Ombudsman: Kepatuhan Rendah, Maladministrasi Tinggi
Berita

Ombudsman: Kepatuhan Rendah, Maladministrasi Tinggi

Dapat berdampak pada kualitas pelayanan publik yang rendah hingga terjadi inefisensi birokrasi, bahkan potensi korupsi.

NNP
Bacaan 2 Menit
Ketua Ombudsman Danang Girindrawardana. Foto: NNP
Ketua Ombudsman Danang Girindrawardana. Foto: NNP
Ketua Ombudsman Republik Indonesia (ORI) Danang Girindrawardana mengatakan kalau kepatuhan implementasi pelayanan publik yang rendah akan berdampak pada berbagai jenis maladministrasi yang dilakukan oleh Aparatur Sipil Negara (ASN). Menurutnya, rendahnya kepatuhan dalam implementasi standar pelayanan publik juga berdampak terhadap rendahnya kualitas pelayanan publik.

“Dari situ muncul hipotesa kalau kepatuhan rendah, maka maladministrasi tinggi yang diikuti dengan kualitas pelayanan publik yang rendah,” katanya dalam acara “Penganugerahan Predikat Kepatuhan Standar Pelayanan Publik” di Jakarta,  Rabu (16/12).

Lebih lanjut, Danang menyebutkan, kalau rendahnya kepatuhan implementasi standar pelayanan publik juga akan berakar pada dua permasalahan besar, yakni korupsi dan inefisiensi birokrasi. Dua akar masalah itu juga yang mengakibatkan kualitas pelayanan publik menjadi sangat rendah. Rendahnya kualitas pelayan publik itu akan mengakibatkan ekonomi yang biaya tinggi serta menghambat pertumbuhan investasi.

Padahal, kepatuhan implementasi standar pelayanan publik akan mempengaruhi kinerja kebijakan, dalam hal ini oleh pemerintah atau pemerintah daerah. Oleh karenanya, Danang khawatir kalau itu tetap terjadi, kepercayaan publik akan luntur. Hal yang terburuknya, publik akan memilih bersikap apatis terhadap apapun yang dilakukan oleh pemerintah atau pemerintah daerah.

Guru Besar FISIP UI Amy Yayuk Sri Rahayu menyatakan kalau kondisi pelayanan publik di Indonesia saat ini masih belum menunujukkan perbaikan. Hal itu bisa dilihat dari laporan The Global Competitiveness Report 2014-2015 yang menunjukkan bahwa dalam hal pelayanan publik, Indonesia berada di posisi 33 dari 140 negara.

Selain itu, lanjut Amy, buruknya pelayanan publik di Indonesia lantaran pejabat yang bertanggung jawab terhadap kebijakan, program kerja, serta business process atau SOP tidak melaksanakan dengan ketentuan undang-undang yang ada, yakni UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.

Namun, di sektor regional ASEAN, sebetulnya posisi Indonesia bukanlah yang terburuk. Paling tidak, lanjut Amy, posisi Indonesia sedikit lebih baik di atas Myanmar, Filipina, Laos, dan Kamboja. Tapi sayangnya, Indonesia masih di bawah Singapura, Vietnam dan Malaysia. “Kita kalah dari Vietnam, Indonesia tetap menjadi ‘anak macan’ dari dulu,” katanya.

Sebetulnya, Indonesia telah melewati tiga fase pelayanan publik yang berubah-ubah. Misalnya, periode 1965-1998, pelayanan publik di Indonesia sarat dengan praktik KKN, tidak profesional, serta rendahnya pelibatan partisipasi masyarakat. Lalu periode 1998-2015, terjadi perubahan dimana dilakukan reformasi birokrasi yang berdampak pada turunnya praktik KKN meskipun masih ada. Selain itu, selama periode ini juga mulai tumbuh partisipasi masyarakat yang dilibatkan dalam partisipasi.

Sementara tahun 2016 ke depan, Amy memprediksi kalau trend pelayanan publik adalah pelayanan yang berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK). Model-model pelayanan semisal e-government atau e-catalog, serta model lainnya dinilai Amy akan membuat pelayanan publik semakin baik. Sebaliknya, dia menilai kalau trend itu tidak diterapkan, maka sektor pelayanan publik akan tertinggal. “Yang tidak kejar itu niscaya akan ketinggalan,” tambahnya.

Namun, di satu sisi selain mengejar pelayanan yang berbasis IPTEK itu, Amy juga menilai kalau percepatan peningkatan kualitas pelayanan publik bisa dilakukan lewat tataran mikro dan makro. Dari tataran mikro, peningkatan kapabilitas serta kemampuan penyelenggara negara mesti menjadi fokus. Sementara, di tataran makro, dia menilai kalau regulasi yang telah ada mesti dilakukan up date.

“Ke depan mesti dirancang standar minimal bagi sektor pelayanan yang disesuaikan dengan kondisi daerah masing-masing mulai dari Sabang hingga Merauke,” tandasnya.

Hal sebaliknya diungkapkan oleh Deputi Bidang Pelayanan Publik Kementerian PAN RB, Mirawati Sudjono. Menurutnya, percepatan peningkatan pelayanan publik mesti dilakukan dengan inovasi pelayanan publik. Akan tetapi, inovasi yang dilakukan tak wajib harus yang menggunakan IT Base. Inovasi yang dimaksud lebih peningkatan perbaikan pelayanan dan bermanfaat bagi perbaikan sistem dan masyarakat. “Inovasi tidak harus IT Base,” katanya.

Tegakkan Sanksi
Direktur Dekonsentrasi, Tugas Pembantuan dan Kerjasama Dirjen Bina Administrasi Kemendagri, Rizari menyebutkan kalau ketentuan UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah sebetulnya mengatur tentang sanksi bagi kepala daerah dan wakil kepala daerah yang tidak melaksanakan program strategi nasional sebagaimana diatur dalam Pasal 67 huruf F.

Berdasarkan Pasal 68 undang-undang yang sama, sanksinya bisa berupa, teguran tertulis, lalu diberhentikan sementara hingga diberhentikan sebagai kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah. Tapi sayangnya, ketentuan itu seolah ‘mandul’ dan tidak pernah dilakukan penegakannya.

Danang sepakat bahwa penegakan aturan tersebut terkesan ‘mandul’. Selama ini, lanjut Danang, belum pernah ada kepala daerah atau wakil kepala daerah yang dijatuhi sanksi sebagaimana aturan itu. Padahal, aturan itu sebetulnya bisa menjadikan kepala daerah menjadi patuh dan menjalankan program yang dimaksud. Ia menilai, kendala yang dihadapi dalam implementasi pasal itu adalah belum adanya mekanisme yang dirancang.

Dia menduga karena belum adanya mekanisme itu akhirnya penegakan sanksi itu menjadi sulit diimplementasikan. Padahal, paling tidak ada lima aturan yang mengatur mekanisme pengawasan eksternal dan pengawasan secara mandiri terhadap penyelenggaraan pemerintahaan terkait pelayanan publik.

Antara lain, UU Nomor 25 Tahun 2009, UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, UU Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman, UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, dan UU Nomor 23 Tahun 2014. “Tanpa sanksi itu akan mandul,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait