OTT KPK "Hilang" Jika Kewenangan Penyadapan Saat Penyelidikan Dipangkas
Utama

OTT KPK "Hilang" Jika Kewenangan Penyadapan Saat Penyelidikan Dipangkas

Poin-poin usulan revisi dianggap melemahkan dan mengerdilkan KPK.

NOV/ANT
Bacaan 2 Menit
OTT KPK
OTT KPK "Hilang" Jika Kewenangan Penyadapan Saat Penyelidikan Dipangkas. Foto: ilustrasi (Sgp)

Pelaksana tugas (Plt) Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Indriyanto Seno Adji mengkritik keras usulan pemerintah dan DPR yang ingin merevisi UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK. Salah satu poin revisi yang dikritik Indriyanto adalah pemangkasan kewenangan KPK untuk melakukan penyadapan saat proses penyelidikan.

Indriyanto mengatakan, apabila kewenangan penyadapan saat proses penyelidikan dipangkas, maka KPK tidak bisa lagi melakukan operasi tangkap tangan (OTT).  "Konsep demikian justu akan meniadakan wewenang OTT sebagai bumper terdepan KPK dalam penegakan hukum dan pemberantasan korupsi," ujarnya, Rabu (17/6).

Padahal, menurut Indriyanto, penyadapan, perekaman, dan surveillance menjadi bagian dari tahap penyelidikan yang merupakan non projustisia. Jadi, jika dalam revisi UU KPK, pemerintah dan DPR mengusulkan agar penyadapan hanya dapat dilakukan kepada pihak-pihak dalam projustisia, justru penyadapan menjadi tidak bernilai sama sekali.

Sebagaimana diketahui, sesuai ketentuan Pasal 12 ayat (1) huruf a UU KPK, dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, KPK berwenang menyadap dan merekam pembicaraan. Banyak pelaku kasus korupsi di KPK yang terjaring OTT berkat penyadapan yang dilakukan KPK saat proses penyelidikan.

Sebut saja, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) M Akil Mochtar dan mantan Kepala SKK Migas Rudi Rubiandini. Akil ditangkap KPK ketika akan menerima pemberian uang dari anggota DPR Chairun Nisa dan Cornelis Nalau. Sementara, Rudi ditangkap usai menerima uang dari pengusaha yang diantar melalui pelatih golf Rudi, Deviardi.

Tak dapat dipungkiri, keberhasilan KPK dalam mengungkap kasus-kasus korupsi besar yang melibatkan para penyelenggara negara ini berkat penyadapan yang dilakukan KPK dalam proses penyelidikan. Jika dibandingkan dengan dua institusi penegak hukum lain, yaitu Kepolisian dan Kejaksaa, KPK paling sering melakukan OTT.

Indriyanto berpendapat, poin-poin revisi yang diusulkan pemerintah dan DPR tersebut justru akan melemahkan, bahkan mereduksi kewenangan KPK. Terlebih lagi mengenai poin revisi yang menyebutkan agar penuntutan KPK disinergikan dengan Kejaksaan. Ia menganggap ada upaya sistematis untuk melemahkan KPK.

"Sejak adanya gesekan pada kasus-kasus praperadilan, makin terlihat adanya usaha sistematis bagi pelemahan lembaga KPK. Baik melalui metode yustisial peradilan maupun metode kelembagaan politik. Sebaiknya Pemerintah menunda usulan-usulan ini untuk duduk bersama KPK membahas revisi inisiatif DPR," tuturnya.

Sementara, Plt Ketua KPK Taufiequrrachman Ruki mengatakan, revisi UU KPK dapat dilakukan asal tidak melemahkan KPK. Beberapa poin penting yang menjadi perhatian Ruki adalah mengenai pemberian kewenangan kepada KPK untuk mengangkat penyidik sendiri, di luar penyidik yang berasal dari unsur Polri dan Kejaksaan.

Selain itu, Ruki mengusulkan peningkatan peran, fungsi, status, dan struktur penasihat KPK untuk sekaligus menjadi Komite Pengawas KPK. Komite tersebut nantinya bertugas mengawasi pelaksanaan tugas KPK, memberikan nasihat dan saran kepada pimpinan KPK. Ia juga mengusulkan agar KPK diberikan kewenangan penghentian penyidikan (SP3).

Meski UU KPK yang sekarang tidak memberikan kewenangan kepada KPK untuk melakukan SP3, menurut Ruki, pada konsep awal UU KPK, sebenarnya KPK diusulkan dapat menghentikan penyidikan demi hukum. "Dalam hal terpaksa harus dihentikan, maka harus dengan seizin penasihat KPK. Tentu dengan prosedur khusus," terangnya.

Di lain pihak, Wakil Ketua DPR Taufik Kurniawan menjelaskan semangat merevisi UU KPK bukan untuk melemahkan KPK, melainkan karena UU KPK sudah tidak sesuai dengan kondisi terkini, sehingga perlu perbaikan. Lagipula, proses revisi UU KPK ini masih belum diputuskan dan masih akan dibahas antara DPR dan pemerintah.

Oleh karena itu, Taufik menegaskan, masih terlalu dini jika disimpulkan bahwa kewenangan KPK untuk melakukan penyadapan akan dihilangkan. Ia meminta setiap revisi undang-undang jangan dikaitkan dengan hal-hal khusus. UU KPK ini sudah empat tahun direncanakan untuk direvisi mengikuti perkembangan situasi dan kondisi di lapangan.

Taufik menyatakan, revisi UU KPK sedang berjalan. Semua pandangan diserahkan kepada masing-masing fraksi, tetapi jangan sampai ketika kesepakatan internal disetujui ada respon negatif dari publik, lalu berbalik arah. "Yang penting konsistensi fraksi dalam mengambil putusan dalam proses revisi UU KPK," ucapnya.

Rencana revisi UU KPK ini kembali mencuat ketika Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Hamonangan Laoly mengadiri rapat Badan Legislasi (Baleg) DPR, Selasa (16/6). Yasonna mengungkapkan, UU KPK sudah masuk dalam daftar panjang Prolegnas 2015-2019 sebagai inisiatif DPR, sehingga perlu dimajukan sebagai prioritas 2015.

Yasona menilai pelaksanaan UU KPK masih menimbulkan masalah yang menyebabkan terganggunya upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi. Ia merasa perlu meninjau ulang beberapa ketentuan dalam UU KPK demi membangun negara yang bersih dan memperkuat kelembagaan KPK, Kepolisian, dan Kejaksaan.

Peninjauan itu, kata Yasonna, pertama terkait kewenangan penyadapan KPK yang seharusnya hanya ditujukan kepada pihak-pihak yang telah diproses projustita agar tidak menimbulkan pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Kedua, mengenai kewenangan penuntutan KPK yang perlu disinergikan dengan kewenangan Kejaksaan Agung.

Kemudian, ketiga, menurut Yasonna, peninjauan mengenai perlunya pembentukan Dewan Pengawas KPK. Keempat, peninjauan mengenai perlunya pengaturan terkait pelaksanaan tugas pimpinan KPK jika pimpinan tersebut berhalangan. Kelima, mengenai penguatan terhadap pengaturan kolektif kolegial pimpinan KPK.

Tags:

Berita Terkait