Pajak Media Massa: Koran Jadi Kayak Rokok
Berita

Pajak Media Massa: Koran Jadi Kayak Rokok

Surat Keputusan Ditjen Pajak tentang pajak bagi media massa menuai protes.

Ycb
Bacaan 2 Menit
Pajak Media Massa:  Koran Jadi Kayak Rokok
Hukumonline

Jika Anda membeli rokok tentu harus rela membayar juga pita cukainya. Nah, jika Anda membeli koran, apakah mau membayar juga pajak atas media massa? 'Makhluk anyar' ini baru-baru saja diciptakan oleh Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak. Saya sendiri baru tahu ada jenis pajak itu, ungkap Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Sofyan Djalil, dalam sebuah acara, Rabu (25/4).

 

Ditjen Pajak sebelumnya obral berbagai insentif pajak. Dari PPh, PPN barang primer, hingga pembebasan pajak rumah murah. Namun, rupanya pengusaha media massa justru memperoleh 'surat cinta' yang lain. Sepucuk Surat Keputusan Diten Pajak bernomor PER-70/PJ/2007 itu menetapkan pajak atas jenis jasa lain dan perkiraan penghasilan netto dan terbit 9 April lalu.

 

Sontak, Serikat Penerbit Suratkabar Indonesia (SPS) protes. Ditjen Pajak rupanya tak tahu peran penting pers, teriak Ketua SPS Leo Batubara, dari saluran telepon genggam. Leo menekankan pers berfungsi mendidik dan menyebar informasi kepada publik.

 

Surat tersebut berisi jenis-jenis jasa yang terkena Pajak Penghasilan (PPh) 15 persen yang dihitung dari perkiraan penghasilan netto. Khusus untuk media, besaran perkiraaan penghasilan netto adalah 10 persen dari total pendapatan bruto di luar PPN.

 

Leo memberi contoh. Jika sebuah media berhasil mengeruk total iklan Rp100 juta, maka perkiraan penghasilan netto Rp10 juta. Artinya, media tersebut kudu setor PPh Rp1,5 juta. Itu belum memperhitungkan PPN 10 persen dari total pendapatan bruto alias sebesar Rp10 juta.

 

Leo menjelaskan, Amerika Serikat maupun India membebaskan pajak atas percetakan kertas. Tujuannya supaya masyarakat mampu menjangkau buku atau media cetak dengan harga murah. Itu namanya no tax knowledge, jelas Leo, yang juga anggota Dewan Pers.

 

Leo menilai perlakuan ditjen yang kantornya berlokasi di kawasan Gatot Subroto ini tak adil. Pengusaha lainnya dapat keringanan. Sedangkan pelaku media malah dicekik.

 

Jika peraturan tersebut berlaku, bertalulah genta kematian industri media. Leo punya data menarik. Jumlah media cetak saat ini 829. Namun hanya sekitar 30 persen yang sehat. Sedangkan stasiun radio berjumlah 2.000-an. Itupun, cuma 10 persen yang oke. Televisi yang berjumlah 65 stasiun setali tiga keping dengan radio - baru 10 persen yang layak bisnis. Artinya Ditjen Pajak lebih senang masyarakat membeli koran mahal serta industri media bangkrut, repet Leo.

 

Apalagi, saat ini pertempuran antar pelaku media makin sengit. Jatah iklan tahun ini sekitar Rp30 triliun. Teve yang merebut porsi kue paling besar, 63 persen. Media cetak hanya merengkuh 31 persen. Sisanya, buat radio, media online, dan lainnya. Pajak itu sangat signifikan bagi kami, sambung Leo. Apalagi, saat ini masih banyak media yang mengupah cekak para pewartanya, bahkan ada yang terlambat menggaji.

 

Menurut Leo, Ditjen Pajak tak memahami dampak berlakunya ketetapan ini. Ditjen Pajak lebih suka wartawan kita bertradisi menerima amplop karena kondisi perusahaannya tak kunjung sehat, ujarnya makin berapi-api.

 

Sementara itu, Sofyan berjanji akan menemui Menteri Keuangan Sri Mulyani untuk membahas hal ini. Meski demikian, Sofyan tak memiliki tawaran solusi konkret. Kita bicarakan dulu, saya mau tanyakan terlebih dulu dengan Bu Menteri, tukasnya.

 

Sofyan tak menjanjikan pajak tersebut bakal dihapus. Akan saya tanyakan dulu seberapa besarkah pendapatan pajak dari sektor ini. Baru bisa menimbang-nimbang solusinya, sambugnya.

 

Menurut Sofyan, jika kontribusi pajak jenis ini kecil ke kantong APBN, sebaiknya dihapus saja. Namun, lagi-lagi, Sofyan tak menjanjikan apapun. Semua itu terserah Bu Menteri sebagai pengendali fiskal.

 

Celakanya, Sofyan juga tak bisa memastikan kapan masalah pajak ini selesai dibahas. Yang penting secepatnya akan serius kita bicarakan. Apalagi, negara lain tak memungut pajak atas ilmu pengetahuan. Hingga berita ini ditulis, sumber dari Ditjen Pajak belum bisa dikonfirmasi. Sambungan telepon seluler Direktur Penyuluhan Pajak Joko Slamet Suryoputro selalu tertuju ke kotak suara.

 

Tags: