OJK Akan Terapkan SRO Terhadap BMAI
Berita

OJK Akan Terapkan SRO Terhadap BMAI

Agar independensi dalam menangani perselisihan antara perusahaan dengan konsumen tetap terjaga.

FAT
Bacaan 2 Menit
Deputi Komisoner OJK Bidang Pengawasan Industri Keuangan Non Bank II, Dumoli Freddy Pardede. Foto: SGP
Deputi Komisoner OJK Bidang Pengawasan Industri Keuangan Non Bank II, Dumoli Freddy Pardede. Foto: SGP

Belum adanya peraturan pemerintah, peraturan menteri atau undang-undang yang mengatur Badan Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI) membuat lembaga ini berharap banyak pada RUU Usaha Perasuransian yang sedang dibahas di DPR. Menurut Ketua BMAI Frans Lamury, keberadaan RUU tersebut memicu terdapatnya landasan yang jelas bagi BMAI.

Pemicu itu terdapat dalam Pasal 32 ayat (3) RUU Usaha Perasuransian yang sedang dibahas di Komisi XI DPR. Dalam pasal itu disebutkan bahwa lembaga mediasi asuransi harus mendapatkan persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK). “Kita harapkan ada peraturan yang bisa menjadi sandaran keberadaan badan ini, makanya dimasukkan ke dalam RUU Usaha Perasuransian yang sekarang sedang dibahas,” katanya saat dihubungi hukumonline, Senin (4/3).

Terkait hal ini, Deputi Komisioner OJK bidang Pengawasan Industri Keuangan Non Bank (IKNB) II, Dumoli Freddy Pardede, mengatakan meski memperoleh persetujuan dari OJK, lembaga mediasi asuransi tetap bekerja secara independen. Untuk itu, OJK berencana akan menerapkan Self Regulated Organization (SRO) terhadap BMAI.

“Apa yang ada di RUU Asuransi sejalan dengan pandangan OJK khususnya IKNB. Namun mereka tetap bekerja secara independen. (Posisi) Itu sejenis SRO,” kata Dumoli melalui pesan singkatnya kepada hukumonline.

Mekanisme SRO yang akan dilakukan OJK belum bisa diungkapkan. Hal ini dikarenakan RUU Usaha Perasuransian masih dibahas antara pemerintah dengan DPR. Menurut Dumoli, OJK menyambut dengan baik apapun isi yang ada dalam RUU tersebut.

Frans sepakat dengan isi Pasal 32 ayat (3) RUU Usaha Perasuransian. Menurutnya, OJK memiliki otoritas dalam melakukan pengawasan di bidang asuransi. Terkait akan diterapkannya SRO, ia juga mengapresiasinya. Menurut dia, SRO bertujuan untuk menjaga independensi BMAI dalam menangani perkara.

“Kita memang badan yang independen dan tidak dapat dipengaruhi siapapun, kami imparsial tidak membela siapapun, kami menegakkan kebenaran,” kata Frans.

Ia menjelaskan, selama BMAI terbentuk dari tahun 2006, sudah banyak perkara yang ditangani dan putusan yang dikeluarkan. Perkara asuransi yang ada didominasi dengan sengketa antara penanggung dengan tertanggung atau biasa yang disebut sengketa klaim.

Untuk menjalankan fungsinya, BMAI memiliki dua cara. Pertama adalah mediasi, yaitu waktu bertemunya para pihak, konsumen dan perusahaan asuransi. Di proses mediasi ini, kedua pihak saling berbicara dengan ditengahi oleh mediator yang disediakan BMAI.

Dalam proses ini, BMAI tak mengeluarkan keputusannya. Kedua pihak, yakni konsumen dan perusahaan asuransi lah yang boleh membuat keputusan. “Keputusan dibuat oleh para pihak,” ujar Frans.

Jika proses mediasi tak tercapai, lanjut Frans, baru ke tahap selanjutnya yakni proses ajudikasi. Tempat dan waktu proses ini ditentukan oleh BMAI. Di proses ini pula terdapat hakim seperti proses arbitrase. BMAI sendiri yang menyediakan hakimnya. Perbedaan antara ajudikasi di BMAI dengan arbitrase di tempat lain adalah, keputusan yang diambil hakim BMAI hanya mengikat pihak perusahaan saja.

“Kalau putusan arbitrase mengikat kedua-duanya,” ujarnya.

Menurutnya, meski selama ini BMAI didanai oleh industri, setiap keputusan atas penyelesaian sengketa dengan konsumen harus dipatuhi dan mengikat industri. Frans mengatakan, selama ini pihak yang paling banyak mengajukan gugatan ke BMAI adalah konsumen.

Tags: