Omnibus Law Tak Sentuh Akar Persoalan Hiperregulasi
Berita

Omnibus Law Tak Sentuh Akar Persoalan Hiperregulasi

Seharusnya pemerintah membangun sistem manajemen regulasi nasional.

Hamalatul Qur'ani
Bacaan 2 Menit

Lantas sudahkah Indonesia memiliki SMR ini? Bagaimana dengan Direktorat Perundang-undangan yang saat ini sudah ada di bawah Kementerian Hukum dan HAM? Bisakah itu dikatakan SMR?

Mengutip temuan PSHK, Bivitri mengungkapkan SMR seperti yang dimaksud Cordova belum ada sama sekali di Indonesia. Adapun fungsi yang dijalankan Direktorat Perundang-undangan (PUU) Kumham belum menyentuh fungsi SMR. Sementara, katanya, Kementerian, Lembaga, OJK, BI, dan lainnya banyak sekali yang punya otoritas membuat aturan. Akhirnya, ego sektoral antar Lembaga tak bisa dielakkan ditambah lagi tak menutup kemungkinan adanya kepentingan politik yang terselubung di banyak sektor itu. “Apalagi sekarang soal Perda, tidak ada kontrol sama sekali. Sudah tidak diperbolehkan,” tukasnya.

Sehingga, lanjutnya, seringkali bila ditemukan norma yang saling bertentangan (conflicting norms)dan tidak bisa diselesaikan secara institusional oleh Kumham, ujungnya model penyelesaiannya hanyalah mediasi. “Karena tidak ada otoritas dan Kumham juga bukan Pengadilan yang bisa memutus. Nah, jadi kan bukan jalan keluar yang baik juga. Untuk itu memang butuh Lembaga yang memiliki otoritas yang lebih jelas di bawah presiden untuk mengatur manajemen regulasi,” tukasnya.

Ia juga menyinggung janji kampanye Jokowi untuk membentuk SMR melalui BPLN. Seribu sayang, hingga kini tak kunjung direalisasikan. Alih-alih membenahi quality control yang masih absen, pemerintah malah mengeluarkan Omnibus Law yang sebetulnya tak menyentuh akar persoalan sama sekali.

Bivitri mencontohkan, Kementrian PUPR membuat aturan yang bertentangan dengan keinginan daerah untuk perolehan Pendapatan Asli Daerah (PAD), sehingga terjadi benturan kepentingan. Jika ada Pusat Legislasi Nasional, maka hanya satu otoritas yang mengeluarkan aturan. “Selama ini di setiap Kementrian memang ada drafters yang sama-sama sudah mengikuti training, tapi bisa dibayangkan kalau nanti ada satu manajemen sistem untuk regulasi yang diisi oleh full-experts seperti yang disebutkan pak Cordova. Mungkin cost-nya tinggi untuk punya orang yang berkualitas di situ, tapi hasilnya akan bagus,” pungkasnya.

Peneliti Senior PSHK, M. Nur Sholikin pernah mengungkapkan kekecewaannya atas janji Jokowi untuk membenahi obesitas regulasi melalui BPLN yang tak kunjung dibentuk. Padahal, masyarakat berharap besar dengan ide pembentukan badan khusus regulasi di internal pemerintahan  untuk perencanaan, penyiapan naskah peraturan, harmonisasi, monitoring, evaluasi regulasi. “Fungsi ini harus dijalankan badan khusus manajemen regulasi, bukan lagi berada di struktur Kemenkumham yang secara kelembagaan juga mengurusi bidang lain,” ujarnya

Tags:

Berita Terkait