Pakar Hukum Tak Sepakat Vonis Bebas Hotasi Dikasasi
Berita

Pakar Hukum Tak Sepakat Vonis Bebas Hotasi Dikasasi

Pakar itu juga menjadi ahli meringankan dalam persidangan kasus korupsi Merpati.

NOV
Bacaan 2 Menit
Pakar Hukum Tak Sepakat Vonis Bebas Hotasi Dikasasi
Hukumonline

Usai majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta membacakan vonis bebas untuk dua terdakwa kasus penyewaan pesawat maskapai PT Merpati Nusantara Airlines (MNA), Hotasi Nababan dan Tony Sudjiarto, penuntut umum belum menentukan sikap terkait upaya hukum yang akan ditempuh. Penuntut umum hanya menyatakan pikir-pikir untuk mengajukan kasasi.

Meskipun masih tahap pikir-pikir, pakar hukum Prof Erman Radjaguguk menyatakan tidak sepakat jika pihak Kejaksaan menempuh upaya kasasi. Perlu diketahui, Erman adalah salah satu ahli meringankan yang dihadirkan terdakwa di persidangan kasus korupsi Merpati.

Merujuk pada KUHAP, Guru Besar Universitas Indonesia menegaskan bahwa putusan bebas murni tidak dapat dimintakan kasasi. Meski demikian, dia akui, sudah banyak yurisprudensi MA yang dapat dijadikan acuan untuk mengajukan kasasi atas vonis bebas.

“MA nyatanya memeriksa juga permohonan kasasi atas putusan bebas. Kadang MA, antara hakim yang satu dengan hakim lainnya berbeda. Peraturannya sudah jelas. Boleh saja jaksa melakukan kasasi, tapi nanti yang memutus tetap MA,” tuturnya.

Terkait kasusnya sendiri, Erman berpendapat, kerugian yang diderita MNA adalah akibat penipuan perusahaan penyewaan pesawat. “Jadi, ini murni risiko bisnis. Tapi, saya memaklumi karena tugas jaksa melakukan penuntutan,” katanya usai acara diskusi, Rabu (20/2).

Sedari awal, Erman memang berpendapat tidak ada tindak pidana korupsi yang dilakukan Hotasi dan Tony. Dia malah mempertanyakan mengapa jaksa ngotot membawa kasus MNA ini ke pengadilan. Apabila dilihat dari konstruksi kasusnya, MNA telah mengalami kerugian akibat penipuan yang dilakukan Thirdtone Aircraft Leasing Group (TALG).

Dengan diputus bebasnya dua mantan petinggi MNA itu, berarti majelis hakim memiliki pandangan berbeda dengan penuntut umum. Alat bukti di persidangan dianggap tidak cukup kuat untuk membuktikan Hotasi dan Tony bersalah melakukan tindak pidana korupsi. Erman menilai putusan majelis hakim sudah tepat karena memang perkara itu bukan korupsi.

“Pengadilan Tipikor mengatakan tidak bersalah, saya katakan putusan ini bagus, tapi bukan berarti saya pro koruptor. UU Tipikor ini harus diubah, bukan hanya keuangan negara saja, melainkan keuangan siapa saja. Kita kan berpacu pada Konvensi PBB, dimana unsur-unsurnya tidak sebatas keuangan negara,” ujarnya.

Dalam acara diskusi yang sama, Hakim Agung Komariah Emong Sapardjadja tidak mau berkomentar tentang putusan perkara MNA. Sebagai hakim, dia berdalih terikat kode etik untuk tidak mengomentari putusan hakim. “Menurut saya putusan bebas sama baiknya dengan putusan penghukuman terhadap orang yang bersalah,” ujarnya.

Majelis hakim Pengadilan Tipikor memutus bebas Hotasi dan Tony, kemarin (19/2). Vonis tersebut tidak diputus secara bulat karena salah seorang hakim anggota, Hendra Yospin dissenting opinion. Dia berpandangan, belum adanya pengembalian uang penyewaan dua pesawat dari TALG merupakan kerugian negara.

Selain itu, pengadaan dua pesawat Boeing 737-400 dan Boeing 737-500 tidak tercantum dalam Rencana Kerja Anggaran Perusahaan (RKAP) tahun 2006 MNA. Hendra juga menyatakan, Hotasi selaku Direktur Utama melakukan pembayaran security deposit sebesar AS$1 juta berdasarkan nota dinas dan due dilligence yang minimal.

Atas perbuatan Hotasi dan Tony, Hendra menyimpulkan kedua terdakwa bersalah melanggar Pasal 3 jo Pasal 18 UU Pemberantasan Tipikor jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Sementara, hakim lainnya berpendapat Hotasi dan Tony tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana dakwaan primair maupun subsidair.

Untuk dakwaan primair Pasal 2 ayat (1) UU Pemberantasan Tipikor, majelis berpendapat unsur melawan hukumnya tidak terbukti. Kemudian, untuk dakwaan subsidair, Pasal 3 UU Pemberantasan Tipikor, salah satu unsur yang tak terbukti adalah menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi.

Menurut hakim anggota Alexander, security deposit sebesar AS$1 juta dari MNA ke TALG bersifat refundable atau sewaktu-waktu bisa dikembalikan jika pesawat tidak datang. Keinginan MNA untuk menambah armada pesawat juga sudah ada sejak lama. Namun, mengingat kondisi keuangan yang sulit, MNA menerima tawaran TALG.

Dalam dunia bisnis yang dinamis, kecepatan dan ketepatan harus harus diperhatikan dalam mengambil sebuah kebijakan. Walau begitu, majelis hakim menilai pasti ada sebuah risiko dalam bisnis, sama seperti perjanjian antara MNA dan TALG. Akibat kegagalan TALG, MNA pernah melayangkan gugatan ke pengadilan di Colombia, Amerika Serikat.

MNA dimenangkan dan TALG terbukti bersalah melakukan wanprestasi. Atas dasari itu, dua pejabat TALG, Alan Messner dan Jon Cooper dihukum untuk mengembalikan security deposit kepada MNA berikut bunganya. Hingga kini, MNA masih mengupayakan pengembalian uang dan mempidanakan kedua orang tersebut.

Majelis menganggap tidak ada yang diuntungkan dalam perkara ini. Klausul refundable justru menunjukkan tidak adanya niat kesengajaan dari Hotasi dan Tony untuk  memberikan keuntungan kepada TALG. Selain memutus bebas, penuntut umum juga diperintahkan memulihkan hak, harkat dan martabat kedua terdakwa.

Tags:

Berita Terkait