Orasi Ilmiah, Amran Suadi Bakal Usung Sistem Interkoneksi Eksekusi Putusan
Utama

Orasi Ilmiah, Amran Suadi Bakal Usung Sistem Interkoneksi Eksekusi Putusan

Ketua Kamar Agama MA Amran Suadi akan mengusung topik pentingnya interkoneksi sistem antar lembaga untuk mengeksekusi putusan hakim agama demi melindungi hak-hak perempuan dan anak-anaknya dalam orasi ilmiah pengukuhan guru besar di UIN Surabaya.

CR-28
Bacaan 4 Menit

Amran menghimbau para hakim lingkungan Pengadilan Agama untuk bersikap jeli dan hati-hati dalam mempertimbangkan suatu perkara perceraian sebelum memutusnya. “Himbauan saya, hakim (Pengadilan Agama, red) agar memutus perkara perceraian memperhatikan dan mempertimbangkan tentang pembebanan biaya akibat cerai. Seperti belanja iddah (masa tunggu bagi seorang istri yang diceraikan), kemudian mut’ah (semacam tali kasih perempuan yang diceraikan), harta bersama, lalu nafkah anak yang ditinggalkan,” pesannya.

Ia melanjutkan untuk mut’ah sudah ada rumusan dari hasil rapat pleno kamar MA sebelumnya. Dimana nafkah mut’ah ditetapkan senilai 12 kali belanja iddah. Dia mencontohkan dalam kasus belanja iddah ditentukan sebesar 5 juta rupiah, maka mut’ah yang harus diberikan sebesar 60 juta rupiah. Tetapi, pembebanan biaya yang diberikan tetap melihat dari sisi kemampuan suami.

“Jika suami pengusaha besar, dibebani Rp5 juta kan tidak adil, kalau suaminya pengusaha besar kenapa enggak Rp100 juta kan begitu. Tapi kalau tukang becak dikasih 100 juta, ya dari mana uangnya? Makanya istri juga harus bisa membuktikan berapa penghasilan suami, nanti akan dilihat.”

Dalam penuturannya, Amran mengingatkan berlakunya PP No.10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil yang berlaku apabila suami berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS). “Kalau suaminya PNS, itu PP No.10 Tahun 1983 kan sudah ada ketentuan 1/3 gaji (diserahkan ke istri yang dicerai, red). Tapi itu tidak jalan juga. Karena instansinya itu tidak mau memotong gaji orang itu. Ini yang perlu interkoneksi sistem itu tadi,” usulnya.

Padahal idealnya, apabila seorang PNS cerai, maka 1/3 gaji harus diberikan ke istri hingga istri menikah lagi (barulah putus tanggung jawab pemotongan gajinya) sebagaimana ketentuan dalam Pasal 8 ayat (1) dan (2) PP 10/1983. Sayangnya ketentuan itu tidak dijalankan sebagaimana mestinya, “Antara lain karena adanya kemungkinan bendaharawan gaji yang juga (bisa saja) digertak suami PNS yang bercerai, sehingga tidak memiliki keberanian memotong gaji tersebut.”

Terhadap persoalan ini, telah dibuat rumusan hasil pleno kamar Agama. “Baru-baru ini saya katakan, kepada suami yang enggak mau membayar biaya anaknya kalau umpamanya sampai 10 tahun kamu bayar biaya anaknya itu bisa dituntut hutang. Misal per bulan Rp2 juta, berarti 1 tahun 24 juta, 10 tahun 240 juta. Tuntut, mana barangnya? Sita barangnya, saya bilang begitu. Jadi itu menjadi hutang, harus dituntut (secara perdata, red). Nah kalau Rp240 juta, kan bisa dieksekusi. Kalau biaya eksekusinya cuma 20 juta kan bisa tetap untung dia 220 juta,” bebernya.

Amran menambahkan dalam rumusan yang ada, hakim dapat melakukan ex officio. Artinya, tanpa disertakan dalam tuntutan (petitum gugatan, red) sekalipun, seorang hakim dapat menetapkan akibat dari perceraian itu, seperti iddah, mut'ah, dan belanja anak.

Tags:

Berita Terkait