Pakar: UU Penerbangan Tak Berlaku Bagi Kecelakaan AirAsia QZ8501
Berita

Pakar: UU Penerbangan Tak Berlaku Bagi Kecelakaan AirAsia QZ8501

  • Termasuk Permenhub No.77 Tahun 2009 tentang ganti rugi juga tak berlaku.
  • AirAsia bisa saja bayar Rp1,3 Miliar ke penumpang, tapi tak ada dasar hukum.
  • Karena penerbangan internasional, dasar hukum menggunakan konvensi internasional.

Ali
Bacaan 2 Menit
Pakar Hukum Udara dari Untar, Prof. K. Martono saat menjadi pembicara dalam diskusi Masyarakat Hukum Udara di Jakarta, Rabu (4/2). Foto: Ali.
Pakar Hukum Udara dari Untar, Prof. K. Martono saat menjadi pembicara dalam diskusi Masyarakat Hukum Udara di Jakarta, Rabu (4/2). Foto: Ali.

[Versi Bahasa Inggris]

Pakar Hukum Udara dari Universitas Tarumanegara, Prof. K. Martono mengatakan bahwa Undang-Undang No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan beserta segala aturan turunannya tidak berlaku untuk kasus kecelakaan AirAsia QZ 8501.

Martono menjelaskan di Indonesia ada dua macam rezim hukum yang berlaku untuk dunia penerbangan, yakni penerbangan nasional (domestik) dan penerbangan internasional. Bagi penerbangan domestik, berlaku berbagai undang-undang, seperti UU Penerbangan (beserta turunannya) dan UU No.33 Tahun 1964 tentang Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang (Asuransi Jasa Raharja).

Sedangkan untuk penerbangan internasional, lanjut Martono, berlaku sebelas konvensi terkait konvensi penerbangan yang sudah diratifikasi oleh Indonesia, di antaranya adalah Konvensi Warsawa 1929, Konvensi Tokyo, Konvensi Den Haag dan sebagainya.

“Jadi, ada dua sistem hukum,” ujarnya dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Masyarakat Hukum Udara (MHU) di Kantor HPRP, Jakarta, Rabu (4/2).

Nah, oleh karena AirAsia QZ 8501 ini merupakan penerbangan internasional, maka Prof. Martono menilai aturan-aturan UU atau Peraturan Menteri Perhubungan terkait tidak bisa diterapkan. “Ini kan penerbangan internasional,” jelasnya lagi.

Lebih lanjut, Martono juga menjelaskan bahwa Permenhub No.77 Tahun 2011 yang mengatur tentang asuransi untuk penumpang juga tidak berlaku untuk kecelakaan ini. Padahal, pihak AirAsia QZ 8501 sudah berjanji akan membayar klaim asuransi senilai Rp1,25 Miliar per penumpang berdasarkan Pasal 3 huruf a Permenhub itu.

Bahkan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) juga mendesak agar pihak AirAsia segera membayar klaim asuransi bagi korban mengacu ke Permenhub.

“Permenhub No.77 mengenai ganti rugi itu tidak berlaku. Kalau Ibu dan Bapak baca, itu melaksanakan pasal-pasal dalam UU Penerbangan (yang hanya berlaku bagi penerbangan domestik,-red),” ujarnya.

Lalu, bagaimana dengan langkah AirAsia yang akan segera membayarkan uang asuransi senilai sejumlah uang yang disebutkan dalam Permenhub? Martono menilai itu silahkan saja. “Kalau mau bayar Rp1,3 Miliar, ya boleh saja. Siapa yang larang? Tapi, tak ada dasar hukumnya,” ujarnya.

Lebih lanjut, Martono menjelaskan dalam praktik sehari-hari selalu berbeda dengan hukum yang berlaku. Ia mencontohkan maskapai penerbangan Lion Air yang memberikan Rp300 juta kepada penumpangnya ketika mengalami kecelakaan. Maskapai penerbangan Mandala juga memberikan dengan jumlah berbeda.

Sedangkan, UU No.2 Tahun 1992 tentang Pengasuransian berlaku hanya bagi penumpang yang membeli asuransi itu secara sukarela.

Konvensi Warsawa

Martono menjelaskan karena pesawat AirAsia QZ 8501 masuk ke dalam rezim hukum penerbangan internasional, maka yang berlaku adalah sejumlah konvensi yang sudah diratifikasi oleh Indonesia. Khusus ganti rugi kecelakaan, ada Konvensi Warsawa yang mengatur hal itu.

“Sayangnya, Konvensi Warsawa tidak mewajibkan maskapai penerbangan untuk mengasuransikan penumpang,” ujarnya.

Lalu, bagaimana dengan nasib para korban?

Martono menjelaskan walau Konvensi Warsawa tidak mewajibkan asuransi, tetapi pada prakteknya sejumlah maskapai penerbangan tetap mengasuransikan penumpang. “Ini karena resikonya besar. Perusahaan akan bangkrut kalau nggak menggunakan asuransi,” ujarnya.

Jadi, lanjut Martono, AirAsia –baik menggunakan asuransi atau tidak- tetap harus bertanggung jawab memberikan kompensasi kepada sejumlah penumpang yang menjadi korban kecelakaan itu.

Sebelumnya, Pakar Hukum Udara asal Korea Selatan Prof. Doo Hwan Kim mengatakan bahwa penumpang AirAsia QZ 8501 yang berasal dari Korsel dan negara-negara lain yang sudah meratifikasi Konvensi Montreal bisa menggunakan konvensi itu sebagai dasar gugatan, walau Indonesia belum meratifikasi konvensi itu.

Bila mengacu ke Konvensi Montreal, besaran ganti ruginya lebih besar dari UU Penerbangan dan Konvensi Warsawa.

Tags:

Berita Terkait