Otonomi Daerah Dinilai Hambat Pertumbuhan Ekonomi
Berita

Otonomi Daerah Dinilai Hambat Pertumbuhan Ekonomi

Lantaran perbedaan pengambilan kebijakan dan keputusan antara pemerintah pusat dan daerah.

FNH
Bacaan 2 Menit
Mantan Wakil Presiden Republik Indonesia Boediono. Foto: Sgp
Mantan Wakil Presiden Republik Indonesia Boediono. Foto: Sgp

Wakil Presiden Republik Indonesia Boediono meyakini bahwa perekonomian Indonesia tetap akan tumbuh tahun ini. Namun, pertumbuhan tersebut tidak akan maksimal karena persoalan otonomi daerah. Menurut Boediono, terhambatnya pertumbuhan ekonomi dikarenakan perbedaan pengambilan kebijakan dan keputusan antara pemerintah pusat dan daerah.

Ia melanjutkan, pertumbuhan ekonomi Indonesia ke depan akan ditopang dengan konsumsi domestik dan investasi yang masuk ke Indonesia. Namun Boediono mengingatkan, pertumbuhan ekonomi yang signifikan ini juga menemui sejumlah persoalan, terutama perekonomian dunia yang belum pulih seutuhnya.

"Persoalan demokrasi dan makro ekonomi sepertinya akan menjadi persoalan untuk kita. Tapi, saya tetap yakin konsumsi domestik dan investasi masih menjadi penopang pertumbuhan ekonomi indonesia, dalam beberapa tahun ke depan," kata Boediono di Jakarta, Kamis (28/2).

Kendala yang dimaksud Boediono adalah proses pengambilan keputusan yang selalu berseberangan antar pemerintah pusat  dengan pemerintah pusat. Persoalan ini akan coba diatasi pemerintah, apalagi pemerintah terus berupaya agar kendala yang terjadi bisa terus ditekan dan diminimalkan.

Catatan ke depan adalah tantangan untuk mengelola otonomi daerah. Jika pemerintah mengelola otonomi daerah dengan baik, ia meyakini pasca Pemilu 2014 Indonesia akan bergerak maju.

Untuk diketahui, negara memisahkan pemerintahan pusat dan daerah sejak lahirnya UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Berdasarkan Pasal 1 ayat (5) UU Pemerintahan Daerah, otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Namun di balik beberapa persoalan tersebut, survei dari Asia Business Outlook Survey (ABOS) yang dirilis The Economist menyebutkan, saat ini perusahaan-perusahaan Barat berharap agar Asia bisa memberikan kontribusi 32 persen dari total pendapatan global mereka, termasuk Indonesia. Survei tersebut juga mengungkap, Indonesia tengah menjadi target investasi peringkat ketiga setelah Cina dan India.

Economist corporate Network, Ross O' Brien mengatakan, untuk kawasan Asia Tenggara, perekonomian Indonesia terus menjadi perhatian investor asing di 2013. Meskipun ada penilaian bahwa sikap pemerintah mengarah pada proteksionis.

"Negara mengetatkan peraturan untuk melindungi kepentingan domestik, namun ini tindakan wajar karena hampir seluruh negara Asia lainnya melakukan hal yang serupa," kata Brien.

Penilaian para investor asing tersebut, kata Brien, memiliki alasan yang kuat. Menurut kajiannya, konsumen optimis optimistis terhadap iklim ekonomi Indonesia untuk kurun enam bulan ke depan yang semakin kuat. Apalagi, pada Consumer Expectation Index (CEI) dari Bank Indonesia mencatat adanya peningkatan sebesar 1,5 dibanding sebulan sebelumnya (Desember 2012).

Ia mengatakan, peningkatan indeks tersebut tidak terlepas dari dukungan ekspektasi yang menyebutkan bahwa aktivitas bisnis bisa mengalami pertumbuhan hingga 2,5 poin dan ketersediaan lapangan pekerjaan meningkat 2,1 poin. Laporan tersebut sekaligus menyimpulkan, ada peningkatan minat berwirausaha dan bertumbuhnya aksesibilitas dalam memperoleh fasilitas kredit perbankan.

Selain itu, catatan The Economist juga menemukan sejumlah analis dan pelaku pasar yang meyakini pertumbuhan makro-ekonomi Indonesia pada tahun-tahun mendatang tetap kuat. Kondisi ini, lanjutnya, semakin menambah keyakinan asing untuk berinvestasi di Indonesia, ketimbang negara Asia Tenggara lainnya.

Sebagaimana diketahui, pada 2012 Indonesia mencatat investasi langsung asing (FDI) senilai USD22,8 miliar. Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mengumumkan, FDI ke Indonesia pada Kuartal IV 2012 tercatat mengalami kenaikan 22,9 persen dibandingkan periode yang sama setahun sebelumnya.

Tags:

Berita Terkait