Otorita Batam Digugat Warga Batam
Berita

Otorita Batam Digugat Warga Batam

Presiden dan Otorita Batam digugat warga Batam lantaran tak membayar ganti rugi atas tanah yang dipakai untuk proyek DAM.

Mon
Bacaan 2 Menit
Otorita Batam Digugat Warga Batam
Hukumonline

Setelah menetap selama turun termurun, Tan A Seng harus angkat kaki dari tanahnya. Tanah seluas 28,87 hektar itu  akan digunakan pemerintah Otorita Batam sebagai proyek DAM dan proyek kavling siap bangun. Namun pemerintah hanya mengganti rugi atas tanaman dan tumbuhan yang dikelola Tan A Seng, plus bangunan. Sedangkan ganti rugi atas tanah belum diberikan.

Ahli waris Tan A Seng, Adi, lalu mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum kepada Ketua Badan Pengusahaan Kawasan Batam ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Badan yang dulu bernama Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam atau Otorita Batam ini didaulat sebagai tergugat II. Sedangkan yang disasar sebagai tergugat I adalah Presiden Republik Indonesia. Gugatan dilayangkan awal Juli 2009 lalu. Kini persidangan perkara No. 259/Pdt.G/2009/PN.JKT.PST itu telah memasuki tahap pembuktian dari pihak penggugat.

Kuasa hukum Adi, Valentinus Sianipar, menerangkan penggugat sebenarnya bersedia meninggalkan tanahnya asal mendapatkan ganti rugi. Namun berdasarkan pengakuan Adi, pemerintah Otorita Batam menolak membayar ganti rugi lantaran ketika menguasai tanah, Tan A Seng bukan warga negara Indonesia. Otorita Batam hanya bersedia mengganti ‘uang sagu’ Rp50/m2 sehingga Tan A Seng menolak kompensasi itu. Padahal Tan A Seng sendiri telah menjadi Warga Negara Indonesia sejak 1980. “Alasan tergugat II sangat diskriminatif,” ujar Valentinus dalam gugatan.

Standar kompensasi itu, kata Valentinus, mengacu Keppres No. 41/1973 tentang Daerah Industri Pulau Batam. Berdasarkan Keppres itu, pihak Otorita Batam menetapkan ganti rugi tanah masyarakat yang besarnya antara Rp50-Rp2.500/m2. Penetapan itu dinilai bertentangan dengan UU Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 yang menjamin hak masyarakat atas tanah. Tanah Tan A Seng sendiri telah didaftarkan pada pemerintah sesuai Surat Tanda Register seluas 28,87 hektar yang terletak di Sei Buluh, Kecamatan Sungai Beduk, Batam.

Dalam gugatan diterangkan presiden seharusnya mengevaluasi kinerja dan kebijakan Otorita Batam khususnya tentang ganti rugi atas tanah. Ganti rugi itu seharusnya disesuaikan dengan kondisi dan biaya hidup di daerah Batam. Ganti rugi maksimal Rp2.500/m2 sangat tidak layak untuk kehidupan kota Batam. Kondisinya tak beda jauh dengan Jakarta.

Tindakan otorita Batam yang mengambil alih lahan penggugat secara sewenang-wenang dinilai sebagai perbuatan melawan hukum. Sedangkan presiden dituding melakukan pembiaran atas kesewenang-wenangan itu. Akibatnya penggugat menderita kerugian.

Dalam petitumnya, penggugat mengajukan ganti rugi sebesar Rp8,661 miliar atas kehilangan tanah seluas 28,87 hektar. Sementara kerugian immateriil diperhitungkan sebesar Rp3 miliar.

Saat dikonfirmasi, kuasa hukum Otorita Batam, Muchamad Kenny Rizki Daeng Macallo, tidak bersedia memberikan komentar. “Saya belum dikasih kuasa untuk bicara pada pers,” kata Kenny usai bersidang.

Tags: