OJK Cabut Tanda Pendaftaran 8 Fintech Lending P2P
Terbaru

OJK Cabut Tanda Pendaftaran 8 Fintech Lending P2P

OJK mengimbau masyarakat untuk menggunakan jasa penyelenggara fintech lending yang sudah terdaftar atau berizin dari OJK.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 3 Menit
Gedung Otoritas Jasa Keuangan di Jakarta. Foto: RES
Gedung Otoritas Jasa Keuangan di Jakarta. Foto: RES

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengumumkan total jumlah penyelenggara fintech peer-to-peer lending atau fintech lending (P2P) yang terdaftar dan berizin di OJK adalah sebanyak 138 perusahaan. Adapun terdapat penambahan satu penyelenggara fintech lending berizin yaitu PT Lumbung Dana Indonesia. Selain itu, terdapat delapan pembatalan tanda bukti terdaftar fintech lending karena penyelenggara tersebut mengembalikan tanda terdaftar.

Daftar perusahaan yang dibatalkan tersebut yaitu PT Arga Berkah Sejahtera, PT Berkah Kelola Dana, PT Danon Digital Nusantara, PT Mitra Pendanaan Mandiri, PT Amanah Karyananta Nusantara, PT Digilend Mobile Nusantara, PT Digital Yinshan Technology, dan PT Finlink Technology Indonesia.  OJK menjelaskan pencabutan tanda daftar tersebut didominasi karena perusahaan fintech tersebut sudah menutup kegiatan usahanya.

“Dengan demikian, jumlah penyelenggara fintech lending berizin dan terdaftar menjadi 138 penyelenggara dengan rincian 57 penyelenggara berizin dan 81 penyelenggara terdaftar,” kata Juru Bicara OJK, Sekar Putih Djarot, Rabu (19/5). (Baca: Waspada, Fintech dan Investasi Ilegal Meningkat Jelang Lebaran)

Sekar mengatakan OJK mengimbau masyarakat untuk menggunakan jasa penyelenggara fintech lending yang sudah terdaftar atau berizin dari OJK. Masyarakat dapat memeriksa legalitas perusahaan fintech tersebut melalui OJK. “Kami mengimbau masyarakat untuk menggunakan jasa penyelenggara fintech lending yang sudah terdaftar/berizin dari OJK. Hubungi Kontak OJK 157 melalui nomor telepon 157 atau layanan whatsapp 081 157 157 157 untuk mengecek status izin penawaran produk jasa keuangan yang Anda terima,” jelas Sekar.

Perlu diketahui, OJK telah memoratorium pendaftaran baru perusahaan fintech P2P. Moratorium tersebut untuk menciptakan ekosistem fintech P2P yang kondusif. Regulasi mekanisme pendaftaran dan perizinan fintech P2P mengacu pada Peraturan OJK Nomor 77 Tahun 2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi. Dalam aturan tersebut, OJK membedakan antara proses pendaftaran dan perizinan. Tahap awal, perusahaan fintech terlebih dulu melalui proses pendaftaran.

Pasal 7 POJK 77/2016 menyatakan penyelenggara wajib mengajukan pendaftaran dan perizinan kepada OJK. Penyelenggara yang telah terdaftar wajib menyampaikan laporan secara berkala setiap tiga bulan untuk periode yang berakhir pada tanggal 31 Maret, 30 Juni, 30 September, dan 31 Desember kepada OJK.

Selanjutnya, penyelenggara yang telah terdaftar di OJK, wajib mengajukan permohonan izin sebagai Penyelenggara dalam jangka waktu paling lama satu tahun sejak tanggal terdaftar di OJK. Dalam hal jangka waktu tersebut telah berakhir, penyelenggara yang telah mendapatkan surat tanda bukti terdaftar dan tidak menyampaikan permohonan perizinan atau tidak memenuhi persyaratan perizinan, surat tanda bukti terdaftar Penyelenggara dinyatakan batal.

Penyelenggara yang surat tanda bukti terdaftarnya dinyatakan batal maka tidak dapat lagi menyampaikan permohonan pendaftaran kepada OJK. Penyelenggara yang surat tanda bukti terdaftarnya dinyatakan batal harus menyelesaikan hak dan kewajiban Pengguna sesuai dalam surat pernyataan rencana penyelesaian. Penyelenggara yang masih terdaftar dan menyatakan tidak mampu meneruskan kegiatan operasionalnya harus mengajukan permohonan kepada OJK disertai dengan alasan ketidakmampuan, dan rencana penyelesaian hak dan kewajiban Pengguna.

Sebelumnya, Deputi Komisioner Edukasi dan Perlindungan Konsumen OJK, Sarjito, menyampaikan pihaknya melalui Satgas Waspada Investasi terus menutup layanan fintech dan investasi ilegal yang bermunculan. Kemudahan teknologi dimanfaatkan pelaku membuat aplikasi dengan mudah, meski berkali-kali diblokir. Khusus investasi ilegal, OJK mencatat kerugian masyarakat mencapai Rp 114.9 triliun sepanjang 2011-2020.

Sarjito mengimbau agar masyarakat menggunakan fintech dan investasi yang berizin dan terdaftar di OJK. Dia menjelaskan masyarakat yang menjadi korban fintech dan investasi ilegal tidak termasuk konsumen yang didefenisikan dalam Undang-Undang No.21 Tahun 2011 tentang OJK.

Meningkatnya kebutuhan masyarakat menjelang lebaran perlu diikuti kewaspadaan agar tidak menjadi korban fintech illegal. “Konsumen adalah pihak-pihak yang menempatkan dananya dan/atau memanfaatkan pelayanan yang tersedia di lembaga jasa keuangan antara lain nasabah pada perbankan, pemodal di pasar modal, pemegang polis pada perasuransian, dan peserta pada dana pensiun, berdasarkan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan,” jelas Sarjito mengutip UU OJK, Selasa (12/4).

Tags:

Berita Terkait