Paksaan Pemerintahan Guna Mengatasi Covid-19
Kolom

Paksaan Pemerintahan Guna Mengatasi Covid-19

​​​​​​​Dalam menghadapi penyebaran Covid-19, UU telah menyediakan payung hukum bagi Pemerintah untuk melaksanakan Paksaan Pemerintahan.

Bacaan 2 Menit
Sudarsono. Foto: Istimewa
Sudarsono. Foto: Istimewa

PBB telah menyatakan wabah virus corona (Covid-19) sebagai pandemi global, sehingga pemerintah di semua negara telah mengambil tindakan untuk melawan penyebaran virus ini. Tindakan yang diambil oleh pemerintah di setiap negara tersebut berbeda-beda, ada yang keras (seperti mendenda, mencambuk, ataupun memenjarakan pelanggarnya) dan ada yang lunak.

 

Menghadapi Covid-19 ini, Pemerintah telah mengambil beberapa tindakan, mulai dari menyatakan pandemi Covid-19 sebagai bencana nasional, penerbitan beberapa kebijakan oleh kementerian/lembaga dalam menghadapi Covid-19, menyiapkan fasilitas kesehatan, hingga penutupan kawasan tertentu oleh Pemerintah Daerah.

 

Mengingat semakin banyaknya penderita akibat Covid-19 di Indonesia, pada saat ini mulai muncul pendapat di masyarakat agar Pemerintah lebih kuat dan berdaya dalam mengatasi pandemi Covid-19, seperti menghukum denda ataupun pidana kurungan bagi warga yang masih berkeliaran atau melakukan kegiatan dengan banyak orang. Bahkan, ada yang mengusulkan pengenaan cambuk bagi warga pelanggar seperti di sebuah negara di Asia Selatan.

 

Tulisan singkat ini tidak dimaksudkan untuk menilai kebijakan (politik) pemerintah saat ini, ataupun memperbandingkannya dengan cara pemerintah negara lain dalam mengatasi Covid-19. Tulisan ini dibuat sebagai kajian hukum atas intervensi negara oleh pemerintah kepada warga negara guna mengatasi Covid-19. Lebih khusus lagi, bentuk intervensi negara yang akan dikaji adalah figur hukum Paksaan Pemerintahan (bestuursdwang).

 

Hasil kajian ini dapat dijadikan dasar bagi pemangku kepentingan untuk menetapkan kebijakan terbaik guna menghadapi Covid-19. Untuk mensistematisasi kajian, tulisan akan membahas empat isu: (1) keabsahan intervensi negara terhadap warganya; (2) pengertian dan dasar hukum paksaan pemerintahan; (3) perlindungan hukum atas paksaan pemerintahan; dan (4) paksaan pemerintahan dan sanksi pidana.

 

Keabsahan Intervensi Negara terhadap Warganya

Alinea IV Pembukaan UUD 1945 menghendaki negara harus aktif dalam “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa”. Negara tidak boleh hanya berdiam diri dan pasif dalam upaya melindungi dan menyejahterakan warga negara, sebaliknya harus hadir dan aktif melakukan intervensi dalam kehidupan masyarakat.

 

Untuk menghindari penyelahgunaan kekuasaan, intervensi negara tersebut harus berdasar hukum (Prajudi Atmosudirdjo, 1994, hlm. 25). Negara adalah satu-satunya lembaga yang memiliki keabsahan untuk melakukan tindakan kekerasan terhadap warganya, demikian kata Max Weber (Arief Budiman, 1996, hlm 78).

 

Namun, apabila negara lemah dan tidak melaksanakan tugasnya secara efektif, maka yang akan berperan adalah “perusahaan multinasional, organisasi nonpemerintah, sindikat kejahatan, kelompok teroris, dan sejenisnya” (Francis Fukuyama, 2005, hlm. 157).

 

Penulis buku Why Nations Fail menyatakan bahwa keberhasilan pembangunan suatu negara sangat ditentukan oleh institusi politiknya. Institusi politik paling baik dan terbukti sukses menyejahterakan warganya adalah institusi yang inklusif, yaitu institusi politik yang tersentralisir dan beragam. Tersentralisir bermakna terpusat dan kuat, sedangkan beragam bermakna adanya distribusi kekuasaan yang terkontrol untuk mencegah otoritarianisme (Daron Acemoglu dan James A. Robinson, 2017, hlm 85-86).

 

Dengan demikian, Pemerintah yang kuat dan efektif adalah prasyarat keberhasilan penyelenggaraan negara. Dalam konteks Indonesia melawan Covid-19 saat ini misalnya, Pemerintah harus berani menggunakan segala sarana pemerintahan guna mencegah pandemi Covid-19, termasuk menggunakan sarana Paksaan Pemerintahan.

 

Sebaliknya, warga masyarakat tidak perlu khawatir Pemerintah akan tergelincir dalam otoritarianisme, mengingat sudah sedemikian kuatnya tatanan demokrasi saat ini, mulai dari kuatnya kedudukan Lembaga Perwakilan Rakyat berdasarkan Konstitusi (DPR, DPD, DPRD), kekuasaan kehakiman yang independen, Pemilu yang relatif baik, media pers yang bebas, hingga adanya berbagai organisasi masyarakat, sehingga kontrol terhadap Pemerintah sangatlah kuat.

 

Paksaan Pemerintahan

Dalam khazanah Hukum Administrasi, Paksaan Pemerintahan (bestuursdwang, administrative enforcement) merupakan bentuk sanksi administratif berupa tindakan nyata dari Pemerintah guna mengakhiri suatu keadaan yang dilarang oleh peraturan Hukum Administrasi.

 

Stroink dan Steenbeek menyatakan: “kewenangan paling penting yang dapat dijalankan oleh pemerintah untuk menegakkan Hukum Administrasi adalah Paksaan Pemerintahan, di mana organ pemerintahan memiliki wewenang untuk merealisasikan secara nyata kepatuhan warga, jika perlu dengan paksaan, terhadap pelanggaran peraturan perundang-undangan tertentu atau kewajiban tertentu” (Ridwan HR., 2011, hlm. 305-306). Contoh Paksaan Pemerintahan adalah pembongkaran bangunan tanpa IMB, menutup suatu kawasan saat terjadi bencana, pembersihan lapak pedagang kaki lima yang mengganggu jalan raya oleh Satpol PP, dan seterusnya.

 

Keberadaan Paksaan Pemerintahan diniscayakan harus ada, karena Negara c.q. Pemerintah sebagai pelaksana Konstitusi diwajibkan mengambil tindakan-tindakan yang diperlukan untuk menyesuaikan keadaan nyata (das sein) dengan apa yang dicitakan dalam Konstitusi (das sollen). Tanpa Paksaan Pemerintahan, Pemerintah akan kesulitan melaksanakan perintah Konstitusi, padahal Alinea IV Pembukaan UUD 1945 telah mengamanatkan bahwa Pemerintah Negara Republik Indonesia harus melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia.

 

Secara normatif, frasa “Paksaan Pemerintahan” antara lain dapat ditemukan dalam UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup, yang menempatkan Paksaan Pemerintahan sebagai salah satu jenis Sanksi Administratif. Bentuk Paksaan Pemerintahan berdasar UU Lingkungan Hidup tersebut antara lain berupa penghentian sementara kegiatan produksi, pembongkaran, hingga penghentian sementara seluruh kegiatan.

 

Dalam menangani kasus pandemi Covid-19, dasar kewenangan penggunaan Paksaan Pemerintahan merujuk pada UU Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. UU ini menyatakan penyelenggaraan penanggulangan bencana pada saat tanggap darurat berupa penyelamatan dan evakuasi masyarakat, hingga pemberian wewenang kemudahan akses bagi Badan Penanggulangan Bencana untuk melakukan penyelamatan.

 

Berdasarkan PP Nomor 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana, terdapat beberapa bentuk Paksaan Pemerintahan, antara lain: “pada saat keadaan darurat bencana, Kepala BNPB dan kepala BPBD berwenang mengerahkan sumber daya manusia, peralatan, dan logistik dari instansi/lembaga dan masyarakat untuk melakukan tanggap darurat” (Pasal 25 ayat (1) PP 21/2008).

 

Selanjutnya, pada tahap penyelamatan korban bencana, Kepala BNPB dan/atau kepala BPBD berdasarkan Pasal 46 ayat (2) PP 21/2008 mempunyai kewenangan yang bersifat Paksaan Pemerintahan, berupa: (a) menyingkirkan dan/atau memusnahkan barang atau benda di lokasi bencana yang dapat membahayakan jiwa; (b) menyingkirkan dan/atau memusnahkan barang atau benda yang dapat mengganggu proses penyelamatan; (c) memerintahkan orang untuk keluar dari suatu lokasi atau melarang orang untuk memasuki suatu lokasi; (d) hingga mengisolasi atau menutup suatu lokasi baik milik publik maupun pribadi.

 

Dasar hukum untuk melaksanakan Paksaan Pemerintahan melawan Covid-19 juga dapat ditemukan dalam UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, yang dalam Pasal 59 memberikan wewenang kepada pemerintah untuk menetapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar, yang meliputi peliburan sekolah dan tempat kerja, hingga pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum.

 

Paksaan Pemerintahan berada pada ranah diskresi, sehingga Pemerintah dapat memilih menggunakan Paksaan Pemerintahan ini ataupun tidak menggunakannya. Apabila Pemerintah hendak menggunakan Paksaan Pemerintahan, Pemerintah harus telah mempertimbangkan semua kepentingan yang terkait dan memilih bentuk Paksaan Pemerintahan yang paling efektif.

 

Misalnya, jika Paksaan Pemerintahan yang dipilih adalah menutup suatu wilayah, maka Pemerintah harus mengerahkan aparaturnya untuk mengawasi wilayah tersebut, melarang orang memasukinya, mendirikan pos pemeriksaan kesehatan, menjamin keamanan wilayah, dan menjamin ketersediaan kebutuhan hidup dasar sebagaimana dimaksud Pasal 53 UU 24/2007 juncto Pasal 52 PP 21/2008.

 

Selanjutnya, pelaksanaan Paksaan Pemerintahan harus memperhatikan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB), seperti asas kemanusiaan, asas keadilan, asas keterbukaan, asas kepatutan dan kepantasan, asas iktikad baik, dan seterusnya.

 

Paksaan Pemerintahan yang Merugikan Warga

Dimungkinkan, Pemerintah dalam menerapkan Paksaan Pemerintahan kurang memperhatikan segenap kepentingan yang ada, atau bahkan Paksaan Pemerintahan telah diselewengkan oleh oknum tertentu sebagai penyalahgunaan wewenang, sehingga merugikan warga. Dalam hal ini, apa yang dapat dilakukan oleh warga?

 

Warga yang dirugikan oleh suatu Paksaan Pemerintahan dapat mengajukan Upaya Administratif kepada Pemerintah berdasarkan ketentuan Bab X UU Administrasi Pemerintahan, yaitu berupa Keberatan dan Banding Administratif. Selanjutnya, warga masyarakat juga dapat menggugat ke Peradilan TUN atas keputusan/tindakan dalam pelaksanaan Paksaan Pemerintahan yang merugikannya.

 

Selain itu, warga juga dapat melakukan upaya perlindungan hukum lainnya, misalkan upaya politis berupa kontrol oleh lembaga perwakilan rakyat, pengaduan ke Ombudsman, ataupun menyampaikan kontrol sosial melalui media massa. Selain itu, apabila warga masyarakat menemukan unsur yang bersifat melanggar hukum pidana dalam pelaksanaan Paksaan Pemerintahan, dapat diajukan kepada aparat penegak hukum.

 

Paksaan Pemerintahan dan Sanksi Pidana

Berbeda dengan sanksi pidana, sanksi Paksaan Pemerintahan ditujukan kepada perbuatan pelanggarannya, bukan kepada si pelanggarnya. Sementara sanksi pidana justru ditujukan kepada si pelanggar (orangnya) dengan memberi hukuman berupa nestapa.

 

Paksaan Pemerintahan hanya dimaksudkan agar perbuatan pelanggaran itu dihentikan. Dalam konteks pandemi Covid-19, Paksaan Pemerintahan dimaksudkan agar segala kegiatan yang memungkinkan penyebaran Covid-19 dibatasi, bukan dimaksudkan menestapa warga.

 

Dalam Hukum Administrasi dikenal adanya kumulasi sanksi, yaitu berupa penjatuhan sanksi administratif bersama dengan sanksi pidana. Sanksi administratif berupa Paksaan Pemerintahan dapat langsung dilaksanakan oleh Pemerintah secara sepihak (eenzijdige), tanpa perlu menunggu putusan pengadilan, guna menghentikan aktivitas yang dapat menyebarkan Covid-19.

 

Adapun dalam penegakan hukum pidana, aparat penegak hukum harus melalui prosedur yang lebih panjang, mulai dari penyelidikan hingga adanya vonis. Salah satu atau kedua jenis sanksi tersebut dapat diterapkan dalam upaya mewujudkan perlindungan warga negara dari penyebaran Covid-19.

 

Penutup

Kondisi global dewasa ini menuntut peran Pemerintah yang semakin besar. Persaingan ekonomi dan politik antar bangsa, kerusakan lingkungan yang menimbulkan bencana alam, adanya aneka wabah dan epidemi, dan seterusnya hanya mungkin diatasi oleh Pemerintah yang efektif.

 

Pemerintah harus menggunakan berbagai sarana hukum yang dimilikinya untuk mengatasi berbagai tantangan tersebut, termasuk dengan menggunakan sarana Paksaan Pemerintahan.

 

Dalam menghadapi penyebaran Covid-19, UU telah menyediakan payung hukum bagi Pemerintah untuk melaksanakan Paksaan Pemerintahan. Pemerintah dapat memilih sarana Paksaan Pemerintahan yang paling tepat dan efektif dalam menghadapi Covid-19 dan mewujudkan perlindungan bagi warga negara.

 

*)Sudarsono adalah Hakim Yustisial pada Ditjen Badilmiltun MA RI, Kandidat Doktor Ilmu Hukum Universitas Airlangga.

 

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait