Pancasila Wajibkan Agama Menjadi Sumber Hukum Nasional
Utama

Pancasila Wajibkan Agama Menjadi Sumber Hukum Nasional

Posisi agama vis-à-vis Pancasila sudah pernah dibahas 50 tahun lalu dalam Seminar Hukum Nasional tentang cara-cara menegakkan hukum berdasarkan demokrasi Pancasila.

Normand Edwin Elnizar
Bacaan 2 Menit

 

Dalam buku berjudul “Demokrasi Pancasila” karya Prof. Hazairin, ia mengacu pasal 29 ayat 1 UUD 1945 (sebelum amandemen) sebagai dasar mewajibkan agama menjadi sumber hukum nasional.

 

Pasal 29

 

(1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.

6 Tafsir Prof.Hazairin atas pasal 29 ayat 1 UUD 1945:

  1. Dalam negara RI tidak boleh terjadi atau berlaku sesuatu yang bertentangan dengan kaidah-kaidah Islam bagi umat Islam, atau yang bertentangan dengan kaidah-kaidah agama Nasrani bagi umat Nasrani, atau yang bertentangan dengan kaidah-kaidah agama Hindu-Bali bagi orang-orang Hindu-Bali, atau yang bertentangan dengan kesusilaan agama Budha bagi orang-orang Budha.
  2. Negara RI wajib menjalankan syariat Islam bagi orang Islam, syariat Nasrani bagi orang Nasrani dan syariat Hindu-Bali bagi orang Bali, sekadar menjalankan syariat tersebut memerlukan perantaraan kekuasaan negara.
  3. Syariat yang tidak memerlukan bantuan kekuasaan negara untuk menjalankannya dan karena itu dapat sendiri dijalankan oleh setiap pemeluk agama yang bersangkutan, menjadi kewajiban pribadi terhadap Allah bagi setiap orang itu, yang dijalankannya sendiri menurut agamanya masing-masing.
  4. Jika karena salah tafsir atau oleh karena dalam kitab-kitab agama, mungkin secara menyelip, dijumpai sesuatu peraturan yang bertentangan dengan sila-sila ketiga, keempat, dan kelima dalam Pancasila, maka peraturan agama yang sedemikian itu, setelah diperembukkan dengan pemuka-pemuka agama yang bersangkutan, wajib dinonaktifkan.
  5. Hubungan sesuatu agama dengan sila kedua dalam Pancasila dibiarkan kepada norma-norma agama itu sendiri atau kepada kebijaksanaan pemeluk-pemeluk agama-agama itu. Maksudnya, sesuatu norma dalam sila kedua itu yang bertentangan dengan norma sesuatu agama atau dengan paham umum pemeluk-pemeluknya berdasarkan corak agamanya, tidak berlaku bagi mereka.
  6. Rakyat Indonesia yang belum termasuk ke dalam “agama-agama yang empat” yang dimaksud tadi, yaitu rakyat yang masih memuja ruh nenek moyang dan makhluk rendah seperti binatang dan pohon-pohon dan ciptaan khayal seperti mambang dan peri, ditundukkan kepada sila-sila kedua, ketiga, keempat, dan kelima dalam menjalankan kebudayaan yang normatif yang ditimbulkan oleh pergaulan hidup mereka yang lazimnya disebut adat mereka (hukum adat, kesusilaan kemasyarakatan dan kesenian tradisionil), yaitu dalam menunggu berhasilnya usaha-usaha peningkatan hidup keruhanian mereka ke taraf hidup keagamaan yang berketuhanan Yang Maha Esa.

Sumber: buku “Demokrasi Pancasila”

 

Prof. Hazairin mengemukakan kesimpulan yang sama bahwa kesamaan dalam agama-agama di Indonesia dapat dijadikan landasan bersama bagi pembinaan hukum nasional, sementara perbedaannya dapat menjadi sumber hukum-hukum khusus yang hanya berlaku bagi penganut agama masing-masing. Dalam istilah yang digunakannya adalah “unifikasi hukum sebanyak mungkin” sehingga “semua umat yang beragama ditundukkan kepada satu kodifikasi hukum”.

 

(Baca Juga: Pembentukan Peraturan dan UU Harus Mencerminkan Pancasila)

 

Dengan kenyataan bahwa pesoalan posisi agama vis-à-vis Pancasila dalam pembentukan hukum nasional sudah pernah dibahas tepat setengah abad silam, ternyata pertanyaan yang sama masih juga muncul saat ini. Nampaknya ada baiknya merenungi kesimpulan sederhana Prof. Sudjito di akhir wawancara dengan hukumonline.

 

“Siapapun yang sudah mengamalkan agama dengan baik sesuai tuntunan agama masing-masing itu sudah berpancasila, kita tidak perlu mendikotomikan, menghadap-hadapkan,” kata Prof. Sudjito menegaskan pandangannya.

 

Tags:

Berita Terkait