusi (MK) oleh tiga kelompok Pemohon.        

 

Mantan Ketua MK Prof Jimly Asshidiqie menilai Perppu No. 1 Tahun 2020 secara umum sudah memenuhi syarat penerbitan sebuah perppu. Hanya saja, Perppu No. 1 Tahun 2020 ini bukan Perppu yang diperuntukkan dalam kondisi darurat. Sebab, dalam bagian menimbang Perppu No. 1 Tahun 2020 tidak mengacu Pasal 12 UUD 1945, tetapi hanya mengacu Pasal 22 UUD 1945. Padahal, kedua pasal ini saling berkaitan pada awal terbentuknya UUD 1945.

 

“Perppu No. 1 Tahun 2020 memang dikeluarkan dalam keadaan darurat (de facto), tetapi secara hukum (de jure), ini perppu biasa,” kata Jimly saat memberi Kuliah Umum berjudul “Perkembangan Hukum Tata Negara Darurat di Indonesia” secara daring yang diselenggarakan Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI), Kamis (30/4/2020) kemarin. (Baca Juga: Komentar Dua Guru Besar atas Perppu Penanganan Covid-19)

 

Pasal 12 UUD 1945

Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibatnya keadaan bahaya ditetapkan dengan undang-undang.

Pasal 22 UUD 1945

  1. Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang.
  2. Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut.  
  3. Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut.

 

Jimly menegaskan jika Perppu No. 1 Tahun 2020 diterbitkan dalam perspektif keadaan darurat, maka harus merujuk Pasal 12 UUD Tahun 1945. Jika tidak, paradigma hukum di balik penanganan Covid-19 itu adalah hukum biasa (keadaan normal). Untuk itu, Perppu ini tidak boleh melanggar konstitusi, seperti Pasal 27 Perppu No. 1 Tahun 2020 terkait imunitas yang dimiliki para pejabat yang menangani keuangan Covid-19 dan dapat diuji di MK.

 

“Dasar menimbang penerbitan Perppu hanya merujuk Pasal 22 UUD Tahun 1945 karena ada rasa ketakutan menggunakan Pasal 12 UUD 1945,” kata dia.

 

Dia menjelaskan pemerintah terlalu takut dan trauma menggunakan Pasal 12 UUD Tahun 1945 karena Pasal 12 kerap digunakan pada zaman Orde Lama dan Orde Baru saat Presiden hendak mengeluarkan Perppu dan menetapkan darurat sipil. “Padahal, saat ini zamannya sudah berbeda, pemerintah tidak perlu takut lagi menerapkan Pasal 12 UUD 1945 (dalam menerbitkan Perppu, red),” kata Guru Besar Hukum Tata Negara FHUI ini.

 

Menurutnya, jika Perppu Penanganan Covid-19 menggunakan Pasal 12 UUD 1945, Presiden dapat menetapkan keadaan darurat (kebijakan luar biasa, bisa melebihi UUD 1945, red) bukan hanya darurat kesehatan. Setiap tindakan luar biasa pemerintah dalam menangani Covid-19 dapat menangguhkan sementara atau menerobos ketentuan UUD 1945 hingga wabah pandemi Covid-19 selesai. Setelah itu kembali seperti keadaan semula.

 

“Perppu No. 1 Tahun 2019 ini kan judulnya saja ada frasa Covid-19, tapi aturan didalamnya seperti ketentuan umum keadaan darurat biasa. Nanti bagaimana kalau Covid-19 sudah berakhir masa berlakunya Perppu ini? Kalau menggunakan Pasal 12 kan setelah berakhirnya Covid-19 tidak berlaku lagi Perppu ini, hanya diperuntukkan untuk Covid-19 saja.”

 

“Jadi, hukum yang normal harus digunakan dalam keadaan normal. Hukum darurat harus digunakan dalam keadaan darurat. Jangan dibalik hukum normal digunakan dalam keadaan darurat. Bisa kacau nanti. Inilah kesalahpahaman para sarjana hukum saat ini. Kita harus bisa memahami mana hukum tata negara darurat dan bukan. Untuk Perppu No. 1 Tahun 2020 ini ialah paradigma hukum normal yang digunakan dalam keadaan darurat,” tegasnya.

 

Perlu perppu Lain

Dari sisi substansi Perppu No. 1 Tahun 2002, Jimly menyayangkan sikap pemerintah yang hanya fokus pada stabilitas ekonomi. Padahal, seharusnya banyak kebijakan lain yang perlu diatur dalam Perppu. Misalnya, Perppu tentang Pendidikan; Perppu tentang Beribadah saat Covid-19; Perppu terkait Ketenagakerjaan khususnya persoalan PHK, Upah, dan lain-lain.

 

“Tidak hanya persoalan ekonomi saja, tetapi ketentuan lain perlu diatur dalam Perppu karena saat ini keadaannya dalam keadaan darurat,” kata Jimly.

 

Misalnya, pengaturan pembatasan hak, seperti larangan orang berkumpul (kerumunan), beribadah di tempat ibadah masing-masing perlu payung hukum berupa Perppu. “Apa hak seperti ini harus diatur di PP? Ini tidak bisa, seharusnya diatur dalam UU, yang saat ini bisa dituangkan melalui Perppu.”

 

Karena itu, dia menyarankan fungsi DPR juga seharusnya semua diarahkan pada penanganan Covid-19. Ironisnya, DPR masih ingin membahas RUU Cipta Kerja dan RUU lain. “Memang nanti setelah Covid-19 negara lain langsung mau berinvestasi? Semua negara juga keadaanya lagi buruk masih memulihkan keadaan ekonominya. Nanti dululah itu, saat ini kita sedang perang melawan Covid-19,” kritiknya.

 

“Jangan membahas UU yang lain di luar penanganan Covid-19. DPR perlu membuat terobosan kebijakan baru dalam penanganan Covid-19 ini, meskipun hanya membuat UU (penanganan Covid-19, red) hanya 2 lembar saja.”

Tags:

Berita Terkait