Bagi konsumen yang pernah berhubungan dengan perbankan, klausula baku bukanlah hal yang asing. Misalnya saat menggunakan fasilitas-fasilitas perbankan, terdapat syarat dan ketentuan berlaku yang secara otomatis berlaku. Perjanjian ini dibuat secara sepihak oleh pihak perbankan.
Pada dasarnya, penggunaan klausula baku bukanlah hal yang dilarang. Namun dalam penerapannya, banyak pelaku jasa keuangan yang melakukan pelanggaran. Padahal UU No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) dan POJK No 1 Tahun 2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan, sudah memberikan rambu-rambu klausula baku yang larang untuk digunakan.
Dalam Pasal 1 UU PK disebutkan bahwa “Klausula Baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.”
Sementara dalam Penjelasan Pasal 22 ayat (1) POJK No 1 Tahun 2013 menyatakan bahwa “Perjanjian baku sebagaimana dimaksud pada ayat ini adalah perjanjian tertulis yang ditetapkan secara sepihak oleh Pelaku Usaha Jasa Keuangan dan memuat klausula baku tentang isi, bentuk, maupun cara pembuatan, dan digunakan untuk menawarkan produk dan/atau layanan kepada Konsumen secara massal.”
Jika merujuk pada UUPK Pasal 18, terdapat beberapa poin aturan-aturan yang tidak boleh dimasukkan ke dalam klausula baku. Misalnya menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha. Jika pelaku usaha melakukan pelanggaran maka perjanjian akan batal demi hukum. (Baca Juga: Advokat Usul Ada Regulasi Soal SMS Iklan yang Mengganggu Konsumen)
Pasal 18:
|
Sedangkan OJK selaku pihak yang berwenang mengawasi sektor jasa keuangan menerbitkan Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan No 13/SEOJK.07/2014 Tentang Perjanjian Baku. SE 13/2014 itu pada dasarnya mengadopsi UU PK.