Obral Fatwa Dapat Turunkan Wibawa MA
Fokus

Obral Fatwa Dapat Turunkan Wibawa MA

Belakangan ini, MA mengeluarkan beberapa fatwa yang bukan ditujukan pada lembaga tinggi negara. Fatwa bisa dianggap angin lalu jika tidak sesuai dengan keinginan lembaga tinggi negara itu. Namun, seringnya MA mengeluarkan fatwa kepada semua pihak mengesankan obral fatwa dan menurunkan kewibawaan MA.

Nay/APr
Bacaan 2 Menit

Namun saat ini, ternyata MA malah memberi pendapat hukum pada lembaga-lembaga lain yang bukan lembaga tinggi negara. Bahkan dalam kasus Abdul Gafur, fatwa bukan diminta oleh DPRD sebagai suatu lembaga, melainkan oleh 23 orang anggota DPRD Maluku Utara yang merupakan pendukung Abdul Gafur dan Yamin Tawari. Tidak jelas apakah keduapuluh tiga orang tersebut dianggap oleh MA sebagai representasi dari DPRD.

"Fatwa" MA

Masalah yang lebih mendasar adalah ketidakjelasan mengenai apa yang sebenarnya dimaksud dengan fatwa MA. Yang baru jelas diatur saat ini adalah pendapat hukum MA yang diatur dalam pasal 37 UU No 14 Tahun 1985. Padahal selain pendapat hukum yang diatur dalam UU itu, MA banyak memberikan pendapat hukum dengan berbagai cara.

Ada pendapat hukum MA yang diberikan dalam koridor pengawasan terhadap pengadilan-pengadilan di bawahnya. Ada pula pendapat hukum yang dikeluarkan MA dalam rangka mengisi kekosongan hukum. Juga pendapat hukum sebagai fungsi administrasi di dalam lembaga sendiri.

Saat ini, semua pendapat hukum MA di luar yang dimaksud dalam pasal 37, baik pendapat hukum dalam fungsi pengawasan, fungsi administrasi atau untuk mengisi kekosongan hukum, semua dimasukkan dalam suatu keranjang yang diberi label fatwa MA.

Ada beberapa alasan mengapa orang meminta pendapat hukum pada MA. Alasan pertama adalah karena tidak ada kepastian hukum. Putusan MA yang berbeda-beda untuk suatu hal yang sama misalnya, membuat tidak adanya kepastian hukum. Kedua adalah karena adanya kekosongan hukum. Ketika terjadi kekosongan hukum, MA biasanya memberikan pendapat sebatas untuk hal-hal yang bersifat prosedural.

Ketiga, adanya kebingungan hakim atau  pihak lain dalam menafsirkan hukum. Mereka biasanya bertanya pada MA mengenai penafsiran hukum atau hakim menanyakan suatu hal yang ia tidak tahu. Biasanya terhadap hal-hal yang banyak ditanyakan oleh hakim kepada MA, MA membuat suatu surat Edaran MA (SEMA) mengenai hal tersebut.

Masalah akan muncul jika persoalan yang diberikan fatwanya oleh MA itu kemudian kasusnya dibawa ke pengadilan. Bukan tidak mustahil MA akan membuat keputusan yang berbeda dengan fatwa yang telah ia berikan, sehingga akan menimbulkan permasalahan yang lebih besar.

Halaman Selanjutnya:
Tags: