Organisasi Pengacara Kecam Pembahasan RUU Kepailitan di Komisi IX DPR
Utama

Organisasi Pengacara Kecam Pembahasan RUU Kepailitan di Komisi IX DPR

Sejumlah organisasi pengacara menilai pembahasan RUU Kepailitan di Komisi IX salah alamat. Komisi IX dinilai kurang memahami substansi kepailitan yang sarat dengan hukum acara.

Leo
Bacaan 2 Menit
Organisasi Pengacara Kecam Pembahasan RUU Kepailitan di Komisi IX DPR
Hukumonline
Sejumlah pengacara dari berbagai organisasi menyayangkan pembahasan RUU Kepailitan yang tengah berjalan di Komisi IX. Pasalnya, dari pertanyaan-pertanyaan anggota Komisi IX saat rapat dengar pendapat (31/05), terkesan mereka belum memahami detil kepailitan.

Dalam perbincangan dengan hukumonline, seorang pengacara dari Perkumpulan Pengacara Kepailitan yang hadir di rapat tersebut, mencontohkan pertanyaan seorang anggota Komisi IX yang tidak bisa membedakan likuidasi dengan kepailitan. Rusak kita kalau begini, cetusnya.

Nada serupa datang dari Denny Kailimang, Ketua Umum Asosiasi Advokat Indonesia (AAI). Menurut Denny, setelah mengamati rapat hari ini, ia menyimpulkan bahwa Komisi IX bukanlah komisi yang tepat untuk membahas RUU Kepailitan. Ia mengusulkan agar pembahasan ini dikembalikan ke Komisi II yang membawahi bidang hukum dan dalam negeri.

Kita bisa lihat pertanyaan anggota dewan (yang menanyakan) pailit itu apa, pengadilan niaga, pidana atau perdata. Jadi dari dua pertanyaan saja kita bisa lihat nggak nyambung. Tolonglah kalau bisa dikembalikan ke Komisi II, ujar Denny kepada hukumonline.

Ia juga mengkritik pembahasan RUU ini yang dinilainya sarat dengan kepentingan perusahaan asuransi. Denny mencontohkan, dalam rapat ini yang diundang hanya AAI, Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin), Asosiasi Kurator dan Pengurus Indonesia (AKPI), dan Perkumpulan Pengacara Kepailitan. Namun, sejumlah pengurus Dewan Asuransi juga hadir dan memberi masukan terhadap RUU tersebut, sebatas mengenai kepailitan asuransi.

Denny berpendapat pembahasan RUU Kepailitan yang terdiri dari 307 pasal adalah persoalan serius. Di mata Denny, jangan hanya karena kepailitan perusahaan asuransi, lantas pembahasan pasal-pasal lain jadi tidak komprehensif.

Kalau mau melegalisir satu pasal mengenai asuransi dipailitkan, kita tidak ada masalah. Tetapi kita mempersoalkan pembahasan keseluruhan pasal-pasal, mulai permohonan pemeriksaan, hukum acara, sampai putusan. Ini kan banyak, tegasnya.

Pendiri kantor pengacara Lontoh Kailimang ini juga menilai target Komisi IX yang akan menuntaskan pembahasan 307 pasal dalam RUU ini tidak realistis. Ia khawatir bila pembahasan RUU ini dikebut dalam tempo tak sampai dua bulan, maka akan timbul masalah baru

Tidak mungkin. Kita saja (AAI) sudah mengajukan 37 persoalan di RUU tersebut. Tidak mungkin akan selesai. Nanti bisa ada undang-undang yang nggak sesuai dengan kenyataan di lapangan. Ini sangat berbahaya, ujarnya berapi-api.

Definisi utang

Pada kesempatan rapat ini, sejumlah pengacara yang namanya tidak asing dengan kepailitan juga turut memberi masukan terhadap RUU ini. Swandy Halim dari AAI, meminta agar pembahasan hukum acara di undang-undang ini menjadi perhatian. Ia mencontohkan salah satu bunyi pasal di RUU ini yang mengatakan: prosedur pengajuan Peninjauan Kembali (PK) mutatis mutandis dengan kasasi.

Padahal, ada beberapa hal yang membedakan prosedur pengajuan kasasi dan PK. Untuk kasasi, Termohon kasasi harus sudah menyerahkan kontra memorinya paling lambat 7 hari. Sementara, untuk PK paling lambat 10 hari.

Hotman Paris Hutapea, Ketua Perkumpulan Pengacara Kepailitan Indonesia, menyoroti definisi utang di RUU ini. Ia menyayangkan masalah kontinjen liability, dianggap sebagai utang (Pasal 1 ayat(1) RUU Kepailitan). Menurutnya, kontinjen liability belum tentu akan menjadi utang. Contohnya, kata Hotman, liability yang ada di penjamin (borgtocht). Menurutnya, penjamin belum berkedudukan sebagai debitur sepanjang debitur utama belum default. Kita akan ditertawakan kalau kontinjen dianggap utang, kata Hotman.

Ia mengusulkan agar utang didefinisikan sebagai setiap tagihan yang dapat dinilai dengan uang, jatuh tempo dan dapat ditagih. Mengenai penafsiran utang pada Pasal 1 ayat (1) RUU Kepailitan, ia mengusulkan agar diserahkan sepenuhnya kepada hakim.

Menanggapi masukan yang disampaikan sejumlah organisasi pengacara, Paskah Suzetta, wakil ketua Komisi IX, membenarkan bahwa materi RUU Kepailitan memang begitu luas. Kemungkinan, komisinya akan melibatkan komisi II untuk membahas RUU ini. RUU ini sarat dengan langkah pro justitia dan litigasi. Bukan sekedar pasal 2 ayat(5) tentang kepailitan perusahaan asuransi, kata Paskah.

Tags: