Ombudsman: Perpres Penggunaan TKA Perlu Mengatur Dua Substansi Ini
Berita

Ombudsman: Perpres Penggunaan TKA Perlu Mengatur Dua Substansi Ini

​​​​​​​Kewajiban rasio 1:10 bagi pemberi kerja yakni setiap mempekerjakan 1 tenaga kerja asing (TKA), pemberi kerja harus merekrut 10 pekerja lokal. Serta kewajiban berbahasa bagi TKA.

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Kantor Ombudsman Jakarta. Foto: Sgp
Kantor Ombudsman Jakarta. Foto: Sgp

Praktik penggunaan tenaga kerja asing (TKA) ternyata mendapat sorotan bukan saja dari masyarakat tapi juga lembaga negara salah satunya Ombudsman Republik Indonesia. Komisioner Ombudsman, Laode Ida, mengatakan lembaganya telah melakukan investigasi terhadap persoalan dalam penyelenggaraan pelayanan publik dalam rangka penempatan dan pengawasan TKA. Investigasi dilakukan Juni-Desember 2017 di 7 provinsi yakni Jakarta, Jawa Barat, Banten, Sulawesi Tenggara, Papua Barat, Sumatera Utara, dan Kepulauan Riau.

 

Dari hasil investigasi itu Ombudsman menemukan berbagai masalah dalam penempatan dan pengawasan TKA. Untuk penempatan, Laode menyebut data antar kementerian dan lembaga di tingkat pusat sampai daerah belum terintegrasi. Baik itu mengenai jumlah, sebaran, dan alur keluar masuk TKA. Kemudian pengawasan yang dilakukan tim pengawasan orang asing (Tim Pora) yang beranggotakan sejumlah lembaga negara seperti Polri dan Ditjen Imigrasi belum maksimal.

 

Masalah lainnya yaitu TKA masih bekerja walau masa berlaku izin mempekerjakan TKA (IMTA) sudah habis dan tidak diperpanjang. Ada juga TKA yang bekerja sebagai buruh kasar, bahkan ada TKA yang tidak memiliki IMTA tapi bisa menjadi warga negara Indonesia (WNI). Sayangnya pengawasan yang dilakukan belum maksimal, Laode menilai petugas pengawas tidak tegas terhadap pelanggaran yang terjadi.

 

Ombudsman menilai ada beberapa faktor menyebabkan pengawasan lemah seperti jumlah SDM dan anggaran terbatas, serta lemahnya koordinasi antar instansi di pusat dan daerah. "Kami menemukan ada perusahaan yang mempekerjakan 500 orang TKA dengan visa turis, tapi tidak ada sanksi yang dijatuhkan kepada perusahaan itu," kata Laode dalam jumpa pers di Jakarta, Kamis (27/4).

 

Menurut Laode ada persoalan regulasi yang menyebabkan praktik penggunaan TKA banyak menyalahi aturan. Saat ini mekanisme penggunaan TKA diatur lewat Peraturan Presiden (Perpres) No.20 Tahun 2018, secara umum beleid itu menyederhanakan proses pelayanan penggunaan TKA. Tapi ada 2 substansi penting yang harusnya diatur pemerintah dalam peraturan teknis.

 

Pertama, kewajiban pemberi kerja yang mempekerjakan 1 orang TKA harus menyerap sedikitnya 10 orang tenaga kerja lokal. Kedua, syarat bagi TKA untuk berbahasa Indonesia. Laode melihat dua ketentuan itu diatur dalam beberapa regulasi teknis yaitu Permenaker No.16 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penggunaan TKA dan Permenaker No.12 Tahun 2012. Tapi melalui Permenaker No.35.Tahun 2015 kedua substansi itu dihapus.

 

Baca:

 

Mengacu hasil investigasi itu Ombudsman menerbitkan sejumlah saran kepada 6 lembaga pemerintah untuk melakukan pembenahan yaitu Kementerian Ketenagakerjaan, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Dalam Negeri, Polri, BKPM, dan pemerintah daerah provinsi. Untuk Kementerian Ketenagakerjaan, saran yang diberikan Ombudsman diantaranya merevisi Permenaker No.35 Tahun 2015 dengan memuat sejumlah ketentuan seperti kewajiban TKA berbahasa Indonesia, penggunaan rupiah untuk pembayaran dana kompensasi, dan rasio perbandingan penyerapan TKA dengan tenaga kerja lokal.

 

Melakukan penindakan dan sanksi tegas kepada perusahaan yang melakukan pelanggaran penggunaan TKA, dan memberi reward and punishment bagi petugas pengawas ketenagakerjaan. "Pemerintah harus memastikan tidak ada TKA yang bekerja sebagai tenaga kerja kasar," ujar Laode.

 

Untuk Kementerian Hukum dan HAM, Ombudsman menyarankan kebijakan bebas visa dievaluasi guna meminimalisir celah masuknya TKA ilegal. Anggota Tim Pora perlu melibatkan lebih bangak unsur terutama dari kalangan masyarakat. Menciptakan sistem pencegahan dini untuk mengetahui keberadaan orang asing termasuk TKA di Indonesia dengan menggunakan siatem pelacakan teknologi informasi seperti chip di paspor dan visa.

 

Kementerian Dalam Negeri disarankan untuk memerintahkan seluruh Gubernur melakukan pengawasan TKA di wilayah masing-masing. Polri direkomendasikan untuk menyiapkan Perpres atau Peraturan Kepala Polri mengenai penjabaran pelaksanaan UU No. 2 Tahun 2002 tentang Polri dan UU No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian. Melalui peraturan itu Laode berharap aparat kepolisian bisa melakukan tindakan terhadap TKA ilegal.

 

Tak ketinggalan Ombudsman meminta pemerintah daerah provinsi untuk menyusun dan mengevaluasi program pengawasan secara berkala dan berkesinambungan dan melaporkannya kepada Kementerian Ketenagakerjaan. Menambah jumlah pengawas ketenagakerjaan sampai Kabupaten/Kota. Membuat daftar perusahaan pengguna TKA yang melakukan pelanggaran dan tidak melakukan perpanjangan perizinan TKA.

 

Direktur Bina Penegakan Hukum Ketenagakerjaan Kementerian Ketenagakerjaan, Brigjen Polisi Iswandi Hari, mengatakan perlu dukungan banyak pihak terkait data TKA sehingga bisa mendorong pengawasan dan penegakan hukum lebih optimal." Mengenai Permenaker No.35 Tahun 2015 yang dinilai mengalami kemunduran, ini evaluaso bagi kami," paparnya.

Sekretaris Direktorat Jenderal Imigrasi, Lilik Bambang Lestari, berjanji akan menindaklanjuti rekomendasi Ombudsman. Misalnya mengenai optimalisasi Tim Pora dalam mengawasi orang asing dan evaluasi kebijakan visa kunjungan.

Tags:

Berita Terkait