Opsi Debt To Equity Swap Bagi Garuda
Kolom

Opsi Debt To Equity Swap Bagi Garuda

​​​​​​​Dalam kondisi saat ini sebaiknya opsi penyertaan modal dibatasi pada hutang jangka pendek yang sudah atau segera akan jatuh tempo sambil melihat peluang bisnis dan kondisi operasional perusahaan.

Hukumonline
Hukumonline

Sebagaimana diketahui Garuda Indonesia (GI) saat ini berada dalam kondisi krisis keuangan diakibatkan jumlah hutang yang jauh lebih besar dari nilai aset dan pendapatan (over leverage). Saat ini salah satu opsi penyelamatan GI yang tengah dipertimbangkan adalah opsi debt to equity swap, yakni opsi konversi hutang menjadi kepemilikan bagi kreditor bank dan lembaga keuangan lainnya.

Meskipun bank memiliki fungsi intermediary, namun dengan mengacu pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 36/POJK.03/2017 tentang prinsip kehati-hatian dalam kegiatan penyertaan modal, bank dapat mengambil opsi konversi hutang menjadi kepemilikan. Lebih lanjut diterangkan dalam POJK tersebut bahwa sifat penyertaan modal bank bersifat sementara mengingat peran bank adalah sebagai lembaga keuangan bukan sebagai investor yang menjalankan usaha.

Sifat sementara secara hukum dapat dimaknai adanya kejelasan tindak lanjut setelah jangka waktu penyertaan modal yang disepakati berakhir, pada situasi ini terkandung dua opsi yakni jika terdapat investor yang akan membeli saham GI dan jika tidak terdapat investor yang akan membeli saham GI (mengingat bank tidak dapat secara permanen menjadi pemegang saham). Jika nantinya disepakati opsi penyertaan modal (debt to equity swap) sebagai opsi penyelamatan GI maka klausula mengenai exit clause dari bank harus diatur secara jelas baik jangka waktu, kondisi, harga hingga kondisi jika dalam waktu tertentu yang disepakati tidak terdapat investor.

Pengertian frasa kata ‘kehati-hatian’ dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 36/POJK.03/2017 adalah mengandung pengertian bahwa kegiatan penyertaan modal tidak boleh merugikan bank maupun berpotensi merugikan bank baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang. Dalam bagian penjelasan umum Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 36/POJK.03/2017 dijelaskan bahwa kegiatan Penyertaan Modal oleh Bank merupakan salah satu bagian dari kegiatan penanaman dana Bank di samping kegiatan lainnya seperti penyaluran kredit atau pembiayaan, penanaman dana dalam bentuk surat berharga, dan kegiatan pasar uang antar Bank. Sebagai kegiatan penanaman dana, Bank di samping menerima manfaat berupa pendapatan hasil Penyertaan Modal, juga berpotensi terpapar risiko dari kegiatan tersebut.

Untung – Rugi Konversi kepemilikan GI

Jika opsi penyertaan modal (debt to equity swap) dipilih sebagai opsi penyelamatan maka opsi ini akan sangat menguntungkan dalam perspektif keuangan. Artinya sudah pasti jika asumsinya semua kreditor bank melakukan opsi penyertaan modal maka beban keuangan Garuda menjadi jauh lebih ringan sehingga tidak diperlukan opsi bail out yang akan mengambil porsi APBN secara signifikan.

Howard (2004) menjelaskan perbedaan konsekuensi hukum dari bail out dan opsi penyertaan modal (debt to equity swap) adalah jika bail out maka negara menanggung risiko finansial dari gagalnya suatu pembiayaan, sebaliknya pada opsi penyertaan modal risiko ditanggung oleh bank sepenuhnya.

Bank sebagai kreditur menanggung risiko sepenuhnya bukan saja dalam hubungan hukum kreditor dan debitor tetapi dengan dipilihnya opsi penyertaan modal maka kedudukan bank sebagai investor dengan porsi kepemilikan sebesar nilai hutang yang dikonversi. Konstruksi hukum secara keperdataan pada opsi penyertaan modal GI ini adalah konversi hutang menjadi kepemilikan (convertible loan). Artinya nilai pinjaman dianggap sebagai harga pembayaran atas sejumlah saham yang akan menjadi porsi kepemilikan bank sebagai kreditor.

Dalam hal ini bank harus benar-benar secara cermat melakukan due diligence untuk mengetahui potensi usaha, risiko dan liability yang melekat pada GI sehingga dapat menentukan valuasi yang tepat disamping menentukan nilai konversi yang tepat. Pertimbangan lain yang perlu diperhitungkan adalah jika seluruh kreditor (bank) memilih opsi konversi maka kepemilikan negara dalam GI akan menyusut secara drastis bahkan ada kemungkinan dalam jangka panjang hapusnya status BUMN pada GI karena negara sudah tidak menjadi pemegang saham pengendali. Kemungkinan ini terjadi jika asumsinya seluruh bank kreditor GI melakukan opsi penyertaan modal.

Dalam proses restrukturisasi yang saat ini sedang dilakukan perlu dipertimbangkan arah pemerintah terhadap kepemilikan maskapai GI, jika pemerintah masih memandang GI sebagai BUMN strategis dan akan mengelola maskapai GI sebagai BUMN maka sebaiknya opsi penyertaan modal dibatasi dan diprioritaskan pada hutang jangka pendek yang sudah atau segera akan jatuh tempo. Sebaliknya jika pemerintah memandang GI sebagai BUMN sulit untuk diselamatkan maka sebagai momentum ini dipergunakan untuk memperkecil porsi kepemilikan pemerintah pada maskapai GI.

Put And Call Agreement

Dalam kondisi saat ini sebaiknya opsi penyertaan modal pada GI dibatasi pada hutang jangka pendek yang sudah atau segera akan jatuh tempo sambil melihat peluang bisnis dan kondisi operasional GI dalam beberapa tahun mendatang. Setidaknya dalam beberapa tahun ini negara masih menjadi pemegang saham pengendali GI. Perjanjian restrukturisasi pembiayaan dan opsi penyertaan modal pada GI harus dibarengi dengan perjanjian put and call agreement sebagai opsi untuk membeli kembali atau menambah kepemilikan yang akan dialihkan.

Stiglitz (2014), menjelaskan perjanjian put and call agreement dianggap sebagai jalan tengah dalam situasi ketidakpastian. Opsi put dan call menunjukkan bahwa kepemilikan yang akan dilepaskan pada investor dapat ditambah maupun dikurangi, hal ini menjadi strategis karena pemerintah tidak harus kehilangan kepemilikan dalam jumlah besar dan sekaligus namun pemerintah memiliki waktu untuk menentukan langkah strategis terhadap maskapai GI ini sendiri. Tentu saja dalam hal ini put and call dibatasi jangka waktu dan harga pada masing masing opsi (put dan call), mengingat jika pemerintah membeli kembali kepemilikan pada bank tentu perlu dirumuskan harga yang berbeda dengan jika bank atau investor membeli kepemilikan pada pemerintah.

Jika nantinya dipilih opsi penyertaan modal maka sebagai perjanjian ikutan harus dibuat put and call agreement untuk menjaga posisi pemerintah sebagai pemegang saham pengendali GI. Jika kondisi GI membaik dan GI dalam beberapa tahun menjadi BUMN yang menguntungkan maka pemerintah dapat membeli kembali sahamnya sebaliknya pemerintah juga memiliki opsi untuk menambah saham yang akan dijual jika kondisi GI tidak menguntungkan.

Sebaliknya dalam hal ini bank sebagai kreditor juga perlu mempertimbangkan besaran opsi penyertaan modal dan exit bagi bank dalam hal ada atau tiadanya investor yang akan membeli kembali saham GI. Perlu dihindari oleh bank bahwa opsi penyertaan modal ini hanyalah opsi untuk menunda kredit bermasalah GI (non performing loan) yang tentu berdampak pada likuiditas perbankan dan penyediaan tambahan dana talangan akibat kredit bermasalah untuk menjaga kecukupan modal (capital adequacy ratio), namun pada akhirnya opsi penyertaan modal ini tetap akan membawa kerugian pada bank sebagai kreditor.

*)Dr. Rio Christiawan,S.H.,M.Hum.,M.Kn. adalah Dosen Hukum Bisnis Universitas Prasetiya Mulya.

Catatan Redaksi:

Artikel Kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline. Artikel ini merupakan kerja sama Hukumonline dengan Universitas Prasetiya Mulya dalam program Hukumonline University Solution.

Tags:

Berita Terkait