Pandangan CHA Soal Independensi dan Akuntabilitas Peradilan
Berita

Pandangan CHA Soal Independensi dan Akuntabilitas Peradilan

Pertanyaan seputar independensi dan akuntabilitas peradilan, terobosan jika terpilih menjadi hakim agung, prinsip pemeriksaan perkara perdata, hingga pemeriksaan Badan Pengawas MA.

Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Suasana seleksi CHA di Komisi Yudisial. Foto: RES
Suasana seleksi CHA di Komisi Yudisial. Foto: RES

Komisi Yudisial (KY) menggelar seleksi wawancara terbuka sebagai tahapan akhir seleksi Calon Hakim Agung (CHA) mulai Kamis hingga Senin (3-7/1/2019) yang diikuti 12 CHA. Di hari pertama wawancara terbuka diikuti lima CHA yakni Ahmad Shalihin, Matheus Samiaji, Pahala Simanjuntak, Ridwan Mansyur, Suwidya Abdullah, dan Sartono untuk mengisi hakim agung di Kamar Perdata.  

 

Para calon menjawab pertanyaan tim panel yang terdiri dari 7 Anggota KY dan mantan Hakim Agung yaitu Bagir Manan dan Atja Sondjadja. Dalam wawancara ini sejumlah pertanyaan seputar hukum perdata, independensi, dan akuntabilitas, terobosan jika terpilih menjadi hakim agung, hingga pemeriksaan Badan Pengawasan MA.

 

Salah satu tim panelis dari unsur KY Farid Wajdi menanyakan mengenai apakah pengertian independensi hakim dan akuntabilitas peradilan kepada Mathues Samiaji. Hakim Tinggi Pengadilan Sulawesi Tengah ini langsung menjawab independensi adalah kemandirian hakim baik yang bebas dari kepentingan pribadi dan kepentingan lain.  

 

Sementara akuntabilitas peradilan merupakan tanggung jawab hakim atas produk hukum yang dikeluarkannya berupa putusan seorang hakim. Sebab, putusan hakim tak hanya dipertanggungjawabkan terhadap para pihak saja, tetapi juga masyarakat termasuk sebagai bahan penelitian.

 

Untuk melihat independensi dan akuntabilitas hakim, menurutnya terlihat saat proses pemeriksaan persidangan, pertimbangan putusan, amar putusannya. Hal itulah yang menggambarkan “mahkota” hakim. “Meski hanya memutus perkara pencurian, putusan mesti dibuat sangat hati-hati dengan berbagai pertimbangan,” kata Matheus di Auditorium KY, Kamis (3/1/2019). (Baca Juga: 12 Calon Hakim Agung Jalani Seleksi Wawancara)

 

Saat diklarifikasi gaji, dan pekerjaan/usaha lain oleh tim panelis Sukma Violetta, Matheus membenarkan bahwa dirinya memang memiliki pekerjaan/usaha lain, seperti menjual batik, batu atik, dan jual beli tanah kavling selain menerima gaji sebagai hakim. “Mulai menjadi calon hakim saya menjual batik. Perkiraan gaji saya, Rp50 juta sampai Rp100 juta. Usaha jual beli tanah kavling bersama teman-teman saya.”

 

Saat hampir bersamaan, Hakim Tinggi pada Balitbang Diklatkumdil MA, Pahala Simanjuntak mendapati pertanyaan jika seandainya terpilih hakim agung oleh panelis lain Sumartoyo, Pahala menilai hakim agung harus berintegritas dan berkualitas. Dalam kesempatan ini, Pahala mengaku pernah diperiksa Bawas MA dalam ketika menangani perkara hak merek salah satu perusahaan oli di Indonesia.

 

“Jadi, ketika diperiksa Bawas dalam perkara ini, saya ditanya pernah makan bersama dengan pengacaranya. Saya jawab pernah. Tapi, ketika makan malam bersama itu saya tidak mengetahui kalau akan membicarakan masalah perkaranya. Kebetulan saya bukan majelis yang memeriksa perkara tersebut. Jadi, hasil pemeriksaan Bawas saya tidak dikenakan sanksi hingga sekarang,” terangnya.

 

Pemeriksaan perkara perdata

Sementara Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Bangka Belitung Ridwan Mansyur mendapati pertanyaan dalam perkara perdata hakim bersifat pasif atau aktif. Ridwan menjawab hakim perkara perdata bersifat pasif, kecuali dalam hal upaya perdamaian para pihak yang bersengketa sebelum masuk pembacaan gugatan.

 

“Kalau sifat hakim perdata itu pasif, bagaimana ia bisa mengatur perkara agar cepat dan sederhana, jadi hakim itu pasif atau aktif?” tanya Atja Sondjaja lagi. Ridwan pun tetap menjawab bahwa hakim perdata itu bersifat pasif. Namun, tim panel Atja Sondjaja mengatakan bahwa hakim perdata dapat bersifat aktif.

 

Selanjutnya, Ridwan mendapt pertanyaan mana yang lebih kedaulatan rakyat atau kedaulatan hukum oleh panel Aidul Fitriaciada. Awalnya, Ridwan mengatakan lebih tinggi kedaulatan rakyat. “Menurut saya kedaulatan rakyat,” jawabnya. Namun, kembali Aidul bertanya, bagaimana dengan DPR yang mementingkan kedaulatan rakyat dan MA yang mementingkan kedaulatan hukum.

 

Menurut Ridwan, jika dalam konteks tataran kelembagaan kedudukan DPR dan MA sejajar. Sekali lagi, Aidul memperjelas pertanyaaanya. “Jadi, jika kedaulatan rakyat dilaksanakan sesuai UUD Tahun 1945, maka keduanya mana yang membatasi?” tanya Aidul lagi. Ridwan langsung menjawab dengan tegas, “Hukum yang seharusnya membatasi kedaulatan rakyat,” tegasnya.

 

Ketika ditanya terobosan apa yang akan dibuat jika terpilih menjadi hakim agung guna mempercepat proses penanganan perkara dengan biaya ringan oleh panelis Joko Sasmito, Ridwan mengatakan saat ini MA telah mengeluarkan kebijakan yang berbasis teknologi. “Saya akan menyiapkan SDM, prosedur, dan unit teknis untuk menerapkan kebijakan MA berbasis teknologi semaksimal mungkin agar cepat menyelesaikan perkara,” katanya.

Tags:

Berita Terkait