Pancasila Pilar Kebangsaan Bisa Runtuhkan Negara
Berita

Pancasila Pilar Kebangsaan Bisa Runtuhkan Negara

Pemohon diminta memperjelas legal standing para pemohon.

ASH
Bacaan 2 Menit
Pancasila Pilar Kebangsaan Bisa Runtuhkan Negara
Hukumonline

Sidang perdana pengujian Pasal 34 ayat (3b) UU No 2 Tahun 2011 tentang tentang Perubahan atas UU No 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik (UU Parpol) digelar di MK. Permohonan ini diajukan sejumlah warga negara yang tergabung dalam Masyarakat Pengawal Pancasila Jogya, Solo, dan Semarang (MPP Joglosemar).

Melalui kuasa hukum Jakarta International Law Office (JILO), mereka mempersoalkan masuknya Pancasila sebagai salah satu pilar kebangsaan. Dalam pasal yang diuji, parpol diwajibkan untuk mensosialisasikan Empat Pilar Kebangsaan yakni Pancasila, Negara Kesatuan Republik Indonesia, Bhineka Tunggal Ika, dan UUD 1945.

”Kami masyarakat pengawal Pancasila Jogja, Solo, Semarang, merasa keberatan dengan masuknya Pancasila sebagai pilar kebangsaan. Padahal Alinea ke-4 Pembukaan UUD 1945, negara Indonesia berdasarkan Pancasila (dasar negara), bukan sebagai pilar kebangsaan,” tutur kuasa hukum MPP Joglosemar, TM Lutfie Yazid dalam sidang pemeriksaan pendahuluan yang dipimpin Patrialis Akbar di Gedung MK, Selasa (10/12).

Selengkapnya Pasal 34 ayat (3b) UU Parpol menyebutkan “Pendidikan Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (3a) berkaitan dengan kegiatan:  a. pendalaman mengenai empat pilar berbangsa dan bernegara yaitu Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.”

Lutfie menilai pasal itu menimbulkan ketidakpastian hukum karena menempatkan Pancasila sebagai salah satu pilar kebangsaan yang sejajar dengan Bhinneka Tunggal Ika dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). ”Penempatan Pancasila sebagai pilar merupakan kesalahan fatal karena Pancasila telah disepakati para pendiri bangsa sebagai dasar negara (philosophie groundslaag),” kata Lutfie.

Dia mengatakan Pancasila sebagai the guiding principle telah digerus dan mengalami erosi sedemikian rupa hanya demi pragmatism para legislator yang tidak memiliki visi utuh tentang Pancasila, UUD 1945, dan Indonesia. “Pancasila ini hanya dijadikan kemasan melalui prosedur liberalisasi politik yang berorientasi politik transaksional,” lanjutnya.

Menurut dia, kata ”dasar” dan ”pilar” memiliki makna yang berbeda yang menimbulkan kebingungan dosen di perguruan tinggi saat menjelaskan kepada mahasiswanya. ”Dosen sering menemukan mahasiswa menjadi bingung terhadap Pancasila, apakah itu dasar atau pilar negara, sehingga Pancasila sebagai dasar negara tidak pasti,” katanya.  

Karena itu, memasukkan Pancasila sebagai salah satu pilar kebangsaan tak hanya melawan fakta sejarah dan menghianati para pendiri bangsa ini, tetapi juga bisa meruntuhkan/merobohkan bangsa ini. ”Pancasila sebagai dasar negara dan sumber dari segala sumber hukum tidak bisa ditawar-tawar lagi, harga mati karena tercantum jelas dalam Pembukaan UUD 1945.”

Karena itu, ”proyek” sosialisasi oleh MPR mengenai empat pilar yang salah satunya Pancasila harus dihentikan karena menyesatkan bangsa ini. ”Pasal itu harus dinyatakan inkonstitusional atau sekurang-kurangnya kata ’Pancasila’ dalam pasal itu dicabut dan dinyatakan tidak mempunyai kekuatan mengikat,” pintanya.       

Prihatin
Salah satu pemohon, Kepala Pusat Studi Pancasila UGM Prof Sudjito mengaku prihatin terhadap penggunaan istilah pilar terhadap Pancasila. ”Penggunan pilar terhadap Pancasila sangat tidak tepat karena Pancasila merupakan pandangan hidup bangsa,” katanya. ”Kalau ini terus dibiarkan, kita bisa menjadi manusia ’serigala’ bagi negara lain.”

Dia tegaskan permohonan ini bukan menghalangi atau menolak politisi mensosialisasikan Pancasila secara benar dari aspek historis, filosofis, dan ideologis. Namun, dia khawatir masyarakat salah memahani makna Pancasila karena terbawa informasi dan pengetahuan yang tidak benar.

”Ini berpotensi meruntuhkan negara. Kewajiban bagi penyelenggara negara yang akan datang agar memahami Pancasila terlebih dahulu. Kita menuntut adanya kebenaran filosofis, historism dan ideologis untuk menegakkan negara.”

Anggota majelis panel, Ahmad Fadlil Sumadi menilai permohonan ini hanya mengarah premis mayor (kesimpulan umum), belum mengarah pada premis minornya. ”Permohonan Saudara apa? Mahkamah berwenang memeriksa perkara ini untuk apa?” kata Fadlil mempertanyakan. 

Selain itu, legal standing (kedudukan hukum) para pemohon dinilai kurang jelas, apakah apa sebagai perorangan, WNI atau badan hukum. ”Ini tidak ada penjelasan dalam permohonan dan harus diperjelas,” pintanya. 

Tags:

Berita Terkait