Nindya Karya Terancam Tunda Bayar Ketiga
Berita

Nindya Karya Terancam Tunda Bayar Ketiga

Enggan dituduh memiliki iktikad tidak baik mengajukan PKPU.

HRS
Bacaan 2 Menit
Nindya Karya Terancam Tunda Bayar Ketiga
Hukumonline

Meskipun sudah diputus tidak dapat diterima dua kali, langkah PT. Uzin Utz Indonesia (UUI) untuk mem-PKPU-kan PT Nindya Karya (Persero) tak surut. Upaya PKPU ketiga ditempuh demi mendapatkan piutang sebesar Rp327.734.000. Permohonan PKPU ini kembali didaftarkan dengan nomor 65/PDT.SUS-PKPU/2013/PN.Niaga.Jkt.Pst pada 1 Oktober 2013.

Walaupun pengajuan permohonan PKPU diajukan untuk ketiga kalinya, UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) tidak mengenal asas ne bis in idem. Hal ini dapat dilihat dari Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Surabaya No. 15/Pailit/2012/PN.Niaga.Sby tanggal 2 Agustus 2012 yang dikuatkan dengan putusan MA No. 703/K/Pdt.Sus/2012 dan putusan No. 10 K/N/1999 tertanggal18 Mei 1999.

Intisari dari dua putusan tersebut menyatakan perkara kepailitan dan PKPU tidak dikenal asas ne bis in idem. Pasalnya, bentuk perkara kepailitan dan PKPU adalah sebuah permohonan, bukanlah gugatan. Untuk itu, permohonan PKPU UUI tidak ne bis in idem.

Upaya terus mem-PKPU-kan Nindya Karya lantaran hingga kini UUI mengklaim belum juga menerima pembayaran piutang dari perusahaan bidang kontruksi plat merah tersebut. Jikapun Nindya Karya mengaku telah mengirimkan surat kepada Pengadilan Negeri Jakarta Utara perihal penitipan dan penyimpanan pembayaran (konsinyasi) utang tersebut, hingga kini UUI belum menerima surat apapun terkait konsinyasi itu.

“Intinya consignatie tersebut abal-abal. Consignatie-nya belum ada atau belum sah sebagaimana diatur dalam Pasal 1405 dan Pasal 1406 KUH Perdata,” ujar kuasa hukum UUI, Ivan Wibowo, Rabu (02/10).

Ivan meminta majelis hakim lebih jeli memeriksa perkara ini. UUI enggan dikatakan tidak memiliki iktikad baik dalam menyelesaikan perkara utang piutang ini lantaran menolak pembayaran yang dilakukan Nindya Karya.

Penolakan pembayaran tersebut dilakukan karena Pasal 245  jo Pasal 45 UU Kepailitan memang melarang untuk melakukan pembayaran kepada salah satu kreditor setelah ada permohonan PKPU. Sehingga, Pemohon PKPU tidak menerima upaya pembayaran yang dilakukan oleh Termohon PKPU tersebut karena ingin taat kepada hukum. “Kami ingin menerima uang pembayaran asalkan tidak melanggar hukum. Oleh karena itu, kami ajukan PKPU ini agar bisa menerima uang sesuai dengan hukum yang berlaku,” lanjutnya.

Memperkuat dalil permohonan PKPU-nya, Ivan menegaskan kembali bahwa permohonan PKPU terhadap Nindya Karya tidak harus dilakukan lewat Menteri Keuangan sebagaimana diatur dalam Pasal 223 UU Kepailitan.

PKPU terhadap Nindya Karya ini dapat dimohonkan oleh siapa saja sebab berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 69 Tahun 2012 tentang Perubahan Struktur Kepemilikan Saham Negara Melalui Penerbitan Saham Baru pada Perusahaan Perseroan (Persero) PT. Nindya Karya (“PP 69/2012”), kepemilikan negara hanya 1%, sisanya dipegang oleh PT Perusahaan Pengelolaan Aset (Persero).

“Dengan demikian, BUMN yang berbentuk Persero menurut hukum dipersamakan dengan Perseroan Terbatas pada umumnya sebagaimana diatur dalam Pasal 11 UU BUMN,” pungkasnya.

Ne Bis in Idem

Terkait dengan asas ne bis in idem, pengajar hukum kepailitan Fakultas Hukum Universitas Indonesia Teddy A Anggoro menyatakan pada prinsipnya semua penegakan hukum mengenal asas ne bis in idem. Hanya saja, untuk perkara kepailitan dan PKPU memang sulit untuk menerapkan asas ini karena kreditornya cukup banyak.

Meskipun susah, Teddy menegaskan seharusnya kepailitan dan PKPU mengenal asas ne bis in idem karena para pihak dan objek perkaranya sama. Kecuali jika permohonan tersebut diajukan kembali oleh pihak yang berbeda atau permohonan tersebut dinyatakan tidak dapat diterima, permohonan dapat diajukan kembali.

Teddy memahami memang ada yurisprudensi mengatakan tidak dikenal prinsip ne bis in idem di permohonan PKPU dan kepailitan lantaran bentuk perkaranya berupa permohonan, tetapi Teddy mengungkapkan ada rasio tidak diaturnya secara eksplisit mengenai asas itu. Rasio hukumnya pemohon dan objek yang dimohonkan sama sehingga ketika permohonan telah sekali dimohonkan, harusnya perkara tersebut selesai.

“Tidak tepat jika perkara kepailitan dan PKPU ini tidak mengenal asas ne bis in idem karena prinsip dasar perdata itu mengenal asas ne bis in idem sebagaimana diatur dalam Pasal 1917 KUHPerdata,” tutur Teddy ketika dihubungi hukumonline, Rabu (2/10).

Ketidaktepatan tersebut karena dosen muda FHUI ini juga melihat kepailitan dan PKPU tidak murni permohonan. Ada nuansa sengketa dalam permohonan kepailitan dan PKPU tersebut. Alhasil, asas ini harusnya diterapkan dan majelis hakim harusnya menolak permohonan tersebut.

“Harusnya ditolak. Hakim juga harus memikirkan perekonomian atau iklim investasinya. Kalau perusahaan tersebut berkali-kali menghadapi persoalan hukum yang sama, itu dapat menganggu jalannya investasi,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait