OC Kaligis Gugat Artidjo Alkostar Rp 1 Triliun, Ini Putusannya
Utama

OC Kaligis Gugat Artidjo Alkostar Rp 1 Triliun, Ini Putusannya

Namun, gugatan ini ditolak PN Jakarta Pusat hingga tingkat Banding. Gugatan ini berlanjut dan masih dalam proses kasasi di MA.

Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Hukumonline
Hukumonline

Di sela-sela proses pemeriksaan kasasi perkara korupsi, Otto Cornelis (OC) Kaligis melayangkan gugatan perdata kepada mantan Hakim Agung Artidjo Alkostar di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat pada 1 Juli 2016. Tuntutannya, Artidjo dianggap telah melakukan perbuatan melawan hukum (PMH). Karenanya, OC Kaligis menuntut ganti kerugian hingga lebih Rp1 triliun dalam petitum gugatannya. 

 

Pangkal persoalannya, Artidjo selaku ketua majelis kasasi yang dimohonkan OC Kaligis, telah memperpanjang masa penanahan setelah putusan kasasi dibacakan. Selain itu, Artidjo tidak mengizinkan OC Kaligis pergi berobat dan dirawat inap di rumah sakit yang dianggap melanggar hak asasi manusia (HAM). Dalam putusan kasasinya, hukuman OC Kaligis diperberat menjadi 10 tahun penjara dari sebelumnya 7 tahun penjara di tingkat banding. (Baca Juga: OC Kaligis: Kok Gue Kena 10 Tahun, Artidjo Pilih Kasih)

 

Namun, gugatan OC Kaligis ini ditolak Majelis Hakim PN Jakarta Pusat yang diketuai Sumpeno beranggotakan Yohanes Priyana dan Casmaya, “Menolak eksepsi Tergugat dan menolak gugatan Penggugat untuk seluruhnya. Menghukum Penggugat untuk membayar biaya perkara sebesar Rp616.000,00,” demikian bunyi amar Putusan No. 500/Pdt.G/2016/PN Pn.Jkt.Pst tertanggal 29 Maret 2017. Dalam gugatan ini, OC Kaligis diwakili tim kuasa hukumnya yakni Ratna Dewi, Desyana, Ramadi R. Narima, Eka Sumaryani, Gabriel Mukuan, Yuliana, dan Mety Rahmawati.

 

Mengutip gugatan OC Kaligis, Artidjo (Tergugat) dituding telah melakukan PMH dengan memperpanjang penahanan Penggugat (OC Kaligis) selama 30 hari setelah perkara kasasinya diputus pada 10 Agustus 2016. Padahal, Artidjo tidak berwenang memperpanjang masa penahanan OC Kaligis di rumah tahanan KPK setelah vonis kasasi dibacakan yang memperberat hukuman OC Kaligis menjadi 10 tahun penjara dalam kasus korupsi.

 

Menurut OC Kaligis, sejak terbitnya putusan kasasi pada 10 Agustus 2016 itu, dirinya sudah berstatus terpidana dan warga binaan. Dan pada 16 Agustus 2016 telah menerima petikan putusan kasasi. Hanya saja, dirinya masih ditahan di rumah tahanan Guntur KPK yang umumnya menampung pada terdakwa korupsi, bukan terpidana.

 

“Berdasarkan Pasal 28 jo Pasal 29 KUHAP baik judex jurist maupun judex factie, Tergugat tidak berwenang memperpanjang masa penahanan lagi. Artidjo telah melakukan PMH dan ‘menabrak’ hukum acara karena yang berwenang memperpanjang penahanan di tingkat kasasi adalah Ketua MA guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai,” demikian gugatan OC Kaligis sebagaimana dikutip dalam putusan.  

 

Selain itu, sejak 16 Juni 2016, OC Kaligis beberapa kali mengajukan permohonan izin berobat kepada Ketua MA dengan surat rujukan dari RSPAD dan dokter KPK agar dirawat inap. Akan tetapi, Artidjo sama sekali tidak mengeluarkan penetapan izin rawat inap. Hal ini bentuk PMH yang melanggar Pasal 1365 KUHPerdata.  

 

Karenanya, OC Kaligis menuntut ganti kerugian materil akibat PMH yang dilakukan Artidjo karena tidak mengeluarkan penetapan izin rawat inap sebesar Rp1 miliar. Sedangkan, tuntutan kerugian immaterial baik waktu, tenaga dan pikiran yang tidak dapat diukur dengan uang sebesar Rp1 triliun. Termasuk, meminta majelis hakim menghukum Tergugat membayar uang paksa (dwangsom) sebesar Rp 100 juta setiap harinya jika terlambat melaksanakan isi putusan dalam gugatan ini.

 

Sementara jawaban atas gugatan ini, Artidjo yang diwakili tim kuasa hukumnya dari MA, dalam eksepsinya berdalih hakim tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kesalahannya dalam melaksanakan tugas peradilan sesuai Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 9 Tahun 1976 jo SEMA No. 4 Tahun 2002 tentang Gugatan Terhadap Pengadilan dan Hakim. Karenanya, gugatan ini dinilai salah pihak (error in persona).

 

Selain itu, sesuai Pasal 1 dan Pasal 2 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman disebutkan kesalahan hakim dalam bertugas bukan alasan untuk digugat perdata terhadap hakim yang bersangkutan. Karenanya, Pasal 1365 KUHPerdata tidak dapat diterapkan terhadap hakim saat melaksanakan tugas peradilan.

 

Dalam pertimbangannya, Majelis menganggap perpanjangan penahanan kepada atasan sesuai Pasal 28 KUHAP untuk menghindari kevakuman masa penahanan. Sebab, bila tidak disiasati dengan memperpanjang penahanan akan menimbulkan kesulitan dalam praktek. Menurut Majelis, adanya putusan kasasi yang telah dijatuhkan, maka penetapan perpanjangan menjadi tidak berlaku.

 

Majelis menilai tidak ada kerugian yang dialami oleh Penggugat/Terdakwa meskipun pidana yang dijatuhkan di tingkat kasasi lebih berat daripada hukuman sebelumnya. Sebab, masa penahanan yang dijalani diperhitungkan selanjutnya untuk mengurangi lamanya hukuman pidana yang dijatuhkan. “Karena itu, Tergugat tidak memenuhi kualifikasi sebagai PMH,” tegas Majelis dalam pertimbangan putusannya.

 

Bagi Majelis, Artidjo tidak berkehendak menghalangi dengan tidak memberi izin Terdakwa untuk rawat inap. Sebab, permohonan pemeriksaan kesehatan rawat inap ini, OC Kaligis tidak melampirkan bukti-bukti surat dari pihak berkompeten untuk dijadikan rujukan penetapan izin rawat inap. Tidak dikabulkannya permohonan izin rawat inap ini menjadi keputusan kolegial majelis hakim, sehingga tidak tepat hanya ditujukan kepada Tergugat.

 

Tidak puas dengan putusan PN Jakarta Pusat ini, OC Kaligis mengajukan banding yang diregistrasi Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta pada 18 Juli 2017. Akan tetapi, permohonan banding OC Kaligis pun kandas. Majelis PT DKI Jakarta yang diketuai James Butar-Butar beranggotakan Dahlia Brahmana dan Achmad Yusak memutuskan untuk menguatkan putusan PN Jakarta Pusat.     

 

“Menerima permohonan banding dari Pembanding semula Penggugat tersebut dan menguatkan Putusan PN Jakarta Pusat No. 500/Pdt.G/2016/PN.Jkt.Pst. Serta, menghukum penggugat untuk membayar biaya perkara dalam kedua tingkat peradilan, yang dalam tingkat banding ditetapkan sejumlah 150 ribu rupiah,” demikian bunyi amar Putusan No. 440/PDT/2017/PT.DKI.

 

Masih belum puas, OC Kaligis melayangkan permohonan kasasi yang teregistrasi pada 25 April 2018 dengan Perkara No. 1397 K/PDT/2018. Majelis hakim yang memeriksa perkara ini adalah Sudrajat Dimyati selaku ketua majelis dan Ibrahim dan Syamsul Ma’arif sebagai anggota majelis. Permohonan kasasi ini masih dalam proses pemeriksaan.

 

Salah satu kuasa hukum OC Kaligis, Desyana mengatakan alasan OC Kaligis mengajukan permohonan kasasi karena dalam putusan banding, dalil dan fakta yang diajukan OC Kaligis tidak dipertimbangkan Majelis. Karena itu, ia menilai PT DKI Jakarta telah salah dan keliru menjatuhkan putusan yang menolak gugatan.

 

“Putusan ini tidak berdasarkan fakta yang terungkap di persidangan termasuk pendapat ahli. Untuk itu, kami mengajukan kasasi terhadap putusan banding,” kata Desy saat dikonfirmasi Hukumonline.

 

Menanggapi jawaban/tanggapan tim kuasa hukum Artidjo yang menganggap tindakannya merupakan hak subjektif seorang hakim, menurutnya dalil tersebut telah dipatahkan oleh ahli yang diajukan penggugat/pemohon kasasi yang diajukan di muka persidangan. “Intinya, ahli berpendapat tidak ada yang namanya subjektif,” katanya.

 

Hukumonline.com

Desyana (kiri) dan Darmoko Yuti Witanto (kanan). Foto: Istimewa

 

Sementara salah satu kuasa hukum Artidjo, Hakim Yustisial di MA, Darmoko Yuti Witanto mengakui dirinya telah menjadi kuasa hukum Artidjo dari tingkat pertama hingga banding. “Saat ini, masih dalam proses permohonan kasasi dan masih dalam proses pemeriksaan majelis hakim,” kata Witanto.

 

Seperti diketahui, dalam perkara korupsi (suap) di PTUN Medan, Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat menjatuhkan OC Kaligis hukuman pidana penjara selama 5,5 tahun karena terbukti menyuap Ketua PTUN Medan Tripeni Irianto Putro, bersama dua hakim lain melalui  anak buahnya M. Yagari Bhastara Guntur alias Gerry. Kasus ini terjadi saat OC Kaligis membela kliennya, mantan Gubernur Sumatera Utara, Gatot Pudjo Nugroho dalam kasus korupsi dana bantuan sosial atau bansos Sumut.

 

Putusan ini diperberat lagi oleh Majelis Hakim PT DKI Jakarta dengan hukuman 7 tahun penjara. Kemudian, OC Kaligis mengajukan kasasi ke MA yang diketuai oleh Majelis Hakim Artidjo dan putusannya lebih diperberat menjadi 10 tahun pidana penjara. Namun akhirnya, Majelis Peninjauan Kembali (PK) memangkas vonis kasasi OC Kaligis kembali menjadi 7 tahun penjara. Baca Juga: Alasan Lanjut Usia, MA ‘Pangkas’ Vonis OC Kaligis

Tags:

Berita Terkait