Pakar: Putusan MA Soal Syarat Usia Kepala Daerah Sangat Tidak Wajar
Utama

Pakar: Putusan MA Soal Syarat Usia Kepala Daerah Sangat Tidak Wajar

Dalam memutus perkara ini hakim MA dinilai telah keluar dari tugas konstitusionalnya karena menggunakan UUD sebagai pedoman. Pengujian yang dilakukan seharusnya pertentangan Peraturan KPU dengan UU Pilkada.

Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit

Kedua, masih dalam pertimbangan hukum, Bivitri menyebut majelis hakim menganggap syarat usia yang berlaku sejak penetapan pasangan calon sebagaimana diatur Peraturan KPU 9/2020 hanya menggambarkan pelaksanaan UU 10/2016 dari sisi KPU sebagai termohon atau penyelenggara pemilihan. Hal ini dianggap tidak menggambarkan keseluruhan original intent yang terkandung dalam UU 10/2016. Bahkan dinilai memangkas original intent UU 10/2016 terutama dalam mengakomodir kesempatan anak-anak muda untuk ikut serta membangun bangsa dan negara.

Jika yang jadi penalaran hukum majelis hakim MA adalah soal anak muda dan bukan anak muda, Bivitri menyebut apakah dengan mengabulkan permohonan ini dengan mengubah pemaknaan Pasal 4 ayat (1) huruf d PKPU 9/2020 yang sebelumnya terhitung sejak penetapan pasangan calon dan sekarang sejak pelantikan pasangan calon terpilih signifikan untuk membedakan antara anak muda dan bukan anak muda?.

Penalaran hukum seperti ini menurut Bivitri yang memunculkan pendapat publik putusan tersebut memang untuk memuluskan jalan anak bungsu Presiden Joko Widodo, Kaesang Pangarep maju sebagai calon kepala daerah. Tercatat usia Kaesang menginjak 30 tahun pada 25 Desember 2024.

Menurut Bivitri, pola yang digulirkan keluarga Presiden Joko Widodo ini sudah dapat dilihat publik. Sebelumnya, pola yang sama bisa dilihat dari putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang membuka peluang anak sulung Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka menjadi calon wakil Presiden. Sekarang Gibran sukses terpilih menjadi Wakil Presiden Hasil Pemilu 2024.

“Pola ini bisa menjadi alasan bagi publik untuk menduga bahwa ini modus operandi,” bebernya.

Hakim MA gagal paham

Sebelumnya, akademisi Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) Titi Anggraini, mengatakan putusan MA Bernomor No.23 P/HUM/2024 itu menunjukkan Majelis MA tidak paham pemilihan kepala daerah (Pilkada) dilaksanakan dalam rangkaian dan tahapan yang saling terkait. Status sebagai calon tak sekedar disandang ketika tahap pelantikan, tapi status calon itu (sudah) melekat sejak KPU menetapkan seseorang sebagai calon tetap.

Itu sebab UU Pilkada mengenal terminologi bakal calon dan calon. KPU sebagai regulator dalam penyelenggaraan Pilkada, berwenang mengatur teknis penyelenggaraan tahapan Pilkada. Ketentuan yang diuji dalam perkara ini oleh MA adalah ranah kebijakan hukum terbuka (open legal policy).

“Ini menjadi kewenangan KPU,” ujarnya.

Bagi Titi, putusan MA ini seolah menjadi replikasi pengujian syarat usia serupa ketika pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) 2024 lalu di Mahkamah Konstitusi (MK). Apalagi kedua putusan diterbitkan dalam waktu yang bersamaan dengan berjalannya tahapan pemilu/pilkada. Putusan MA ini seharusnya tidak berlaku untuk Pilkada 2024 karena tahap pencalonan sedang berjalan.

“Hal itu agar tidak menimbulkan ketidakadilan yang dirasakan calon perseorangan yang sudah mulai persiapan pencalonan lebih awal,” lanjutnya.

Mengingat putusan MA ini tidak berlaku untuk Pilkada 2024, Titi yang juga Dewan Pembina Perludem itu menyarankan kepada KPU untuk tetap melanjutkan tahapan Pilkada sesuai jadwal. “Putusan MA tidak bisa berlaku surut mengikat proses pencalonan yang sudah dimulai dan berjalan masuk ke fase krusial,” katanya.

Tags:

Berita Terkait