Ombudsman-Polri Perpanjang Nota Kesepahaman
Berita

Ombudsman-Polri Perpanjang Nota Kesepahaman

Dalam kurun waktu lima tahun terakhir, Polri menduduki peringkat dua institusi yang paling banyak dilaporkan masyarakat.

NOV
Bacaan 2 Menit
Ketua Ombudsman Danang Girindrawardana dan Kapolri Jenderal Pol Sutarman menandatangani nota kesepahaman di Gedung Ombudsman, Jakarta, Selasa (9/9).
Ketua Ombudsman Danang Girindrawardana dan Kapolri Jenderal Pol Sutarman menandatangani nota kesepahaman di Gedung Ombudsman, Jakarta, Selasa (9/9).
Setelah lima tahun berlalu, Ombudsman dan Polri memperpanjang Memorandum of Understanding (MoU) tentang Penyelesaian Laporan dan Pengaduan Masyarakat. Penandatangan MoU itu dilakukan oleh Ketua Ombudsman Danang Girindrawardana dan Kapolri Sutarman di kantor Ombudsman, Selasa (9/9).

Danang mengatakan, MoU yang sebelumnya ditandatangani pada 2011 telah habis masa berlakunya. Ia menganggap perpanjangan nota kesepahaman ini sangat penting. “Mengingat selama kurun waktu lima tahun terakhir, pelayanan kepolisian menempati posisi kedua institusi yang paling banyak dilaporkan masyarakat,” katanya.

Sesuai data statistik Ombudsman, hingga pertengahan tahun 2014, Ombudsman menerima 3021 aduan masyarakat. Dari laporan tersebut, 390 laporan diantaranya adalah laporan yang terkait dengan pelayanan kepolisian. Total keseluruhan laporan yang terkait dengan kepolisian dalam kurun waktu 2009-2014 mencapai 2365 laporan.
TahunLaporan KeseluruhanLaporan Terkait Kepolisian
2009 1237 286
2010 1137 241
2011 1867 325
2012 2209 383
2013 5173 668
2014 3840 480
Total154632365
Sumber : Ombudsman

Melihat data statistik itu, Danang berharap kepolisian dapat lebih menggaungkan reformasi birokrasi di semua lini, mulai dari tingkat daerah sampai tingkat pusat. Ia juga berharap institusi kepolisian menjalankan reformasi birokrasi dengan lebih baik, sehingga benar-benar mengedepankan kualitas pelayanan publik.

Terkait dengan perpanjangan MoU, Danang mengungkapkan, ada sedikit yang berbeda dengan MoU kali ini. Selain menjalin kerja sama penyelesaian laporan dan pengaduan masyarakat, ada pula kerja sama dalam pemberian bantuan teknis dari kepolisian untuk menghadirkan terlapor atau saksi secara paksa.

Menurut Danang, pemanggilan atau penghadiran secara paksa dapat dilakukan apabila terlapor atau saksi tidak memenuhi panggilan Ombudsman setelah dipanggil tiga kali berturut-turut. Kewenangan tersebut diberikan kepada Ombudsman sesuai ketentuan Pasal 31 UU No.37 Tahun 2008 tentang Ombudsman RI.

Sementara, Kapolri Sutarman menyambut baik penandatangan MoU. Ia menyatakan Ombudsman merupakan salah satu lembaga pengawas, khususnya bagi lembaga yang memiliki fungsi pelayanan masyarakat guna menciptakan pemerintahan yang bersih (clean government) dan tata kelola pemerintahan yang baik.

Ia membenarkan Polri sebagai institusi yang paling banyak bersentuhan dengan masyarakat, memiliki banyak instrumen pelayanan, mulai dari pelayanan yang terkait aspek penegakan hukum hingga pelayanan-pelayanan lain, seperti SIM, STNK, BPKB, SKCK, izin keramanan, dan izin kepemilikan senjata api.

Sepanjang tahun 2012, Polri telah memberikan 54.353.222 pelayanan kepada masyarakat, baik pelayanan yang terkait penegakan hukum maupun pelayanan terkait pelayanan lain. Pelayanan itu meningkat di tahun 2013 menjadi 57.927.067. Namun, menurut Sutarman, masih ada masyarakat yang merasa tidak puas dengan pelayanan Polri.

“Dari complain-complain yang paling banyak complain terkait penegakan hukum. Mulai dari orang membuat laporan, karena laporannya mungkin perdata dan tidak masuk kualifikasi tindak pidana, jadi tidak diterima. Lalu, ada yang sudah buat laporan, tapi laporannya lama dan tidak selesai-selesai. Itu juga pasti tidak puas,” ujarnya.

Sutarman menyadari, dalam memberikan pelayanan, masih ada hal-hal yang dirasa kurang pas oleh masyarakat. Ia berkomitmen untuk segera menyelesaikan laporan-laporan itu, sehingga masyarakat menjadi terpuaskan. Di lain pihak, ada beberapa hal yang harus diluruskan karena adanya perbedaan persepsi di masyarakat.

Misalnya, dalam pembuatan laporan ke kepolisian. Ada kalanya, masyarakat melaporkan suatu peristiwa yang mereka anggap sebagai tindak pidana, padahal sebenarnya bukan tindak pidana, melainkan perdata. Laporan itu tentu tidak akan ditindaklanjuti karena masalah perdata bukan merupakan domain kepolisian.

Kemudian, mengenai laporan masyarakat yang tidak puas karena ditetapkan sebagai tersangka. Sutarman menjelaskan, dalam penetapan tersangka, ada beberapa persyaratan dan prosedur yang harus dipenuhi. Penyidik harus memiliki sekurangnya dua alat bukti dan penetapan tersangka itu harus melalui gelar perkara.

Dalam gelar perkara, semua pihak terkait dihadirkan, termasuk ahli. Mereka akan menilai secara komperhensif dan transparan untuk mengetahui duduk perkara yang sebenarnya. Apabila perkara itu didukung dua alat bukti, penetapan tersangka sudah memenuhi prosedur dan orang itu harus bertanggung jawab secara hukum.

Apabila penetapan tersangka tidak dilakukan sesuai persyaratan dan prosedur yang benar, penyidik harus membatalkan atau menghentikan penyidikan. Sutarman mengungkapkan, untuk mengawasi proses tersebut, Polri memiliki tim audit investigasi. Jika penyidik terbukti melakukan penyimpangan, tentu ada proses disiplin dan kode etik profesi.

“Kalau perlu, tim dari Ombudsman nanti ikut bersama-sama kami. Kami akan membuka. Begitu ada laporan, bukan hanya kami jawab, silakan kita gunakan forum gelar perkara, khususnya yang terkait dengan masalah-masalah penegakan hukum yang dilakukan Polri, sehingga masalahnya menjadi jelas,” tuturnya.

Dengan demikian, Sutarman berjanji akan melakukan pembenahan semaksimal mungkin. Namun, masyarakat juga harus diberikan pemahaman. “Ini jadi pembelajaran bagi institusi Polri, masyarakat, dan siapapun. Kalau memang dia benar-benar salah, dia harus bertanggung jawab secara hukum,” imbuhnya.
Tags:

Berita Terkait