OCK Minta Tafsir KUHAP dan UU KPK
Berita

OCK Minta Tafsir KUHAP dan UU KPK

OCK mendaftarkan tiga permohonan. Hakim menilai masih ada yang kurang dari substansi permohonan.

ASH
Bacaan 2 Menit
OCK Minta Tafsir  KUHAP dan UU KPK
Hukumonline
Merasa diperlakukan tidak adil atas tindakan projustitia Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), advokat senior OC Kaligis (OCK) yang berstatus terdakwa penyuapan hakim PTUN Medan akhirnya “mengadu” ke Mahkamah Konstitusi (MK). Lewat kuasa hukumnya, OCK menggugat sejumlah pasal dalam UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP dan UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK.

Dalam berkas permohonan terpisah, OCK memohon pengujian Pasal 1 angka 2 KUHAP terkait proses penyidikan guna menemukan tersangka yang teregister No. 108/PUU-XIII/2015. Lalu, Pasal 45 ayat (1) UU KPK terkait status penyidik yang diangkat dan diberhentikan KPK dengan register No. 109/PUU-XIII/2015; dan Pasal 46 ayat (2) UU KPK terkait jaminan hak-hak tersangka dengan tidak mengurangi hak-haknya dengan register No. 110/PUU-XIII/2015.

Dalam sidang perdana, salah satu kuasa hukum OCK, Muhammad Rullyadi menuturkandalam praktiknya, frasa “serangkaian tindakan penyidik” dalam Pasal 1 angka 2 KUHAP menimbulkan multitafsir karena melanggar asas lex certa (kejelasan)dan lex stricta. Menurutnya, ‘serangkaian tindakan penyidik’ harus ditafsirkan secara jelas dan ditafsirkan secara subjektif.

“Pemohon ditangkap di Hotel Borobudur pada 14 Juli 2015 tanpa ada surat perintah penangkapan. Saat dibawa ke Kantor KPK, diperiksa, langsung ditetapkan sebagai tersangka. Apakah sprindik KPK ini sudah memenuhi kaidah ‘serangkaian tindakan penyidik’?” ujar Rully mempertanyakan.

Karena itu, OCK meminta frasa “serangkaian tindakan penyidik” dalam Pasal 1 angka 2 KUHAP inkonstitusional bersyarat sepanjang dimaknai prosedur formal dalam menetapkan tersangka atas suatu perbuatan yang jelas tindak pidananya harus diterangkan dengan jelas.

Demikian pula muatan Pasal 45 ayat (1) UU KPK yang dinilai multitafsir. Dia mempertanyakan status dan kompetensi penyidik (independen) pada KPK. Karena itu, penyidik harus memiliki kompetensi formil yang jelas ditentukan Undang-Undang agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang atas dasar tafsir subjektif.

Norma itu hanya memuat kejelasan formil terkait surat keputusan administratif berupa surat pengangkatan tanpa menjelaskan asal usul atau kriteria penyidik KPK. Menurutnya, aturan itu, sebenarnya tidak memberi kewenangan pimpinan KPK untuk mengangkat penyidik independen, tetapi penegasan bahwa penyidik KPK adalah penyidik pada  kepolisian yang diangkat dan diberhentikan oleh KPK.

“Pasal 45 ayat (1) UU KPK sepanjang frasa ‘penyidik adalah penyidik pada KPK agar dimaknai pengertian penyidik yang diatur dalam Pasal 6 KUHAP (penyidik Polri dan PPNS, red),” ujarnya dalam sidang yang diketuai Wahidudin Adams yang beranggotakan Patrialis Akbar dan Manahan MP Sitompul.

Menanggapi permohonan, Patrialis Akbar mengingatkan pada hakikatnya MK tidak berwenang menafsirkan penerapan sebuah norma undang-undang. MK hanya berwenang menguji konstitusionalitas norma dengan UUD 1945.

“Multitafsir di sini perlu Saudara jelaskan, multitafsir ini oleh siapa? Bagaimana bentuk multitafsirnya, bagaimana tafsir pihak lain? Bagaimana tafsir menurut Saudara? Ini harus Saudara uraikan dalam permohonan,” pinta Patrialis.

Patrialis juga mempertanyakan dalil pemohon yang menyatakan seolah proses penyidikan harus didahului dengan penyelidikan. “Ini kan kasusnya terdakwa OC Kaligis tertangkap tangan? Saudara bisa jelaskan argumentasi ini?” kritiknya.

Wahidudin Adams meminta pemohon menambahkan referensi akademik dalam permohonan agar bisa memperkuat semua petitum pemohon terutama menyangkut definisi. Misalnya, serangkaian tindakan penyidikan dalam Pasal 1 angka 2 KUHAP dan UU KPK. “Definisi operasional ini harus dicari referensinya. Coba dicari referensinya, tidak hanya penjelasan atas dasar kasus,” kritiknya. “Soal status penyidik KPK ini harus dielaborasi lagi, karena penyidik bukan hanya penyidik Polri, tetapi juga Penyidik PNS juga banyak.”

Perkara terpisah
Sidang perkara No. 110/PUU-XIII/2015, pemohon menilai Pasal 46 ayat (2) UU KPK sebenarnya merupakan pemberian jaminan perlindungan hak tersangka. Namun, hak-hak apa saja yang melekat pada tersangka tidak diuraikan lebih lanjut seperti yang diatur dalam KUHAP.

“Padahal, Indonesia sebagai negara hukum menganut prinsip kepastian dan perlindungan terhadap seseorang yang masih berstatus sebagai tersangka,” lanjut Rullyandi dalam persidangan terpisah yang diketuai Aswanto beranggotakan Suhartoyo dan I Dewa Gede Palguna.

“Ada beberapa tindakan KPK lain yang merugikan pemohon, seperti tidak diberikan izin berobat, tidak dikabulkannya permohonan penangguhan penahanan, dan diblokirnya beberapa rekening pemohon,” ungkapnya.

Menurutnya, tidak adanya uraian hak-hak tersebut dalam UU KPK, norma tersebut berpotensi mengabaikan hak tersangka sekaligus merugikan hak konstitusional pemohon sebagai terdakwa. Aturan itu juga berpotensi diartikan secara luas termasuk untuk kepentingan politik.

Dalam petitumnya, pemohon meminta agar norma yang digugat dimaknai “pemeriksaan tersangka” dilakukan dengan tidak mengurangi hak tersangka yang dijamin dalam KUHAP khususnya hak untuk mengajukan hak penangguhan penahanan.

Hakim Konstitusi Aswanto menganggap kalau dalam UU KPK tidak mengatur secara khusus terkait hak-hak tersangka, sehingga rujukannya mengacu pada KUHAP. Sebab, tidak mungkin semua yang ada KUHAP akan dimasukkan kembali dalam UU KPK. “Jadi, hak-hak tersangka dalam Pasal 46 UU KPK memang tidak ada penjelasannya. bukannya itu ada di Pasal 59 KUHAP?” kritik Aswanto.

Dia menyarankan apabila pemohon ingin fokus pada penangguhan penahanan, maka permohonannya harus dipertajam. Sejauh mana aturan penangguhan tidak diatur UU KPK dan aturan tersebut tidak diatur dalam KUHAP. “Ini yang seharusnya Saudara elaborasi!”
Tags:

Berita Terkait