Hingga awal pekan ini, Mahkamah Agung sudah mempublikasikan tak kurang dari 668 putusan perkara perlindungan konsumen, ketiga terbanyak di lingkungan perdata khusus setelah Pengadilan Hubungan Industrian (PHI) dan kepailitan. Sebagian besar perkara perlindungan konsumen itu berkaitan dengan sengketa yang timbul antara nasabah dengan perusahaan pembiayaan, atau antara nasabah dengan bank. Hubungan hukum antara pembeli motor secara kredit dengan perusahaan pembiayaan atau bank sering dianggap sebagai masalah perlindungan konsumen.
Namun, berdasarkan penelusuran hukumonline terhadap putusan-putusan yang telah terpublikasi itu, terungkap bahwa Mahkamah Agung telah secara konsisten memutus bahwa perjanjian kredit bermotor diposisikan sebagai perjanjian biasa. Para pihak yang bersengketa seharusnya membawa perkara mereka ke peradilan umum (Pengadilan Negeri yang berwenang).
Sikap atau pandangan Mahkamah Agung itu termuat dalam banyak pertimbangan putusan kasasi yang ditelusuri hukumonline. Peneliti Lembaga Kajian untuk Independensi Peradilan (LeIP), Arsil, juga telah pernah melakukan penelitian sederhana terhadap putusan-putusan perlindungan konsumen tersebut. Arsil menemukan fakta bahwa sejak tahun 2013 telah terjadi perubahan pandangan para hakim agung melihat perjanjian kredit kendaraan bermotor. Sejak saat itu, hakim agung lebih melihat perjanjian kredit motor baik berdasarkan perjanjian fidusia maupun hak tanggungan adalah perjanjian pada umumnya. Termasuk ketika para pihak menggunakan istilah pembiayaan konsumen dalam perjanjian mereka.
(Baca juga: Sikap Hukum MA atas Kewenangan BPSK Mengadili Sengketa Lembaga Pembiayaan dan Nasabah)
Selain menegaskan kompetensi peradilan umum dalam sengketa perjanjian kredit kendaraan bermotor, putusan-putusan Mahkamah Agung melakukan koreksi terhadap kewenangan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Berdasarkan UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, BPSK adalah badan yang bertugas menangani dan menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen. Sedangkan sengketa konsumen. Undang-Undang ini memberi ruang kepada setiap konsumen yang merasa dirugikan untuk menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum.
Namun seiring dengan konsistensi putusan Mahkamah Agung, peluang untuk membawa sengketa perjanjian kredit kendaraan bermotor ke BPSK semakin tipis. Dalam salah satu kasus yang terjadi di Malang, misalnya, konsumen menyatakan keberatan atas tindakan perusahaan pembiayaan yang menarik paksa mobil kredit. Tindakan pengambilan paksa tanpa penetapan pengadilan dinilai konsumen sebagai perbuatan melawan hukum, sehingga membawa kasusnya ke BPSK Kota Malang. Perkara ini bermuara ke kasasi, dan Mahkamah Agung tegas menyatakan sengketa antara pemohon dan termohon tentang pembiayaan konsumen berpotensi menjadi wanprestasi sehingga menjadi wewenang peradilan umum. Meskipun ada penyebutan tentang perjanjian pembiayaan konsumen, kewenangan mengadili sengketa bukan di tangan BPSK melainkan peradilan umum. Beberapa putusan yang dikutip di bawah ini juga memperlihatkan sikap yang senada dari majelis hakim agung atas ketidakberwenangan BPSK.
Putusan | Pertimbangan Hakim |
No. 1 K/Pdt.Sus-BPSK/2017 | Hubungan hukum antara pemohon kasasi dan termohon kasasi berdasarkan perjanjian pemberian fasilitas kredit. Kalaupun terjadi cedera janji, maka sengketa para pihak menjadi wewenang peradilan umum. |
No. 56 K/Pdt.Sus-BPSK/2017 | Putusan judex facti yang membatalkan putusan BPSK dapat dibenarkan. Hubungan hukum debitor dan kreditor adalah pemberian fasilitas kredit. Sengketa ini secara absolut menjadi kewenangan peradilan umum, bukan kewenangan BPSK. |
No. 8 K/Pdt.Sus-BPSK/2017 | Putusan judex facti yang membatalkan putusan BPSK dapat dibenarkan karena hubungan hukum kedua pihak adalah perjanjian kredit. Cedera janji atas pemberian fasilitas kredit menjadi wewenang absolut peradilan umum, bukan wewenang BPSK. |
No. 55 K/Pdt.Sus-BPSK/2017 | Keberatan konsumen tak dapat dibenarkan. Putusan judex facti sudah benar dan memberikan pertimbangan yang cukup. Kedua belah pihak terikat perjanjian pemberian fasilitas kredit. Kalau ada cedera janji atas perjanjian itu, maka itu berarti menjadi kewenangan absolut peradilan umum. |
No. 1048 K/Pdt.Sus-BPSK/2016 | Termohon Keberatan telah melakukan wanprestasi atau cedera janji kepada Pemohon Keberatan, sehingga pokok perkara dalam sengketa a quo secara absolut menjadi wewenang peradilan umum dan bukan kewenangan BPSK. Oleh karena itu, putusan judex facti sudah tepat. |
Sumber: Diolah dari www.mahkamahagung.go.id
Apakah jika terjadi sengketa antara konsumen dengan perusahaan pembiayaan atau pelaku usaha mengenai perjanjian kredit motor sepenuhnya menjadi kewenangan peradilan umum? Di satu sisi, konsistensi para hakim agung dalam hal ini bisa menjadi kabar baik bagi perusahaan pembiayaan. Tetapi di sisi lain menjadi kabar tak mengenakkan bagi konsumen yang memperkarakan sengketa mereka lewat BPSK.
(Baca juga: Bolehkah BPSK Selesaikan Sengketa dengan Perjanjian Kontrak? Ini Penjelasannya)
Badan ini adalah lembaga resmi yang dibentuk Pemerintah untuk memudahkan konsumen dan pelaku usaha menyelesaikan sengketa mereka. Secara normatif, kewenangan lembaga ini sudah diatur dalam Pasal 52 UU Perlindungan Konsumen, dan diuraikan lebih lanjut mekanisme penyelesaian sengketanya dalam Peraturan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 350/MPP.KEP/12/2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang BPSK. Teranyar, sudah terbit pula Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 06 Tahun 2017 tentang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.
Tugas dan Wewenang BPSK Berdasarkan UU Perlindungan Konsumen
|
Mereka yang berkecimpung di dunia perlindungan konsumen belum satu suara memandang bagaimana sengketa konsumen harus ditempatkan. Mereka yang setuju berangkat dari perspektif perjanjian; yang namanya sengketa atas perjanjian berarti wanprestasi yang harus diselesaikan melalui peradilan umum. Sebaliknya, mereka yang masih mempertahankan kewenangan BPSK berdalih bahwa perjanjian kredit motor adalah hubungan konsumen dan pelaku usaha. Dalam perjanjian itu konsumen seringkali berada dalam posisi yang tak sejajar, apalagi pelaku usaha umumnya sudah mempersiapkan klausula-klausula yang harus diteken konsumen jika ingin difasilitasi lewat pembiayaan kredit.
Tulisan-tulisan yang akan dimuat dalam liputan khusus berikutnya akan memperlihatkan perspektif dari para pemangku kepentingan. Ada juga tulisan mengenai apa yang perlu diperhatikan konsumen dalam perjanjian kredit kendaraan bermotor. Ini penting agar sengketa serupa tak terulang lagi di masa mendatang.
(Baca juga: BPKN: Revisi UU Perlindungan Konsumen Harus Adopsi Prinsip Strict Liability)
Meskipun demikian tidak ada jaminan sengketa konsumen yang diajukan melalui BPSK akan nihil. Sebab, BPSK adalah lembaga penyelesaian sengketa yang ada di kota-kota besar dan jumlah kendaraan bermotor yang dibeli melalui kredit terus bertambah. Gambaran perkara di Mahkamah Agung mungkin bisa memperlihatkan fenomena yang terjadi selama ini. Pada tahun 2016 MA terima kasasi perkara perdata khusus 1.125 ditambah sisa tahun 2015 sebanyak 205. Jumlah perkara yang diterima itu sebenarnya naik 31,75% dari tahun sebelumnya (854). Paling banyak adalah PHI 791. Disusul BPSK 179; pailit/PKPU 64, HKI 40, arbitrase 19, parpol 19, KPPU 10, dan KIP 3. Berbeda di tingkat PK, BPSK hanya menempati urutan keenam.