Pakar Nilai KPPU Tidak Bisa Memperkarakan Kebijakan Pemerintah
Utama

Pakar Nilai KPPU Tidak Bisa Memperkarakan Kebijakan Pemerintah

KPPU hanya berwenang untuk memberikan saran kepada pemerintah.

Fitri Novia Heriani
Bacaan 2 Menit
Gedung KPPU. Foto: SGP
Gedung KPPU. Foto: SGP
Persidangan dugaan adanya kartel ayam kembali digelar oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) pekan ini. Dalam beberapa persidangan terakhir, agenda persidangan adalah mendengarkan keterangan dari saksi ahli. 
Setelah menghadirkan pakar hukum bisnis dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Nindyo Pramono, kali ini pakar ekonomi Universitas Indonesia Faisal Basri memberikan keterangan di KPPU dalam persidangan dugaan kartel ayam. Dalam kesaksiannya, Faisal menyatakan bahwa KPPU tidak bisa memperkarakan kebijakan Kementerian Pertanian yang menginstruksikan 12 perusaahaan pembibitan unggas melakukan apkir dini indukan ayam (parent stock). 
Menurut Fasial, seandainya ada kebijakan pemerintah yang dinilai membuka ruang bagi persaingan usaha tidak sehat, yang dapat dilakukan KPPU adalah memberikan saran dan masukan kepada pemerintah, bukan dengan menghukum pelaku usaha yang menjalankan instruksi pemerintah.
“Dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan  Persaingan Usaha Tidak Sehat, sudah diatur bahwa terkait dengan kebijakan yang diambil pemerintah, tugas KPPU adalah memberi saran atau masukan kepada pemerintah, bukan dengan menjatuhkan hukuman. Sementara pelaku usaha dalam perkara apkir dini ini hanya sebatas patuh dan menjalankan aturan pemerintah,” kata Faisal.
Faisal juga tidak melihat apkir dini parent stock  sebagai sebuah kesepakatan kartel, karena sebenarnya perusahaan pembibitan ayam merugi lantaran harus memotong ayam yang masih produktif. Dia menilai, apkir dini adalah upaya pemerintah mengoreksi kebijakan yang sudah dibuatnya yang ternyata merugikan industri ayam, terutama peternak kecil.
“Saya melihat apkir dini adalah bentuk koreksi pemerintah terhadap kebijakan yang kebablasan, yaitu ketika membuka kran impor GGPS (great grand parent stock) yang pada akhirnya membuat pasokan anak ayam (day old chick/DOC) berlebih, sehingga berimbas pada harga ayam hidup di tingkat peternak jatuh di bawah harga pokok produksi. Bentuk koreksi ini juga bisa dibuktikan dengan langkah pemerintah menghentikan kran impor GGPS sejak April 2015,” ujar Faisal.
Selanjutnya, oversupply DOC yang terjadi dipicu oleh kebijakan pemerintah yang membolehkan perusahaan mengimpor GGPS pada 2013 untuk mengantisipasi meningkatnya kebutuhan daging ayam. Bahkan, impor GGPS pada 2014 mencapai tiga kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya.
“Ternyata hitung-hitunganya tidak pas sehingga terjadi oversupply. Sebenarnya kondisi oversupply ini di atas kertas bisa dihitung. Satu GGPS menghasilkan 40 ekor GPS (grand parent stock).  Kemudian satu GPS menghasilkan 40 ekor PS, dan satu PS menghasilkan 130 ekor DOC. tinggal dihitung berapa banyak DOC yang dihasilkan dari jumlah GGPS yang diimpor,” paparnya.
Bagi Faisal yang pernah menjabat sebagai Komisioner KPPU, kebijakan apkir dini dilakukan dalam rangka melindungi peternak kecil dan industri yang sehat. Sebab, jika tidak ada tindakan segera, peternak kecil akan berguguran karena harus menanggung rugi akibat harga jual ayam yang lebih rendah dari harga pokok produksi.
“Kalau tidak ada tindakan segera dan kondisi oversupply  berlanjut, maka peternak-peternak kecil akan bangkrut atau dicaplok oleh segelintir perusahaan besar yang punya modal kuat dan punya daya tahan menghadapi jatuhnya harga. Hal ini justru membuat pasar tidak sehat,” tegasnya.
Sebelumnya, Nindyo Pramono juga mengatakan kesepakatan untuk melakukan apkir dini indukan ayam  yang dilakukan oleh 12 perusahaan pembibitan unggas tidak termasuk kartel. Tindakan tersebut merupakan perbuatan bersama untuk menjalankan instruksi pemerintah, yang tujuannya untuk kepentingan umum.
Dia menjelaskan, sesuai Pasal 11 Undang-Undang Nomor 5/1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan  Persaingan Usaha Tidak Sehat, tujuan kartel adalah untuk meraih keuntungan yang tidak wajar. Sementara dalam perkara apkir dini, motifnya bukan untuk memperoleh keuntungan yang tidak wajar, tapi dalam rangka melindungi peternak kecil yang terus merugi. Apalagi, tindakan apkir dini tersebut didasarkan atas desakan atau dorongan pihak lain, yaitu pemerintah.
“Menurut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, dalam rangka stabilisasi, pemerintah berwenang mengatur pasokan dan mengendalikan harga untuk melindungi petani maupun peternak kecil, pelaku usaha mikro dan konsumen,” ujarnya.
Sebagaimana diketahui, pada akhir 2015, Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian membuat kebijakan berupa instruksi pengapkiran 6 juta ekor indukan ayam kepada 12 perusahaan. Kebijakan ini dilakukan untuk memperbaiki harga ayam hidup (live bird) di tingkat peternak yang pada saat itu jatuh di bawah harga pokok produksi akibat berlebihnya pasokan DOC.
Tags:

Berita Terkait