Olahragawan Perlu UU Ketenagakerjaan Tersendiri
Berita

Olahragawan Perlu UU Ketenagakerjaan Tersendiri

Untuk menjawab persoalan seringnya gaji yang tak dibayar.

RFS (HOLE)/ALI
Bacaan 2 Menit
Sekjen IASL Olga Shevchenko saat menyampaikan materi dalam kongres di Bali. Foto: SGP
Sekjen IASL Olga Shevchenko saat menyampaikan materi dalam kongres di Bali. Foto: SGP

Sekertaris Jenderal International Association of Sports Law (IASL), Olga Shevchenko mengatakan olahragawan perlu undang-undang ketenagakerjaan tersendiri sebagai bentuk perlindungan terhadap profesi-profesi yang terlibat dalam sistem keolahragaan.

“Tidak dapat dipungkiri bahwa olahraga dewasa ini juga memiliki dampak sosial dan politik yang luas sehingga perlu pengaturan yang lebih mendalam,” ujarnya dalam sesi panel pada Kongres IASL ke-19 di Bali, Selasa (29/10).

Asisten Profesor dari Moscow State Law University ini menjelaskan peraturan khusus tersebut dibutuhkan karena adanya perbedaan karakteristik yang mendasar antara olahragawan dengan buruh pada umumnya. Perbedaan itu dapat dilihat dari unsur perintah dan ketergantungan dalam hubungan antara olahragawan dengan pelatih atau klub.

Lebih lanjut, Olga berpendapat tidak diaturnya hubungan ketenagakerjaan secara khusus pada bidang olahraga menempatkan olahragawan pada posisi yang tidak sepenuhnya terlindungi. Misalnya, pada saat seorang atlet pindah ke klub antar negara sehingga menimbulkan terjadinya disparitas yang sangat besar mengenai ketentuan kontrak.

Olga mengungkapkan hal ini pernah menjadi fokus agenda pembahasan Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa ke-58 pada tanggal 17 November 2003. Pada kesempatan itu, Majelis Umum PBB mengakui adanya beberapa masalah serius yang dapat timbul dari sistem keolahragaan yang buruk seperti, bahaya cidera, olahragawan di bawah umur, kekerasan dalam pelatihan, doping, eksplotasi olahragawan yang terlalu dini serta perampasan terhadap hak atas ikatan keluarga, sosial dan budaya.

“Maka dari itu, kita mengupayakan agar adanya rekomendasi dari International Labor Organization untuk merancang ketentuan ketenagakerjaan yang lebih sepesifik mengatur mengenai perlindungan olahragawan,” tutur Olga.

Demi menjamin efektivitas perlindungan terhadap olahragawan, Olga berpendapat peraturan ketenagakerjaan olahragawan itu tak hanya ada pada level internasional, tetapi juga pada level undang-undang di negara masing-masing.

Contoh olahragawan yang tak terlindungi pernah terjadi di Rusia. Olga menceritakan salah satu klub basket di Rusia yang tetap mempekerjakan pemain baru walaupun tidak mampu membayar gaji pemain sebelumnya. Olga pernah mengajukan permohonan kepada federasi basket Rusia agar menolak mengakui klub yang mempekerjakan pemain baru tetapi masih memiliki masalah pembayaran gaji terhadap pemain sebelumnya.

Sayangnya, lanjut Olga, permohonan tersebut ditolak oleh federasi. Alasannya karena aturan mengenai mempekerjakan pemain basket diatur dan tunduk pada UU Ketenagakerjaan Rusia. “Permohonan kami ditolak karena olahraga di Rusia diatur melalui UU Ketenagakerjaan,” ujarnya.

Dalam sesi yang terpisah, General Manager Asosiasi Pemain Profesional Indonesia (APPI) Valentino Simanjuntak mengatakan kesejahteraan olahragawan sempat menjadi salah satu fokus perhatian dalam pertemuan tahunan FIFPro (organisasi atlet profesional di dunia) di Slovenia, pekan lalu. Ia mengatakan FIFPro sangat memperhatikan fenomena pengaturan skor permainan karena disebabkan oleh dua hal.

Pertama, karena gaji pemain sepakbola atau atlet tidak dibayar oleh klubnya. Akibatnya, dia tak bisa membayar tagihan dan memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarga. “Ini salah satu alasan yang populer mengapa pemain ikut terlibat dalam pengatur skor,” tutur pria yang hadir sebagai peserta dalam kongres ini.

Kedua, karena pemain atau olahragawan dipaksa oleh klubnya sendiri. Valentino berharap agar setiap lembaga terkait bekerja sama menyelesaikan persoalan ini. “Atlet harus dijamin kesejahteraannya. Hak dasarnya seperti gaji dan asuransi,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait