Ombudsman: Iuran Tapera Sebaiknya Tidak Wajib, tapi Atas Kesadaran Pekerja untuk Jadi Peserta
Terbaru

Ombudsman: Iuran Tapera Sebaiknya Tidak Wajib, tapi Atas Kesadaran Pekerja untuk Jadi Peserta

Iuran program Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) sebaiknya juga tidak melibatkan pengusaha.

Fitri Novia Heriani
Bacaan 3 Menit
Anggota Ombudsman Republik Indonesia (RI) Yeka Hendra Fatika. Foto: Istimewa
Anggota Ombudsman Republik Indonesia (RI) Yeka Hendra Fatika. Foto: Istimewa

Pemberlakukan iuran Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) terus mendapatkan penolakan dari publik, terutama kalangan pekerja. Pemerintah diminta untuk membatalkan pelaksanaan Tapera karena dinilai memberatkan.

Persoalan pro kontra Tapera ini mendapatkan perhatian dari Ombudsman. Anggota Ombudsman Republik Indonesia (RI) Yeka Hendra Fatika menyampaikan iuran program Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) sebaiknya tidak melibatkan pengusaha, namun dengan kesadaran sendiri dari para pekerja untuk mengikuti program itu.

"Kalau memang kemudian yang pengusaha itu berat, maka saya yakin pemerintah akan mendengarkan itu, dan seyogianya iuran Tapera ini tidak melibatkan pengusaha. Jadi itu melibatkan kepada sebagai kesadaran dari pekerja untuk masuk sebagai kepesertaan dari Tapera," kata dia di Jakarta, Senin (10/6), dikutip Antara.

Baca Juga:

Dirinya menilai pemerintah dalam hal ini Badan Pengelola Tapera (BP Tapera) sedang melakukan simulasi skema penarikan iuran untuk tidak atau dengan melibatkan pengusaha.

"Masalahnya 3 persen itu seperti apa, sekarang kan sedang disimulasikan. Apakah nanti ini melibatkan pengusaha, pengusahanya nanti dicek dulu. Kalau pengusahanya masalah, apalagi ini nanti mengganggu cash flow-nya perusahaan, itu otomatis nggak akan. Saya yakin juga BP Tapera tidak akan berani memaksakan seperti ini," kata dia.

Oleh karena itu menurut dia pemerintah perlu melakukan sosialisasi secara baik, supaya masyarakat bisa memahami semangat dari program tersebut.

Selain itu, menanggapi soal penolakan penyelenggaraan iuran Tapera dari masyarakat, disampaikannya pihak yang merasa dirugikan bisa mengajukan gugatan terhadap Peraturan Pemerintah (PP) No.21 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat sesuai dengan jalur hukum yang berlaku.

"Ya silakan, boleh. Kalau memang DPR mau mengubah undang-undang Tapera silakan. PP-nya pun diubah, ya silakan itu pemerintah. Itu kan berarti, kalau begitu proses penyusunan kemarin ada yang tidak prudent," kata dia.

Sebelumnya, Komisioner BP Tapera Heru Pudyo Nugroho mengatakan, penarikan iuran sebesar 3 persen bagi pekerja swasta maupun segmen pekerja lainnya belum tentu diberlakukan 2027.

"Lalu terkait apakah di 2027, ya kita gak bisa pastikan, ada achievement- achievement yang harus kami tuju dulu sebelum kita mendapatkan trust untuk memulai penarikan," kata dia di Jakarta, Senin.

Menurut dia, nantinya realisasi penarikan iuran Tapera setiap tanggal 10 itu dilakukan dalam skema bertahap (gradual). Hal itu karena masih terbatasnya sumber daya di institusi pengelola, baik dari sisi sumber daya manusia (SDM), maupun teknologi.

Di sisi lain, UU Tapera sebagai payung hukum pelaksanaan TAPERA diuji materi ke Mahkamah Konsititusi (MK). Adalah seorang pekerja freelance bernama Bansawan mendaftarkan permohonanya pada Jumat (7/6), lalu.

Dalam permohonanya, pemohon meminta MK untuk menguji dua pasal dari UU Tapera, yakni pasal 1 ayat (3) dan juga pasal 9 ayat (2). Adapun bunyi dari pasal 9 ayat (2): “Pekerja Mandiri sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) harus mendaftarkan dirinya sendiri kepada BP Tapera untuk menjadi peserta.”

Menurut kuasa hukum pemohon, Ferdian Sutanto, dua pasal dimaksud mewajibkan pemohon ikut dalam kepesertaan. Hal tersebut dinilai bertentangan dengan pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945. Adapun bunyi Pasal 28D ayat (1): “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”, dan pasal 28G ayat (1): “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.”

Muatan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 9 ayat (2) UU Tapera dinilai tidak mencerminkan asas keadilan sebagaimana Pasal 28G ayat (1) UUD 1945. “Muatan pasal ini mewajibkan pemohon ikut dalam kepesertaan, yang mana menabung itu harusnya merupakan hak seseorang,” kata Ferdian kepada Hukumonline, Kamis (6/6).

Ferdian melanjutkan, negara berkewajiban melindungi, memberikan jaminan dan kepastian hukum bagi warga negara, bukan sebaliknya. Di samping itu penghasilan yang bersumber dari jeri payah seseorang dalam hal ini pemohon merupakan hak pribadinya, yang berada dibawah kekuasaan pemohon sebagaimana disebutkan dalam Pasal 28G ayat (1).

Tags:

Berita Terkait