Pajak Ekonomi Digital di Mata Pengamat
Berita

Pajak Ekonomi Digital di Mata Pengamat

Kemenkeu menyiapkan strategi untuk memaksimalkan penerimaan pajak dari sektor e-commerce.

Fitri N. Heriani
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi pajak ekonomi digital. Ilustrator: BAS
Ilustrasi pajak ekonomi digital. Ilustrator: BAS

ragam keuntungan seperti efisiensi, efektivitas, dan mobilitas bisnis. Pasar konvensional telah berevolusi menjadi pasar digital dan meniadakan konsep brick and mortar. Beragam model dan karakteristik bisnis digital hadir bermunculan dalam sebuah konsep yang dinamakan ekonomi digital.

Konsep ini tak lagi mengenal batas yuridiksi negara saat bertransaksi, tak lagi terbatas waktu, dapat diakses kapan pun dan di mana pun, serta keberadaannya yang tak lagi ‘kasat mata’ atau virtual. Potensi sektor ekonomi digital sangat besar sehingga menarik minat para investor.

Berdasarkan kajian Google-A.T. Kearney tahun 2017, 3 miliar dolar Amerika Serikat (AS$) investasi asing untuk bisnis digital mengalir ke Indonesia. Potensi pasar digital diperkirakan mampu mencapai AS$130 miliar pada 2020. Data BPS menunjukkan pada tahun 2015, sektor ini mampu berkontribusi sebesar 7,2 persen terhadap total PDB sebesar Rp225 triliun dan tumbuh 10 persen setiap tahun (yoy). Bahkan diperkirakan tahun 2018 akan tumbuh signifikan mengingat pertumbuhan triwulan pertama sudah mencapai 8,96 persen.

Sektor ini juga diyakini mampu menciptakan kesempatan kerja sebanyak 10.700 untuk setiap peningkatan titik persentasenya. Meski demikian, sektor ekonomi digital tumbuh dengan dibayangi ketidakpastian, antara lain bayang-bayang kebijakan perpajakan yang belum menentu.

(Baca juga: Begini Dampak Ekonomi Digital Terhadap Hubungan Industrial).

Pengamat Perpajakan Yustinus Prastowo, menjelaskan, Kamis (25/10), berdasarkan data dari INSEAD Global Talent Competitiveness Index, daya saing Indonesia terbilang rendah. Saat ini berada di urutan 90 dari 118 negara. Agar daya saing meningkat dan investasi sektor ekonomi digital tumbuh sesuai harapan, pemerintah perlu memperhatikan beberapa hal.

Pertama, negara harus memperoleh haknya berupapenerimaan perpajakan dari aktivitas ekonomi digital. Namun tetap harusmempertimbangkan prinsip kehati-hatian, proporsionalitas, dan fairness, termasukpertimbangan pentingnya komparasi kebijakan dengan negara lain dan memperhatikan trenperpajakan global. Dalam konteks ini, Yustinus berharap Pemerintah menerbitkan kebijakan dan aturan perpajakan demimenciptakan kepastian hukum bagi sektor ekonomi digital. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak No. SE-62/PJ/2013 tentang Penegasan Ketentuan Perpajakan Atas Transaksi E-Commerce dinilai belum cukup komprehensif dan kuat dalam mengatur pengenaan pajak yang adil dan efektif bagi industri e-commerce.

“Poin-poin krusial antara lain subjek pajak, objek Pajak Pertambahan Nilai berupa BKP/JKP yang harus dibuat lebih jelas, DPP PPN atas transaksi pemberian cuma-cuma yang sering dilakukan sebagai bentuk promosi, mekanisme pemungutan, dan sebagainya,” kata Yustinus.

Kedua, perlunya pengaturan dan pengawasan yang harus dilakukan terhadap pemungutan PPN oleh WP Badan/WPOP yang sudah memiliki omset di atas Rp4.8 miliar, karena besarnya potensi PPN dari ecommerce domestik. Sedangkan, pemungutan PPN atas barang impor (e-commerce asing) sebagian telah dapat dipungut saat impor.

Ketiga, salah satu sumber potensi penerimaan pajak adalah sektor over the top service (OTT). Yustinus mengatakan, pengalaman beberapa negara dan kompleksitas kebijakan seyogianya mendorong Pemerintah mengambil langkah ‘jalan tengah’ yang efektif. Hingga kini, penerapan Pajak Penghasilan atau introduksi jenis pajak baru untuk OTT terus menjadi terus menjadi polemik. Penyebabnya hak pemajakan lintas negara (Pajak Penghasilan/PPh) masih berpatokan pada keberadaan fisik. Padahal, lanjutnya, kini praktik bisnis tak lagi mensyaratkan demikian.

“Akibatnya, seringkali negara pasar sumber penghasilan merasa dirugikan. Namun memaksakan pengenaan pajak pada saat kita belum punya acuan normatif yang kokoh juga rawan mengundang sengketa berkepanjangan, dan pada gilirannya tidak menguntungkan kebutuhan akan iklim investasi yang baik,” imbuhnya.

Keempat, Yustinus menyampaikan bahwa Task Force on Digital Economy (TFDE) berupaya mengatasi persoalan ini dengan menciptakan konsensus global pemajakan ekonomi digital pada 2020. Alih-alih tuntas, interim report TFDE pada Maret 2018 lalu justru menunjukkan adanya kendala yaitu ketidaksepakatan global lantaran banyak negara berbeda pendapat dan sebagian memilih upaya unilateral, seperti Equalization Levy di India, Google Tax di Inggris, dan The Multinational Anti-Avoidance Law (MAAL) di Australia.

Meski upaya unilateral dapat dilakukan selayaknya negara-negara tersebut, namun sebaiknya pemerintah Indonesia tidak gegabah dalam menentukan arah kebijakan. Sebab, risikonya adalah double taxation, timbulnya kompleksitas baru, kenaikan cost of compliance, dan kontraproduktif terhadap upaya menciptakan iklim investasi. Selain itu, upaya ini akan memakan waktu panjang karena harus mengubah Undang-Undang, dan renegosiasi Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B).

Kelima, terdapat satu pendekatan ‘jalan tengah’ yang bijak untuk menjaring penerimaan tanpa harus mengubah sistem yang ada, yakni pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas transaksi jasa digital cross border secara lebih optimal. “PPN menganut prinsip destination principle, yaitu pajak dikenakan pada tempat barang/jasa itu dikonsumsi ataunegara sumber penghasilan. Langkah ini cukup feasible dan efektif karena dapat dilakukan tanpa menunggu konsensi dan mengubah P3B yang ada.,” jelas Yustinus.

Selain itu, ia mengingatkan pengenaan PPN atas jasa digital ini direkomendasikan OECD dan telah dipraktikkan oleh beberapa negara. Mekanisme yang diterapkan antara lain supplier collection, yakni menyerahkan tugas pemungutan PPN pada supplier asing. Mekanisme ini dinilai Yustinus cukup populer. Buktinya, sebanyak 29 dari 35 negara OECD (bersama Uni Eropa, Rusia, India, Afrika Selatan, dll) telah mengadopsinya.

Teknis pemungutannya adalah supplier (dengan omset melebihi threshold Rp4,8 M) diwajibkan untuk melakukan registrasi sebagai pemungut PPN. Selanjutnya, PPN yang terkumpul disetor dan dilaporkan dalam periode tertentu melalui mekanisme simplified registration, yang memungkinkan laporan dibuat sederhana tanpa full reporting.

Namun Yustinus mengingatkan, untuk menerapkan supplier collection, diperlukan revisi UU PPN Pasal 3A ayat (3) yang substansinya mengatur pendekatan consumer collection. Tidak hanya itu, Pasal 2 UU Ketentuan Umum Perpajakan (KUP) yang mengatur tempat dan syarat pendaftaran juga harus direvisi. Artinya, reformasi pajak menjadi momentum yang tepat untuk memperbaiki kerangka hukum dan aturan teknis pemajakan ekonomi digital.

Keenam, untuk mendukung kemudahan, portal website berbahasa universal diperlukan sebagai sarana bagi supplier melakukan registrasi, menyetorkan, dan melaporkan PPN dengan mudah dan sederhana (pay-only registration), dengan menggunakan sistem pembayaran yang fleksibel tanpa harus membuka rekening di Indonesia.

“Mekanisme supplier collection ini hanya dikenakan untuk transaksi Business-to-Customer (B2C). Sebaliknya, apabila supplier yang bertansaksi dengan pelaku bisnis Pengusaha Kena Pajak/PKP atau Business-to-Business (B2B), maka sesuai ketentuan perundang-undangan harus dilakukan pemungutan oleh PKP melalui skema PPN atas impor jasa luar negeri (self-assessed). Mekanisme B2B seperti ini dikenal dengan nama reverse charge,” tambahnya.

Ditjen Pajak perlu melibatkan Kementerian Kominfo dan otoritas terkait untuk menerapkan sanksi administrasi, khususnya bagi supplier yang tidak menjalankan kewajiban pemungutan PPN-nya. Perluasan objek PPN terhadap  Perluasan objek PPN terhadap  penyerahan jasa digital diharapkan dapat menjadi instrumen untuk menggali potensi penerimaan PPN. “Perluasan ini perlu didukung dengan percepatan reformasi demi peningkatan kapasitas institusi, administrasi yang lebih baik, serta penegakan hukum yang tegas dan berkeadilan,” tandasnya.

Kepala Pusat Kebijakan Pendapatan Negara (PKPN) Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Rofyanto Kurniawan, menjelaskan pemerintah menargetkan Indonesia menjadi pusat ekonomi digital di Asia Tenggara pada 2020. Salah satunya lewat penerbitan roadmap e-commerce.

(Baca juga: Menanti PP e-Commerce Demi Lindungi Konsumen).

Pada dasarnya, lanjut Ryanto, kebijakan perpajakan atas e-commerce didasarkan atas beberapa prinsip yakni e-commerce hanya cara bertransaksi sebagaimana konvensional sehingga tidak ada tambahan beban pajak baru, menciptakan level playing field yang setara antara pedagang online dengan perdagangan konvensional, meningkatkan ketaatan pajak dengan memanfaatkan potensi ketersediaan data sebagai sumber pengawasan pelaksanaan voluntary compliance, skema pemajakan yang sederhana dan mudah baik bagi pelaku usaha maupun bagi DJP, serta pemajakan e-commerce yang digunakan untuk menjaga kepentingan industri nasional.

Pemerintah juga menyiapkan strategi dalam hal pemajakan e-commerce, seperti memanfaatkan platform untuk menyederhanakan pemenuhan kewajiban perpajaka, menyamakan perlakuan pemajakan marketplace vs model platform lainnya seperti social media, classified ads dll, mempertahankan netralitas perdagangan domestik dan asing serta pengusaha kecil baik di perdagangan konvensional maupun e-commerce, dan Bekerja sama dengan penyedia platform asing (google, amazon, netflik dsb) sebagai agen pemungut PPN.

Namun, pemajakan ekonomi digital di Indonesia masih menghadapi beberapa masalah, terutama masalah penghindaran pajak perusahaan teknologi dan masalah pemungutan pajak. Adanya tax planning yang dikenal dengan Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) yang memanfaatkan gap dan kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan perpajakan domestik untuk “menghilangkan” keuntungan atau mengalihkan keuntungan tersebut ke negara lain yang memiliki tariff pajak yang rendah bahkan bebas pajak.

“Tujuan akhirnya adalah agar perusahaan tidak perlu membayar pajak atau pajak yang dibayar nilainya sangat kecil terhadap pendapatan perusahaan secara keseluruhan,” katanya.

Kendala pemungutan pajak berupa kesulitan mengumpulkan PPN di negara tujuan dimana barang, jasa, dan barang tak berwujud dibeli oleh konsumen dari perusahaan yang berbasis di luar negeri yang mungkin tidak memiliki kehadiran fisik langsung atau tidak langsung di wilayah hukum konsumen. “Juga kemampuan beberapa perusahaan untuk memperoleh pendapatan dari penjualan di suatu negara dengan tanpa kehadiran fisik yang signifikan di masa lalu, sehingga perusahaan mempertanyakan relevansi peraturan yang ada yang melihat kehadiran fisik saat menentukan kewajiban pajak,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait