Omnibus Law Tak Harus Merevisi UU Pembentukan Peraturan
Berita

Omnibus Law Tak Harus Merevisi UU Pembentukan Peraturan

Idealnya memang pembentukan omnibus law dibarengi revisi UU 15/2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Sebab, ada kekhawatiran tanpa merevisi UU 15/2019, RUU Omnibus Law jika disahkan malah nantinya berujung uji materi di MK.

Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Gedung DPR. Foto: RES
Gedung DPR. Foto: RES

Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia Prof Jimly Asshiddiqie menilai pembentukan Rancangan Undang-Undang (RUU) omnibus law (penyederhanaan) yang diarahkan pada peningkatan investasi dapat dilakukan tanpa harus merevisi UU No. 15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

 

“Sebenarnya tanpa perubahan UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan terlebih dulu praktik pembentukan omnibus law dimaksud dapat saja dilakukan,” ujar Prof Jimly Ashiddiqie di Komplek Gedung Parlemen beberapa hari lalu.

 

Dia menerangkan pembentukan omnibus law bisa dilakukan sepanjang materinya tetap berpedoman pada tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan yang berlaku saat dan kebiasaan dalam praktik. Baginya, pedoman penyusunan peraturan hanya bersifat memandu dan tak perlu dipahami secara kaku.

 

“Pedoman disusun hanya berdasarkan praktik yang dilakukan selama ini, sehingga format dan proses perancangannya mengikuti kebiasaan yang ada. Tentu pedoman ini dapat saja diterobos. Sehingga, terbentuknya konvensi dan kebiasaan ketatanegaraan baru (new constitutional convention dan constitutional habbit) sebagai dasar dalam praktik berikutnya.”

 

“Dengan demikian, ide mempraktikkan RUU Omnibus atau Omnibus Law sudah dapat diterapkan tanpa harus menunggu perubahan UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan lebih dulu,” tegas Ketua Mahkamah Konstitusi periode 2003-2008 itu. Baca Juga: Jimly: Omnibus Law Mestinya untuk Penataan Regulasi Menyeluruh

 

Menurutnya, perubahan/revisi terhadap UU 15/2019 perlu dilakukan sepanjang bakal menerapkan gagasan kodifikasi administratif. “Jika kebijakan kodifikasi administratif dapat direalisasikan dapat lebih meningkatkan produktivitas legislasi DPR di masa mendatang,” lanjutnya.

 

Namun begitu, Jimly menilai memang ideal omnibus law perlu merevisi UU 15/2019 yang eksplisit dimuat dalam UU Pembentukan Peraturan ini. Namun tanpa merevisi pun, pembentukan omnibus law sudah dapat dilakukan pemerintah. “Idealnya memang sebaiknya demikian (revisi, red),” tegasnya.

 

Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR Andreas Hadisusetyo menilai pembentukan omnibus law idealnya merevisi UU 15/2019 terlebih dahulu. Namun, memang dapat disiasati sebagaimana pandangan Prof Jimly. Namun, dia khawatir tanpa merevisi UU 15/2019, RUU Omnibus Law jika disahkan malah nantinya berujung uji materi di Mahkamah Konstitusi (MK).

 

Dia mengamini pandangan Jimly tanpa merevisi UU 15/2019, UU Omnibus Law hanya bersifat mengharmonisasikan pasal-pasal yang bertentangan (tumpah tindih) atau antar UU saling beririsan. “Ini tanpa membuat norma baru dan juga tanpa mencabut UU lainnya,” ujarnya.

 

Sebelumnya, Menkopolhukam Mohammad Mahfud MD berpendapat tahap awal merealisasikan omnibus law harus merevisi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. "Tahap pertama kita harus mengubah dulu secepatnya, nanti saya ke DPR siang ini, harus mengubah dulu Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011," kata Mahfud MD di kegiatan Rakornas Forkopimda di SICC, Bogor, Rabu (13/11/2019) lalu.

 

Mahfud beralasan UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan ini perlu direvisi karena belum mengakomodasi perubahan undang-undang yang dilakukan secara serentak. "Perubahan harus satu-satu undang-undang dengan urgensi berbeda-beda. Nah, sekarang urgensinya disatukan," ucapnya.

 

Dia menerangkan omnibus law yakni undang-undang yang menyelesaikan masalah hukum yang berbeda-beda dalam satu paket penyelesaian. "Tidak satu-satu, karena kalau satu-satu ego sektoralnya muncul. Kalau omnibus law, undang-undang aslinya tetap diberlakukan, tapi materi-materi yang saling bersangkutan diangkat ke atas dalam satu undang-undang (baru)," jelasnya.

 

Menurut dia, dengan cara omnibus law, nantinya akan menyelesaikan persoalan substansi aturan hukum yang selama ini menjadi penghambat terutama soal investasi. Sebab, selama ini banyak aturan hukum yang bertentangan satu sama lain. Selain itu, aturan itu mengatur hal yang sama dengan cara berbeda-beda yang ujungnya menjadi penghambat berbagai percepatan.

 

Karena itu, lanjutnya, tahun pertama periode Kabinet Indonesia Maju berupaya membereskan persoalan substansi aturan-aturan hukum untuk mendukung visi Presiden Joko Widodo-KH Ma'ruf Amin terutama soal investasi. "Kenapa substansi dulu, karena substansi sering menghambat masalah investasi dan sebagainya. Dulu ketika Luhut Panjaitan jadi Menkopolhukam sebentar, sebagai pakar saya diundang mendiskusikan ini, banyak hukum yang bertentangan satu sama lain," kata Mahfud. Baca Juga: Alasan PSHK UU Pembentukan Peraturan Perlu Direvisi Total

 

Mahfud menambahkan selain persoalan substansi, yang harus dibenahi mengenai aparat penegak hukum dan budaya hukum masyarakatnya.

Tags:

Berita Terkait