Otto Berharap Pendidikan Tinggi Hukum Harus Adaptif Teknologi Dibarengi Prestasi Cemerlang
Terbaru

Otto Berharap Pendidikan Tinggi Hukum Harus Adaptif Teknologi Dibarengi Prestasi Cemerlang

"Jangan sampai kemudahan teknologi justru menarik mundur kompetensi dan kompetisi sumber daya manusia, sehingga tidak mampu bersaing secara global. Kita harus mampu memanfaatkan teknologi untuk tingkatkan kapasitas diri, sehingga membawa dampak positif bagi masyarakat dan menjadi petugas hukum yang baik."

CR-27
Bacaan 4 Menit
Ketua Umum DPN Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Otto Hasibuan. Foto: CR-27
Ketua Umum DPN Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Otto Hasibuan. Foto: CR-27

Ketua Umum DPN Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Otto Hasibuan menilai era digitalisasi menjadi kemudahan sekaligus tantangan di sektor pendidikan tinggi Indonesia. Pendidikan era revolusi industri 4.0 adalah fenomena yang merespons kebutuhan revolusi industri dengan penyesuaian kurikulum sesuai dengan situasi saat ini.

Pandemi yang terus bergulir membuat tenaga pendidik harus memutar otak agar proses belajar mengajar dapat berlangsung khidmat dan sampai kepada mahasiswa. Melalui orasi ilmiahnya dalam Senat Terbuka Wisuda ke-XVIII Program Sarjana Hukum dan Program Magister Hukum Sekolah Tinggi Ilmu Hukum IBLAM, Sabtu (11/12), di Hotel Millenium Sirih, Jakarta Pusat, Otto menyampaikan tidak ada yang bisa menggantikan energi saat dosen mengajar di kelas secara langsung.

“Gestur tubuh, eye contact dan energi yang hanya bisa disampaikan langsung sehingga tepat sasaran kepada mahasiswa saat proses belajar mengajar sampai kapanpun tidak dapat tergantikan. Namun, di keadaan seperti saat ini tenaga pendidik dituntut untuk bisa menyampaikan energi kepada mahasiswa sekalipun hanya melalui perkuliahan daring,” ungkapnya.

Dalam orasinya, Otto mengutip beberapa universitas luar negeri yang telah melaksanakan proses belajar mengajar daring yang dilakukan sejak awal tahun 2000-an. Barangkali inilah yang menjadi cikal bakal bagaimana sedari dahulu perkembangan teknologi akan mengantarkan proses belajar bisa dilakukan dengan jarak jauh tanpa bertatap muka seperti saat ini. (Baca Juga: Arief Wibisono Pilih Berkarier Sebagai PNS Ketimbang Lawyer)

“Revolusi digital yang bergulir menuntun kita untuk dapat beradaptasi dan memanfaatkan teknologi sebagai alat yang memudahkan kebutuhan manusia. Termasuk kebutuhan manusia terhadap pendidikan. Revolusi industri 4.0 yang sedang berlangsung saat ini memberikan akses setiap orang untuk mendapatkan informasi dan pengetahuan sebebas-bebasnya. Teknologi di era digital mampu menghilangkan limitasi jarak dan belajar, sehingga antara tenaga pengajar dan mahasiswa tidak berada di satu ruang, mungkin untuk dilakukan proses pembelajaran.” 

Otto melanjutkan adanya kemudahan dan pembelajaran bisa dilakukan dalam keadaan apapun, tetapi tidak dapat menggantikan energi yang diberikan dosen kepada mahasiswa saat pembelajaran dilakukan secara langsung.

“Energi dosen, gestur tubuh dosen, eye contact antara dosen dan mahasiswa perlu dilakukan untuk mempengaruhi pemikiran mahasiswa. Hal ini menjadi tantangan baru bagi tenaga pendidik saat ini agar perkuliahan secara daring dapat tersampaikan dengan baik dengan energi online yang disampaikan,” lanjutnya. 

Tenaga pendidik atau dosen di perguruan tinggi Indonesia saat ini terbagi-bagi dalam beberapa generasi, sehingga menurut Otto akan mengalami kesulitan dalam menghadapi transisi teknologi.

“Terjadinya perubahan metode ajar memerlukan kemampuan beradaptasi dengan teknologi. Seluruh tenaga pendidik harus mulai beradaptasi, cara dosen mengajar juga harus bisa menyebarkan energi kepada mahasiswa meski ini tidak mudah,” tambahnya.   

Otto mengatakan ilmu pengetahuan yang ada saat ini berbentuk analog dan berupa buku. Hal ini berimplikasi pada akurasi ilmu pengetahuan. Di era digitalisasi saat ini, ilmu pengetahuan semakin berkurang akurasinya karena semua kalangan bisa memperolehnya dengan mudah dan dapat menyebarkan informasi dengan mudah.

Otto menegaskan dosen tidak hanya menyajikan data kepada mahasiswa. “Inilah peran dosen untuk mengembalikan akurasi dari ilmu pengetahuan melalui proses belajar daring. Meski tidak dapat disalurkan secara sempurna saat belajar daring, akan tetapi dosen diharapkan tidak hanya menyajikan data semata kepada mahasiswa,” tegasnya.

Ia juga melanjutkan bahwa dosen tidak hanya melakukan transfer of knowledge, tetapi dosen, hakim dan tenaga pengajar di bidang hukum dapat menanamkan pola pikir yang penting serta nilai-nilai penting kepada mahasiswa sehingga mencetak generasi hukum sesuai marwah hukum. Sehingga, paradigma berpikir menjadi tujuan penting yang harus dicapai oleh tenaga pendidik.

Otto juga menekankan dua tujuan dari pendidikan yaitu tujuan individual dan tujuan sosial. Dalam hal ini lembaga pendidikan hukum, baik formal atau profesional seharusnya tidak hanya berupaya menghasilkan peserta didik yang sekadar menguasai ilmu hukum, tetapi harus mampu menghasilkan peserta didik yang mau menerapkan konsep hukum yang merata di masyarakat sebagai sesuatu hal yang fundamental dan menjalankan segala peran di masyarakat di masa mendatang.

Kemudian, Otto menyoroti literasi mahasiswa Indonesia yang memilukan. Tantangan era digitalisasi saat ini memberikan banyak informasi. Namun, faktanya tidak diikuti dengan keingintahuan oleh mahasiswa yang justru berjalan linier. Menurutnya, rasa keingintahuan generasi saat ini menurun.

“Saat semua ilmu pengetahuan sudah ada di internet, namun tidak adanya rasa keingintahuan yang tinggi membuat ilmu ini menjadi sia-sia,” 

Berdasarkan data Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) ada 72.504 jurnal ilmiah yang sudah dibaca di internet dengan unduhan sebanyak 15.495. Dari data tersebut, Otto Hasibuan mengungkapkan bahwa ini merupakan indikasi minat membaca jurnal yang masih rendah. Tidak hanya di kalangan mahasiswa, namun juga di kalangan pelajar, pegawai negeri sipil dan peneliti.

Dengan banyaknya jumlah mahasiswa yang terdaftar hingga tahun 2020 yaitu sebanyak 7 juta mahasiswa, literasi membaca jurnal mahasiswa di Indonesia masih sangat rendah. Mudahnya mengakses informasi ini tidak dibarengi dengan prestasi cemerlang. Hal ini menyebabkan plagiarisme ada di mana-mana.

Ia juga mengimbau para lulusan ilmu hukum harus memiliki paradigma berpikir, sehingga seorang lulusan ilmu hukum harus menjadi ahli hukum serta dapat membawa dan menegakkan keadilan. Otto juga menyinggung lulusan ilmu hukum yang ingin menjadi advokat yang akan dituntut sebagai profesi yang terhormat yang mampu melaksanakan tugas-tugas sebagai penegak hukum sekaligus pengawal konstitusi.

Terakhir, Otto Hasibuan mengimbau perlunya peran aktif dari seluruh pihak dalam mendukung lembaga pendidikan hukum. Tidak hanya tenaga pengajar, tetapi juga peserta didik itu sendiri untuk adaptif terhadap perkembangan teknologi.

“Jangan sampai kemudahan teknologi justru menarik mundur kompetensi dan kompetisi sumber daya manusia, sehingga tidak mampu bersaing secara global. Kita harus mampu memanfaatkan teknologi untuk tingkatkan kapasitas diri, sehingga membawa dampak positif bagi masyarakat dan menjadi petugas hukum yang baik,” tutupnya.

Tags:

Berita Terkait