Otoritas yang Berhak Merumuskan RKUHP
Terbaru

Otoritas yang Berhak Merumuskan RKUHP

Di dalam konteks konstitusional, hukum tidak hanya dilihat sebagai kumpulan pasal-pasal, dan pemegang kekuasaan yang etis akan membuat undang-undang dengan konsep deliberatif demokrasi.

Willa Wahyuni
Bacaan 3 Menit
Diskusi daring bertema Siapa yang Otoritatif Merumuskan RKUHP?, pada Kamis (4/8). Foto: WIL
Diskusi daring bertema Siapa yang Otoritatif Merumuskan RKUHP?, pada Kamis (4/8). Foto: WIL

RKUHP merupakan rancangan undang-undang yang disusun dengan tujuan untuk memperbaharui KUHP yang berasal dari Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch (WvS) yang bertujuan untuk menyesuaikan dengan politik hukum, keadaan, dan perkembangan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara saat ini.

RKUHP disusun dengan tujuan mengatur keseimbangan antara kepentingan umum, negara atau kepentingan individu, antara perlindungan pelaku terhadap pelaku dan korban tindak pidana, antara unsur perbuatan dan sikap baik, antara kepastian hukum dan keadilan, antara hukum tertulis dan hukum yang hidup di dalam masyarakat, antara nilai nasional dan nilai universal, serta antara hak dan kewajiban asasi manusia.

RKUHP telah disusun sejak tahun 1963 dengan 628 Pasal di dalamnya. Adanya penyusunan yang selalu disesuaikan dan mengikuti perkembangan kehidupan yang ada di dalam masyarakat lebih dari 50 tahun, maka tidak dapat dipungkiri bahwa ada beberapa pasal yang dianggap kurang sesuai dengan kehidupan masyarakat masa kini sehingga dianggap sebagai pasal kontroversial.

Baca Juga:

Proses perumusan RKUHP melibatkan sejumlah ahli, mulai dari pakar hukum Indonesia dan profesor hukum. Namun, akademisi Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera, Bivitri Susanti mengatakan dalam merumuskan RKUHP perlu melihat otoritas yang seperti apa dalam merumuskan RKUHP.

“Memang dalam konteks politik dan tata negara, yang akan ketok palu adalah para pemegang kekuasaan karena mereka merupakan pemegang kekuasaan, namun jika dilihat dari konteks demokrasi, maka masyarakatlah yang memiliki otoritas tersebut,” ungkapnya pada sesi diskusi daring, Kamis (4/8).

Dia melanjutkan jika para pemegang kekuasaan yang memiliki otoritas besar di dalam perumusan dan pengesahan RKUHP, maka masyarakat yang tidak diikutsertakan akan bermanuver di luar dengan melakukan demonstrasi dan advokasi.

Di dalam konteks konstitusional, hukum tidak hanya dilihat sebagai kumpulan pasal-pasal saja, dan pemegang kekuasaan yang etis akan membuat undang-undang dengan konsep deliberatif demokrasi.

“Penguasa yang etis dia akan membuat undang-undang dengan konteks demokrasi dan deliberatif demokrasi. Bukan hanya menggunakan konsep deliberatif otoritas yang hanya melibatkan otoritas politik yaitu DPR dan pemerintah,” ucapnya.

Para pemegang kekuasaan, harus terlebih dahulu melakukan proses deliberatif untuk selanjutnya dapat secara etik mengesahkan atau ketok palu RKUHP. Pada akhirnya siapa yang punya otoritas dalam RKUHP dan punya suara untuk membentuk suatu undang-undang di negara hukum adalah rakyat,

“Yang berhak itu adalah kita, sebagai warga. Nah mediumnya adalah dengan deliberatif tadi. Karena RKUHP langsung berdampak ke semua orang atas dasar itulah semua orang berhak beramai-ramai membahas RKUHP. RKUHP tidak hanya diakui oleh milik kelompok tertentu, dan ini harus dibuka secara publik,” tutupnya.

Sementara itu, Guru Besar Antropologi Hukum Universitas Indonesia, Sulistyowati Irianto mengatakan, perlunya interdisiplin ilmu dalam membahas RKUHP dengan pendekatan antropologi hukum.

“Kita lihat respon terhadap RKUHP ini banyak kontroversionalnya yang membuat kita bertanya seberapa jauh sebenarnya keterlibatan publik. Apakah ini sudah seusai dengan apa yang dimandatkan oleh rule of law, sehingga kita perlu mempersoalkan dalam membuat undang-undang yang begitu besar yang akan mempengaruhi hidup kita jika sudah disahkan,” katanya.

Ia juga mengatakan, kontroversi yang ada di masyarakat terkait RKUHP adalah sebuah perubahan masyarakat yang mana seharusnya bisa menjadi peluang pembuka perspektif, bagaimana hukum mulai dari proses pembuatannya harus dipikirkan sehingga perlunya interdisiplin ilmu bagi perumusan dan penegakan hukum.

Tags:

Berita Terkait