OJK Luncurkan Konsep Pengawasan Berbasis Risiko
Berita

OJK Luncurkan Konsep Pengawasan Berbasis Risiko

Pengawasan akan dilakukan secara terintegrasi, sehingga induk usaha tak mengabaikan anak usahanya.

FAT
Bacaan 2 Menit
OJK Luncurkan Konsep Pengawasan Berbasis Risiko
Hukumonline

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) meluncurkan konsep pengawasan berbasis risiko kepada Industri Keuangan Non Bank (IKNB). Ketua Dewan Komisioner OJK Muliaman D Hadad mengatakan, pengawasan berbasis risiko yang terintegrasi ini bertujuan untuk memajukan kepentingan bersama, baik pelaku usaha maupun konsumen.

“Awareness ini harus dikembangkan secara bersama-sama,” ujar Muliaman di Jakarta, Jumat (26/7).

Menurut Muliaman, keberadaan konsumen sendiri penting bagi kelangsungan usaha di IKNB. Ia percaya keberadaan konsumen dapat meningkatkan kegiatan usaha. “Kalau terjadi confidence konsumen meningkat, industri ini akan terus berkembang. Jadi konsumen sebagai investasi jangka panjang,” katanya.

Pentingnya pengawasan berbasis risiko yang terintegrasi, lanjut Muliaman, agar kegiatan usaha di sektor IKNB dapat berjalan dengan baik. Hal ini dikarenakan perusahaan yang bergerak di sektor IKNB merupakan anak usaha dari induk perusahaan yang biasanya adalah perbankan.

Dari catatan OJK, hampir 60 persen total aset di IKNB terkait dengan grup usaha. Artinya, perusahaan yang bergerak di sektor IKNB, seperti asuransi, perusahaan pembiayaan dan dana pensiun merupakan anak usaha dari induk usaha yang bergerak di perbankan. Namun, kata Muliaman, tak sedikit pula induk usahanya bukan perbankan.

“Kita tidak mau induk usaha mengabaikan anak perusahaan. Oleh karena itu OJK akan lihat ini secara terintegrasi. Kualitas manajemen risiko di induk perusahaan paling tidak ditularkan ke anak usahanya,” tutur Muliaman.

Ia mengatakan, dari pengalaman di sejumlah negara lain, banyak kegagalan bank lantaran kinerja buruk dari anak perusahaan. Maka itu, dengan adanya konsep pengawasan berbasis risiko secara terintegrasi ini, dipercaya dapat mencegah terjadinya kegagalan yang disebabkan memburuknya kinerja anak perusahaan.

Anggota Dewan Komisioner OJK bidang IKNB Firdaus Djaelani mengatakan konsep pengawasan berbasis risiko ini akan diterapkan pada tahun 2014. Menurutnya, konsep ini bukanlah hal baru di sektor keuangan. Menurutnya, konsep ini sudah lama dikembangkan di negara-negara maju dan penerapannya semakin populer terutama sejak krisis keuangan pada akhir tahun 1990-an.

Ia mengatakan, salah satu bentuk awal penerapan dari konsep ini adalah penilaian kecukupan modal bagi bank atau perusahaan asuransi dengan menggunakan risk based capital. Menurutnya, saat ini pengawasan IKNB di Indonesia sedang berada pada masa transisi dari pengawasan yang berorientasi pada kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan atau compliance based supervision ke penerapan risk based supervision.

“Tentu saja tingkatan transisi tersebut berbeda-beda untuk perusahaan asuransi, perusahaan pembiayaan dan dana pensiun,” ujar Firdaus.

Selama ini, lanjut Firdaus, pengawasan terhadap perusahaan asuransi dilakukan melalui analisis dan pemeriksaan meliputi aspek kesehatan keuangan dan kegiatan usaha. Salah satu aspek utama yang menjadi perhatian dalam pengawasan adalah kemampuan perusahaan asuransi dalam memenuhi tingkat solvabilitas dan modal minimum berbasis risiko.

“Dalam hal terdapat perusahaan yang tidak mampu memenuhi tingkat solvabilitas dan modal minimum tersebut, pengawas akan meminta perusahaan untuk melakukan upaya-upaya penyehatan,” ujar Firdaus.

Selain asuransi, sektor lain yang juga telah menerapkan sistem pengawasan berbasis risiko adalah perusahaan pembiayaan dan dana pensiun. Menurut Firdaus, pengawas di sektor dana pensiun selangkah lebih maju ketimbang pengawas lain. Hal ini dikarenakan pada awal tahun 2008 lalu Bapepam-LK telah menerbitkan peraturan Nomor Per-04/BL/2008 tentang Pengawasan Dana Pensiun Berbasis Risiko.

Peraturan tersebut memperkenalkan sistem pemeringkatan risiko atau speris dan sistem pengawasan berbasis risiko atau sanberris. Menurut Firdaus, speris merupakan alat untuk mengukur tingkat risiko dana pensiun. Sedangkan sanberris adalah pedoman umum dalam menentukan strategi pengawasan.

“Dengan menggunakan sistem pengawasan tersebut, OJK telah memetakan dana pensiun berdasarkan tingkat risiko masing-masing,” katanya.

Direktur Eksekutif Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) Julian Noor menyambut baik konsep ini. Apalagi jika terdapat perusahaan yang terafiliasi dengan perusahaan lain akan mempermudah pengawasan terintegrasi tersebut. “Ada kebutuhan pengawasan itu di OJK untuk melihat suatu risiko bersama atau suatu kelompok usaha financial,” katanya.

Ia mengatakan, jika pengawasan berbeda-beda satu perusahaan dengan perusahaan lain dikhawatirkan permasalahan yang dialami satu perusahaan bisa merembet ke perusahaan lain. Menurut Julian, dengan adanya sistem pengawasan yang sama memudahkan untuk membuat paramater yang sama.

“Sistem yang sama pada akhirnya memudahkan pengawasan risiko bersamanya satu kelompok usaha finansial itu, dan ini yang menjadi concern buat OJK,” tutup Julian.

Tags: