Pajak UMKM Hambat Penyerapan Tenaga Kerja
Berita

Pajak UMKM Hambat Penyerapan Tenaga Kerja

Padahal sektor UMKM mampu menyerap lebih dari 100 juta tenaga kerja.

ADY
Bacaan 2 Menit
Pajak UMKM Hambat Penyerapan Tenaga Kerja
Hukumonline

Sekjen Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI), Timboel Siregar, mengatakan PP No.46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Usaha Yang Diterima Atau Diperoleh Wajib Pajak Yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu ditengarai bakal menghambat penyerapan tenaga kerja. Pasalnya, lewat peraturan itu pemerintah menetapkan pajak satu persen bagi UMKM yang beromzet tidak lebih dari Rp4,8 miliar per tahun.

Melihat besaran pajak yang dikenakan itu Timboel merasa sektor UMKM akan terbebani. Untuk menyesuaikan usahanya dengan kebijakan itu, UMKM kemungkinan besar akan menaikan harga. Dengan begitu sektor UMKM berpikir ulang untuk merekrut tenaga kerja baru karena produk-produk mereka harus bersaing ketat dengan produk asing. Akibatnya, perkembangan sektor UMKM akan terhambat dan berpengaruh pada turunnya penyerapan tenaga kerja.

Mengacu data Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah pada Juni 2013, terdapat 55,2 juta UMKM dan menyerap 101,72 juta tenaga kerja. Oleh karenanya, PP 46/2013 itu akan memberi dampak terhadap sektor usaha yang menyumbang 57,12 persen PDB Indonesia. Apalagi, selama ini pemerintah sangat minim memberikan insentif kepada sektor UMKM. Seperti bunga kredit yang nilainya masih tinggi, termasuk program KUR dan akses pasar yang rendah untuk memasarkan produk-produk UMKM. Belum lagi UMKM harus menghadapi ancaman serius dari ACFTA karena membuka ruang bagi produk murah dari China masuk ke pasar lokal.

Dengan kebijakan yang tidak tepat itu, Timboel berpendapat sektor UMKM akan kesulitan menjalani usahanya. Ujungnya, selain penyerapan tenaga kerja terhambat, peluang UMKM untuk berkembang menjadi sektor formal semakin kecil. “Seharusnya pemerintah menjaga sektor UMKM yang bisa menyerap lebih banyak lapangan kerja dengan cara memberikan insentif suku bunga, mempermudah akses pasar dan tidak dikenakan pajak,” katanya kepada hukumonline lewat pesan singkat, Selasa (2/7).

Alih-alih memberi insentif kepada UMKM, pemerintah malah membebaskan pajak penjualan atas barang mewah (PPN-BM) kepada pihak asing atau perwakilan internasional di Indonesia. Pembebasan pajak itu ditetapkan lewat PP No. 47 Tahun 2013 tentang Pemberian Pembebasan Pajak Pertambahan Nilai Atau Pajak Penjualan Atas Barang Mewah Kepada Perwakilan Negara Asing dan Badan Internasional serta Pejabatnya. Timboel menilai kebijakan itu sangat kontras dengan penerapan pajak untuk UMKM karena pemerintah terkesan membebani rakyatnya sendiri dan memanjakan perwakilan asing.

Kebijakan yang dirasa tidak adil bagi rakyat menurut Timboel tidak berhenti di situ karena pemerintah sudah menandatangani PP No.48 Tahun 2013 tentang Pemberian Gaji/Pensiun/Tunjangan Bulan Ketigabelas Dalam Tahun Anggaran 2013 Kepada Pegawai Negeri, Pejabat Negara dan Penerima Pensiun/Tunjangan. Timboel melihat kebijakan itu bukan hanya memberi gaji ke-13 untuk PNS, tapi juga Presiden dan menterinya serta anggota DPR.

Keuntungan yang diperoleh para pejabat negara itu bagi Timboel tidak sebanding dengan penderitaan rakyat yang tergerus inflasi akibat kenaikan harga BBM bersubsidi. “Rakyat disuruh berkorban dengan iming-iming BLSM, tapi pemerintah menandatangani peraturan yang memberi keuntungan bagi diri mereka sendiri,” ujarnya.

Terpisah, Ketua bidang UKM Apindo, Nina Tursinah, mengatakan pada prinsipnya UMKM membutuhkan kebijakan pemerintah yang memberi kemudahan. Seperti bagaimana meningkatkan daya saing UMKM agar omzet yang diperoleh meningkat dan keberlangsungan usahanya terjaga. Dengan begitu, Nina menilai produk-produk yang dihasilkan UMKM bakal mempunyai daya saing yang tinggi. Ketika hal itu terwujud, dan mendapat profit, menurut Nina tidak ada masalah bagi UMKM untuk membayar pajak sebesar satu persen dari omzet satu tahun.

Atas dasar itu, menurut Nina penetapan pajak sebesar satu persen itu harus dibarengi dengan kebijakan yang memberi kemudahan untuk UMKM. Sehingga produk yang dihasilkan UMKM dapat bersaing dengan produk murah yang berasal dari luar negeri. Misalnya, mengingat kenaikan harga BBM bersubsidi, harga bahan baku menjadi naik, begitu juga dengan rencana kenaikan tarif dasar listrik. Nina berpendapat kondisi itu berpotensi menghambat terciptanya daya saing produk UMKM menjadi berdaya saing tinggi. “Misalnya, bunga bank belum turun, jadi jangan sampai usaha UMKM tidak memperoleh untung lalu keberlanjutan usahanya tidak jalan,” urainya.

Untuk itu Nina berharap agar pemerintah dan UMKM saling bersinergi. Di satu sisi pemerintah menerbitkan kebijakan yang memberi kemudahan dan di sisi lain UMKM membayar pajak. Selaras dengan itu, pemerintah menurut Nina perlu melakukan sosialisasi atas pengenaan pajak itu kepada seluruh pemangku kepentingan. Pasalnya, tidak semua UMKM dapat mengelola pembukuan keuangan dengan baik. Ketika pemerintah dapat membina UMKM dan memberi pengetahuan agar dapat melakukan pembukuan keuangan seperti diharapkan, Nina yakin implementasi peraturan tersebut dapat berjalan lancar.

Selain itu, kemudahan juga dibutuhkan bagi UMKM untuk menjalankan peraturan pengenaan pajak tersebut. Misalnya, pemerintah menyediakan sistem yang memudahkan UMKM membayar pajak satu persen. Pasalnya, Nina khawatir jika sistem itu menyulitkan, maka UMKM bakal enggan membayar pajak. Namun, pada dasarnya DPN Apindo mendukung kebijakan pemerintah menerapkan pajak satu persen untuk UMKM.

Tags: