Pajak Dana JHT Diprotes Buruh
Utama

Pajak Dana JHT Diprotes Buruh

Jauh sebelum era BPJS Ketenagakerjaan, sudah ada beleid yang mengenakan pajak terhadap JHT, pesangon, dan uang manfaat pensiun.

ADY THEA
Bacaan 2 Menit
Kantor BPJS Ketenagakerjaan. Foto: RES
Kantor BPJS Ketenagakerjaan. Foto: RES
Setelah protes atas aturan pencairan Jaminan Hari Tua (JHT) diakomodasi pemerintah, kini kalangan buruh mengajukan protes untuk isu lain. Pajak. Ya, kalangan buruh meprotes karena tak setuju dana JHT dikenai pajak. Alasannya, dana JHT adalah tabungan, bukan penghasilan pekerja.

Pengenaan pajak atas JHT itu jelas dalam PP No. 68 Tahun 2009 tentang Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 Atas Penghasilan Berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua dan Jaminan Hari Tua Yang Dibayarkan Sekaligus. Pasal 2 beleid ini tegas menyebutkan “Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Pegawai berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua yang dibayarkan sekaligus dikenai pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang bersifat final”.

PP itu  sebenarnya dikeluarkan jauh sebelum aturan tentang JHT dalam konteks BPJS Ketenagakerjaan terbit. Bahkan dikeluarkan sebelum pemerintah dan DPR menyusun konsep Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Jaminan Hari Tua versi PP No. 68 Tahun 2009 adalah ‘penghasilan’ yang dibayarkan sekaligus oleh badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja kepada orang pribadi yang berhak dalam jangka waktu yang telah ditentukan atau keadaan lain yang ditentukan.

Status JHT sebagai penghasilan, dan karenanya kena pajak, itulah yang kini dipersoalkan. Sekjen Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI), Timboel Siregar, mengatakan dana JHT merupakan tabungan pekerja yang disisihkan setiap bulan dari upah (buruh 2 persen dan pengusaha 3,7 persen) untuk menjamin masa tua pekerja.

Dana JHT bisa digunakan oleh pekerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) yang sulit mendapatkan pesangon atau pekerjaan baru. “Status dana JHT itu tabungan, bukan penghasilan pekerja (upah),” tegas Koordinator Advokasi BPJS Watch itu di Jakarta, Jumat (11/9).

Formula tarif PPh Pasal 21 atas dana JHT tak hanya diatur lewat PP N0. 68 Tahun 2009, tetapi juga Pasal 4 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan No. 16 Tahun 2010  tentang Tata Cara Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan yang Berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, dan Jaminan Hari Tua yang Dibayarkan Sekaligus. Kedua ketentuan itu mengatur pengenaan tarif sebesar 0 persen atas penghasilan bruto sampai dengan Rp 50 juta. Penghasila di atas 50 juta akan kena tarif 5 persen.

Timboel menilai tidak tepat jika dana JHT dikategorikan sebagai penghasilan. Dana JHT itu tabungan pekerja dan pengusaha yang ditempatkan di BPJS Ketenagakerjaan. Untuk itu tidak layak jika dana JHT diposisikan sebagai obyek pajak seperti diatur Pasal 5 PP No. 8 Tahun 2009 dan pasal 4 ayat (1) Permenkeu No. 16 Tahun 2010.

Menurut Timboel dana JHT yang ditempatkan di BPJS Ketenagakerjaan itu dikelola dan diinvestasikan ke berbagai instrumen investasi dan menghasilkan imbal hasil (yield). Imbal hasil itu pada prosesnya sudah dikenakan pajak oleh pemerintah. Jika dana JHT dikenakan pajak lagi maka terjadi pengenaan pajak dua kali (double tax).

Kerapkali buruh mengambil dana JHT ketika masa sulit seperti mengalami PHK, masuk usia pensiun, meninggal dunia ataupun cacat total. Ketika itu terjadi maka buruh yang bersangkutan sudah tidak lagi punya penghasilan atau upah. Salah satu hal yang sering jadi andalan buruh untuk menghadapi masa sulit itu yakni mengambil dana JHT. Maka dari itu jika dana JHT dikenakan pajak, pemerintah mempersulit buruh dan mempersempit peluang buruh untuk hidup sejahtera.

“BPJS Watch mendesak Pemerintah merevisi PP No. 68 Tahun 2009 dan Permenkeu No. 16 Tahun 2010 dengan mengeluarkan dana JHT dari obyek pajak, sehingga ketika buruh mengambil dana JHT tidak dipotong pajak,” tukas Timboel.

Terpisah, Presiden KSPI, Said Iqbal, mengatakan buruh bukan saja menolak pengenaan pajak progresif terhadap JHT tapi juga pengenaan pajak terhadap jaminan pensiun dan pesangon. Menurutnya, JHT merupakan tabungan yang dananya berasal dari iuran yang dibayar buruh dan pengusaha. Jika dikenakan pajak progresif maka sangat merugikan buruh. Apalagi besaran pajak yang bisa dikenakan sangat tinggi mulai dari 5-25 persen.

Misalnya, dikatakan Iqbal, pengembangan dana JHT tidak pernah lebih dari 12 persen tapi potongan pajak yang dikenakan sampai 15 persen, itu untuk peserta dengan saldo JHT diatas Rp50 juta. Untuk peserta yang saldonya Rp250 juta akan dikenakan pajak 25 persen dan 30 persen untuk saldo di atas Rp500 juta. "Jadi sangat aneh kalau orang yang susah dibebani pajak pula. Oleh karena itu buruh menolak pajak progresif terhadap JHT,” papar Iqbal.

Guna memperbaiki hal itu Iqbal mengatakan KSPI akan menempuh sejumlah langkah. Mungkin saja mengajukan Hak Uji Materiil (HUM) ke Mahkamah Agung terhadap PP No. 68 Tahun 2009 dan Permenkeu No. 16 Tahun 2010. Ia juga mendesak pemerintah tidak memberlakukan pajak progresif terhadap JHT selama 10 tahun ke depan sampai diterbitkan peraturan baru.

"Prinsipnya buruh tetap taat membayar pajak melalui PPH 21 dan tidak setuju membayar pajak progresif JHT, pensiun dan pesangon." pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait