OJK Diminta Buat Aturan Internal Penolakan Intervensi
Berita

OJK Diminta Buat Aturan Internal Penolakan Intervensi

Agar tetap independen dalam menjalankan tugas dan fungsinya.

FAT
Bacaan 2 Menit
Yunus Husein. Foto: SGP
Yunus Husein. Foto: SGP

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) diminta membuat aturan internal mengenai penolakan intervensi dari pihak lain. Menurut akademisi Yunus Husein, klausul penolakan intervensi ini penting untuk menjaga OJK agar tetap menjadi lembaga yang independen dalam menjalankan semua tugas dan fungsinya.

"Harus ada aturan internal yang melarang intervensi," katanya dalam sebuah seminar di Universitas Indonesia, Depok (11/3).

Mantan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) itu menuturkan, kebanyakan intervensi terjadi dari kalangan politisi yang memiliki kepentingan dengan lembaga tersebut. Kepentingan bisa terwujud dari kalangan politisi yang memiliki saham di bank-bank atau lembaga keuangan lainnya.

"Ada kepentingan, mungkin banknya minta ditolong. Anda perlu awasi secara seksama," ujarnya.

Aturan ini penting karena OJK akan mengemban tugas berat di bidang jasa keuangan. Apalagi, fungsi pengawasan terhadap perbankan yang saat ini dipegang Bank Indonesia (BI), akan beralih ke OJK pada awal 2014. "Awasi bank itu susah apalagi digabung oleh Bapepam-LK," kata Yunus.

Ia menjelaskan, aturan anti intervensi ini penting bagi OJK dalam menjalankan tugasnya seperti yang diterapkan pada BI dan PPATK. Dalam Pasal 4 ayat (2) UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia dinyatakan bahwa BI adalah lembaga negara yang independen, bebas dari campur tangan pemerintah dan atau pihak-pihak lainnya, kecuali untuk hal-hal yang diatur secara tegas dalam UU ini.

Sedangkan dalam UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang terdapat sejumlah ayat yang menjelaskan mengenai kedudukan PPATK yang bebas dari intervensi. Dalam Pasal 37 ayat (1) dinyatakan bahwa PPATK dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya bersifat independen dan bebas dari campur tangan dan pengaruh kekuasaan mana pun.

Sedangkan ayat (3) menjelaskan bahwa setiap orang dilarang melakukan segala bentuk campur tangan terhadap pelaksanaan tugas dan kewenangan PPATK. Di ayat (4) dinyatakan bahwa PPATK wajib menolak dari atau mengabaikan segala bentuk campur tangan dari pihak mana pun dalam rangka pelaksanaan tugas dan kewenangannya.

Sekadar catatan, dalam Pasal 1 ayat (1) UU No. 21 Tahun 2011 tentang OJK dijelaskan mengenai independensi OJK. Pasal itu menyatakan bahwa OJK adalah lembaga independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai tugas, fungsi dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam UU ini.

Deputi Komisioner bidang Edukasi dan Perlindungan Konsumen OJK, Sri Rahayu Widodo, mengatakan pihaknya akan mempelajari masukan yang diberikan oleh Yunus. Menurutnya, OJK yang memiliki visi sebagai lembaga terpercaya akan selalu bersikap profesional dan tak mau diintervensi dari pihak manapun.

“Soal klausul penolakan intervensi harus dipelajari dahulu,” kata Rahayu di tempat yang sama.

Untuk menjembatani hal tersebut, lanjut Rahayu, di OJK terdapat Komite Etik yang menerapkan kode etik kepada pimpinan maupun pegawainya. Komite ini yang akan menerapkan prinsip good governance agar OJK selalu jauh dari intervensi. Sejalan dengan itu, dalam menerapkan kebijakan, di OJK terdapat Deputi Audit Internal dan Risk Management yang bertugas mengkritisi kebijakan sebelum disosialisasikan ke masyarakat.

Meski Ketua Komite Etik dirangkap oleh Wakil Ketua Dewan Komisioner OJK, ia yakin tak akan ada conflict of interset dan pelanggaran etika terkait hasil keputusan OJK. Menurut Rahayu, pengambilan keputusan terhadap dugaan pelanggaran etika selalu diikutsertakan oleh independent member yang berasal dari pihak luar.

Bahkan untuk menerapkan prinsip transparan dan akuntabel, OJK akan menggandeng Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) selaku lembaga yang berwenang mengaudit seluruh kinerja dan laporan keuangan OJK. "Sudah ditanamkan rambu-rambunya sehingga tujuan menjadi lembaga kredibel sudah tertanamkan sejak awal," ujarnya.

Ex Officio

Seperti diketahui, Anggota Dewan Komisoner OJK ada yang berstatus ex officio dari Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan. Menurut Rahayu, keberadaan dua anggota dewan komisioner ex officio ini adalah menyangkut persoalan koordinasi mengenai permintaan informasi dan data.

"Karena anggota dewan komisioner yang ex officio bisa dengan cepat memberikan informasi tentang kebijakan atau langkah apa yang ditempuh di bidangnya," ujar Tahayu.

Meski begitu, pengambilan keputusan tetap berada dalam rapat dewan komisioner yang seluruhnya berjumlah sembilan orang. Dengan begitu, sambung Rahayu, kekhawatiran adanya intervensi tak akan terjadi. "Komunikasi melalui rapat dewan komisioner," katanya.

Rahayu mengingatkan Anggota Dewan Komisioner OJK yang berasal dari lembaga tertentu merupakan hasil dari fit and proper test (uji kelayakan dan kepatutan) yang dilakukan oleh DPR. Menurutnya, kebanyakan orang yang duduk di OJK diambil dari orang yang memiliki kompetensi dan integritas dalam menjalankan tugas dan fungsi OJK selaku regulator dan pengawas jasa keuangan.

"Dari latar belakang kompetensi dan integritas diperlukan orang-orang yang mengerti apa yang dillakukan OJK," pungkasnya.

Tags: