Pak Tri dan Tamsil Memetik Buah di Pohon Tinggi Kasus Marsinah
Pejuang Keadilan dari Surabaya

Pak Tri dan Tamsil Memetik Buah di Pohon Tinggi Kasus Marsinah

​​​​​​​Kiprah Trimoelja D Soerjadi di dunia advokat tak bisa dilepaskan dari kasus pembunuhan aktivis buruh, Marsinah. Perkara yang semula ditolaknya. Berkat kegigihannya, Trimoelja mendapat Anugerah Yap Thiam Hien Award.

Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit
Trimoelja D. Soerjadi. Foto: NEE
Trimoelja D. Soerjadi. Foto: NEE

Sabtu, 8 Mei 1993. Sesosok mayat perempuan ditemukan di sebuah gubuk di tengah persawahan desa Jagong, Nganjuk, Jawa Timur. Penemuan mayat itu menggemparkan karena di sekujur tubuhnya ditemukan bekas luka siksaan. Belakangan diketahui, beberapa hari sebelumnya, perempuan berusia 25 tahun itu ikut berdemonstrasi bersama buruh lain. Setelah diidentifikasi akhirnya diketahui perempuan korban penyiksaan itu bernama Marsinah.

 

Peristiwa pembunuhan Marsinah masih tetap melekat di benak Trimoelja D. Soerjadi meskipun terjadi seperempat abad lalu itu. Terbunuhnya Marsinah menjadi berita utama di media massa kala itu. Desakan publik agar aparat penegak hukum menangkap pelaku dan mengungkap motif pembunuhan terus bergema. Kuat dugaan, pembunuhan tak lepas dari aktivitas Marsinah dalam gerakan buruh. Marsinah dan sejumlah pekerja PT Catur Putra Surya melakukan mogok kerja. Atas perintah Muspika Kecamatan Porong, perusahaan mencatat nama-nama buruh yang melakukan demo.

 

Marsinah adalah nama seorang buruh perempuan yang mati dibunuh karena melawan dan berjuang. Kematiannya dihubung-hubungkan dengan kuatnya pengaruh militer, termasuk dalam urusan politik perburuhan. Kisah kematiannya kini terpatri dalam banyak literatur dan tercatat di sejumlah media nasional dan internasional, sehingga akan terus diingat orang. Salah satunya karya Alex Supartono, ‘Marsinah, Campur Tangan Militer dan Politik Perburuhan’, yang diterbitkan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (1999).

 

Perhatian publik bukan hanya pada misteri pembunuhannya, tetapi juga proses persidangan orang-orang yang disangka sebagai pelaku atau terlibat, dan kemudian diseret ke pengadilan. Banyak orang yang diproses. Media massa juga terus menjadikan misteri pembunuhan dan proses hukumnya sebagai headlines.

 

Bahkan, Varia Peradilan,  majalah yang diterbitkan kalangan peradilan memuat secara khusus putusan-putusan kasus Marsinah pada edisi No. 119, Agustus 1995. Kasus yang menarik perhatian publik inilah salah satu yang membuat Trimoelja D Soerjadi naik ke puncak pentas kepengacaraan nasional. Dalam buku ‘Trimoelja D Soerjadi Manusia Merdeka, Sebuah Memoar’ disebutkan kasus Marsinah adalah highlight dalam perjalanan profesi advokat Trimoelja D. Soerjadi. Dalam kasus ini, ia menjadi penasehat hukum Judi Susanto, pemilik PT Catur Putra Surya (PT CPS), yang ikut dijadikan terdakwa. “(Perkara) ini juga mengesankan,” ujarnya dalam wawancara dengan hukumonline.

 

Baca:

 

Sebenarnya, Trimoelja nyaris tak ikut sebagai penasihat hukum dalam pusaran kasus pembunuhan Marsinah. Namun ia rajin mengikuti pemberitaan kasus itu melalui media massa. Bagi Trimoelja, kasus ini sungguh menarik. Sejumlah orang diperiksa penyidik dan dijadikan tersangka/terdakwa: Judi Susanto, Mutiari, Prayogi, Bambang Wuryantoro, Yudi Astono, Suprapto, Suwono, Widayat, dan Karyono Wongso alias Ayib.

 

Lima bulan setelah tanggal penemuan mayat, Trimoelja kedatangan dua orang tamu di kantornya. Salah seorang bernama Lina Melati, isteri Judi Susanto. Kepada sahibul bait Nyonya Lina menceritakan maksud kedatangannya: meminta kesediaan Trimoelja untuk menjadi penasihat hukum suaminya yang disangkutpautkan dengan pembunuhan Marsinah. Judi, Direktur sekaligus pemilik CPS, diculik aparat pada 1 Oktober 1993 dan tak diketahui ditahan di mana.

 

Seperti terekam dalam memoarnya, Trimoelja semula menolak permintaan itu karena masalah etika. Ia tahu Judi Susanto sudah memiliki pengacara sendiri, yakni Pieter Talaway. Sebagai advokat yang memahami kode etik profesi, tak mungkin bagi Trimoelja menerima permintaan itu. Nyonya Lina menangis mendengar penolakan itu, dan meminta kesediaan Trimoelja. Lantaran iba, Trimoelja menyarankan agar Nyonya Lina menghubungi Pieter Talaway untuk bertanya apakah Trimoelja boleh bergabung dengan tim penasihat hukum Judi Susanto. Trimoelja juga menelepon langsung koleganya itu pada hari lain, langsung di depan Nyonya Lina. Pieter tak keberatan. Akhirnya, Trimoelja mendapat surat kuasa untuk mendampingi proses hukum Judi Susanto, bersama Pieter Talaway dan Rudi Aedhar.  

 

Trimoelja mengibaratkan kasus Marsinah bagai ‘memetik buah ranum di pohon tinggi tanpa galah’. Artinya, nyaris mustahil bagi tim pengacara untuk memetik buah ranum itu jika penasihat hukum tak bisa memanjat dan tak punya galah untuk meraihnya. Buah ranum itu adalah kebenaran, dan kebenaran itu sesuatu yang harus diraih. Kekuatan pengacara adalah menggoyang-goyang batang pohon dengan harapan lama kelamaan buah ranum itu jatuh dengan sendirinya. Kebenaran itu, kalau terus diperjuangkan, akan jatuh ke bumi, ia akan mengakar ke bumi. Jika sudah jatuh ke bumi, banyak orang bisa menikmatinya. Trimoelja tampil di depan menyampaikan pandangan-pandangan tim penasihat hukum ke media massa. Ia menyebutkan bahwa penetapan Judi Susanto dan beberapa karyawan CPS sebagai terdakwa adalah rekayasa militer dan polisi. Para tersangka/terdakwa terpaksa mengaku lantaran tidak tahan penyiksaan dan tekanan. Dan, melalui strategi yang jitu didukung tamsil yang terus didengungkan, tim penasihat hukum Judi Susanto berhasil merebut opini dan simpati publik.

 

Sebagai bagian dari pencarian keadilan, tim penasihat hukum juga menyiapkan praperadilan. Langkah ini ditempuh karena berhari-hari tak ada kabar pasti di mana Judi Susanto ditahan. Polisi berkali-kali membantah, demikian pula Kodam Brawijaya. Barulah pada 20 Oktober 1993 Judi muncul di Polda Jawa Timur dengan status tahanan. Salinan surat perintah penangkapan dan penahanan Judi Susanto juga baru hari itu diberikan kepada keluarganya. Praperadilan itu ditolak hakim.

 

Keanehan lain diperoleh dari cerita Judi. Ternyata sebelum ditangani polisi, Judi ditahan di Detasemen Intelijen Kodam V Brawijaya. Cerita Judi menguatkan dugaan bahwa oknum militer terlibat dalam penanganan kasus pembunuhan Marsinah. Masalah ini kemudian diangkat tim pengacara dalam pembelaan, pledoi Judi diberi judul Republic of Fear. “Bagaimana republik kita ini kalau orang tahunya takut, takut, takut, dan takut?” tegas Pak Tri dalam perbincangan dengan hukumonline. “Apa republik macam ini yang kita inginkan?,” sambung advokat yang pernah menjabat Ketua Dewan Kehormatan Daerah DPC Peradi Jawa Jimur ini.

 

Strategi lain adalah mengadukan kasus yang ditanganinya ke Komnas HAM di Jakarta dan sejumlah lembaga pemerhati hak asasi manusia. Komnas HAM memberi respons dengan menyurati para pemangku kepentingan. Judi Susanto juga diberikan kesempatan untuk memberikan keterangan kepada Komnas HAM. Bahkan Komnas memfasilitasi hearing dengan sejumlah pihak yang berkepentingan. Dalam pertemuan itu, Trimoelja kembali menyinggung keterlibatan militer, bahkan menyebut penyiksaan tak berperikemanusiaan yang dilakukan oknum militer dan polisi terhadap Judi Susanto. Pernyataan terbuka Trimoelja membuat gerah banyak petinggi militer dan polisi. Seorang penyidik di Polda Jatim bahkan mengajak Trimoelja berduel, sebuah tantangan yang tak dilayani. Yang pasti teror terhadap tim pengacara gonta ganti datang.

 

Meskipun sudah diperingatkan keluarga, Trimoelja dan pengacara lain tetap maju membela kliennya. Penuntut umum mendakwa Judi Susanto bersama-sama orang lain melakukan tindakan yang melanggar Pasal 340 KUHP (primair), Pasal 355 ayat (2) KUHP (subsidair), atau Pasal 333 ayat (3) KUHP (lebih subsidair). Dakwaannya bersifat alternatif. Di persidangan, Judi mencabut keterangannya dalam BAP karena BAP itu ditandatangani di bawah siksaan dan tekanan. Beberapa orang saksi pun demikian. Selain menyampaikan nota pembelaan/pledoi Republic of Fear, tim pengacara juga mengajukan ahli kedokteran kehakiman dokter Abdul Mun’im Idris. Dalam persidangan, kejanggalan demi kejanggalan terutama analisis medis, surat dakwaan dibongkar. Tak hanya itu, tim penasihat hukum berhasil membuktikan alibi Judi Susanto. Surat dakwaan jaksa menyebut terdakwa memimpin rapat di kantor PT CPS Porong pada 5 Mei 1993, rapat merencanakan pembunuhan Marsinah. Faktanya, Judi berada di kantor PT CPS di Rungkut Surabaya.

 

Pada putusan tingkat pertama, majelis hakim menepis dalil penasihat hukum Judi. Ia dijatuhi hukuman 17 tahun penjara karena terbukti melakukan pembujukan untuk melakukan pembunuhan berencana. Judi Susanto alias Kho Hi Ki tak terima putusan itu, dan melalui penasihat hukumnya mengajukan banding.

 

Tim penasihat hukum mengerahkan daya dan pikiran untuk mengajukan memori banding yang kuat. Mereka menguraikan satu persatu kelemahan pertimbangan majelis hakim tingkat pertama. Perjuangan itu ternyata berhasil. Majelis hakim banding tak sependapat dengan majelis tingkat pertama mengenai terbuktinya unsur ‘membujuk’. Hakim tingkat pertama mendasarkan pertimbangan pada pertimbangan saksi-saksi padahal saksi-saksi tersebut sudah mencabut keterangan mereka di muka persidangan. Dari 34 orang saksi yang dihadirkan penuntut umum ternyata tidak seorang pun yang menerangkan telah mendengar, melihat sendiri, atau mengalami sendiri terdakwa telah melakukan perbuatan yang didakwakan. Selain itu, majelis banding menerima alibi yang disampaikan penasihat hukum.

 

Majelis hakim banding menerima permohonan banding terdakwa, dan mengadili sendiri perkara tersebut. Majelis menyatakan terdakwa Judi Susanto tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan, dan karena itu terdakwa harus dibebaskan.

 

Jaksa mengajukan kasasi. Alasannya antara lain putusan banding bukan pembebasan murni, hakim banding tidak menerapkan Pasal 253 ayat (1) KUHAP sebagaimana mestinya, dan hakim banding dinilai keliru menafsirkan Pasal 55 ayat (1) ke-2 KUHP. Perjuangan tak kenal lelah pengacara Judi membuahkan hasil. Majelis kasasi beranggotakan Adi Andojo, Ny. Karlinah Palmini Achmad, dan Tomy Boestomi.

 

Yap Thiam Hien Award

Kasus pembunuhan Marsinah bisa disebut tonggak penting reputasi nasional dan internasional Trimoelja. Kasus ini juga membuka kesadaran masyarakat tentang memperjuangkan hak asasi manusia, khususnya dalam proses peradilan. Tidak mengherankan jika kemudian Trimoelja D Soerjadi dianugerahi Yap Thiam Hien Award pada Desember 1994. Nyonya Yap Thian Hien langsung yang menyerahkan penghargaan itu kepada Trimoelja, disaksikan wartawan senior Goenawan Mohamad, dan advokat yang sangat dikagumi Trimoelja, Adnan Buyung Nasution.

 

Mengapa Trimoelja yang mendapat award itu? Jawabannya bisa disimak dari pidato Todung Mulya Lubis, Ketua Dewan Pengurus Yayasan Pusat Studi Hak Asasi Manusia, atau dari alasan yang disampaikan Dewan Juri. Setelah menyinggung sekilas kasus Marsinah, Todung menyatakan hormat kepada Trimoelja.

 

“Seorang advokat yang secara gigih, tanpa kena kompromi, berjuang menyingkap misteri pembunuhan Marsinah. Pembelaan gigih Trimoelja telah mulai menyingkap tabir kegelapan itu. Jadi sebetulnya yang dilakukan Trimoelja tidak saja membela Yudi Susanto, tetapi membela kepentingan kebenaran dan keadilan yang lebih besar, membela hak asasi manusia yang terampas oleh kebutaan dan keangkuhan kekuasaan”, seperti tertuang dalam buku 65 Tahun Trimoelja D Soerjadi: Kendala Menegakkan Kebenaran dan Keadilan (Guna Widya, 2004).

 

Dewan Juri Yap Thiam Hien Award terdiri dari KH Abdurrahman Wahid, Adnan Buyung Nasution, Amartiwi Saleh, Deliar Noer, dan YB Mangunwijaya. Dewan Juri menyatakan Trimoelja hakikatnya bukanlah seorang aktivis HAM dalam pengertian aktivis, melainkan seorang advokat professional yang berupaya mempergunakan keahliannya demi tanggung jawab profesi.

 

Trimoelja adalah teladan bagi profesi pengacara sejati Ia telah berjuang untuk penghormatan dan penegakan HAM. Dengan cara yang ia pilih sendiri, membela kasus-kasus ‘lokal’, kasus ‘sehari-hari’, ia sesungguhnya telah menyadarkan banyak orang bahwa perjuangan hak asasi manusia adalah perjuangan sehari-hari, perjuangan dari hari ke hari.

 

Tetapi dalam pidatonya saat menerima penghargaan itu, Trimoelja tetap merendah dan berterima kasih banyak telah memilihnya. “Saya sendiri sebenarnya merasakan bahwa belum atau tidak banyak yang telah saya lakukan yang menurut saya layak mendapat pengakuan melalui pemberian Yap Thiam Hien Award”.

 

“Obsesi saya sendiri sebenarnya adalah bagaimana dengan segala keterbatasan yang melekat pada diri saya, saya bisa menjadi advokat yang baik dan professional yang bila perlu harus berani membela klien memperjuangkan kebenaran dan keadilan, apapun risiko pribadi yang mungkin harus dipikul”.

 

Kini, perjuangan tak kenal lelah itu telah membuahkan hasil. Di usia senja, Trimoelja telah mencatatkan lembaran sejarah kepengacaraannya dengan tinta emas. Kini, tinggal bagaimana advokat-advokat muda di Tanah Air meneladani perjuangannya. (NEE)

Tags:

Berita Terkait