Niat Revisi Berujung Interpretasi
Kolom

Niat Revisi Berujung Interpretasi

Revisi lebih tepat jika dibandingkan dengan mengeluarkan interpretasi yang dibuat oleh suatu lembaga.

Bacaan 7 Menit
Mona Ervita. Foto: Istimewa
Mona Ervita. Foto: Istimewa

Presiden  Joko Widodo pada hari Senin tanggal 15 Februari 2021 melakukan rapat tertutup dengan pimpinan TNI dan Polri di Istana Negara, menyatakan bahwa Pemerintah akan membuka ruang untuk duduk bersama dengan DPR RI dalam melakukan merevisi pasal yang terdapat di UU Informasi dan Transaksi Elektronik (selanjutnya disebut dengan UU ITE). Niat baik yang disampaikan oleh Presiden Jokowi merupakan angin segar yang di mana banyaknya laporan yang masuk di Kepolisian terkait adanya tindak pidana defamasi atau pencemaran nama baik dan menyebarkan ujaran kebencian terhadap kelompok tertentu.

Berdasarkan data dari Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFENet) sepanjang tahun 2020, sebanyak 35 kasus masyarakat terjerat pasal karet UU ITE. Pasal yang kerap kali dilaporkan paling banyak adalah Pasal 28 ayat (2) dan Pasal 27 ayat (3) UU ITE. Beberapa di antara orang yang dilaporkan dengan menggunakan kedua pasal ini adalah, aktivis, jurnalis, masyarakat sipil, hingga akademisi.

Jika melihat skor kebebasan sipil Indonesia berdasarkan data dari Freedom House, sepanjang tahun 2014-2019 mendapatkan peringkat 3.0 dengan skor 64 hingga 62. Artinya, kebebasan sipil di Indonesia dinilai tidak cukup bebas dalam mengemukakan pendapat bahkan masyarakat takut untuk berpendapat. Dilihat pula dengan beberapa kebijakan yang dituangkan dalam undang-undang, seperti UU ITE, beberapa pasal yang dinilai dapat diintepretasi dan mudah dilaporkan secara subjektif. Berdasarkan data tersebut pula, tentunya Presiden Jokowi dalam pernyataannya, melakukan wacana untuk merevisi UU ITE.

Pernyataan Presiden tersebut memberikan respons bagi jajaran-jajaran di bawahnya, seperti yang diungkapkan oleh Menteri Komunikasi dan Informasi (Menkominfo) Jhonny G Plate yang menyebutkan, pemerintah akan segera menyusun pedoman interpretasi resmi terhadap UU ITE. Selain Menkominfo, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo akan membentuk Virtual Police di Direktorat tindak Pidana Siber Bareskrim Polri untuk memantau kasus-kasus di dunia digital dan menekan penggunaan pasal dalam UU ITE.

Pasal yang Perlu Direvisi

Menurut Penulis, Pasal 27 ayat (3) dan 28 ayat (2) UU ITE, bukan saja yang menjadi fokus pasal yang perlu direvisi. Beberapa pasal yang berkaitan dengan pembungkaman kebebasan berpendapat adalah sebagai berikut:

  1. Pasal 26 ayat (3) tentang Penghapusan Informasi dan Dokumentasi Elektronik.

Definisi “tidak relevan” tersebut tidak memberikan pengertian yang tepat dan jelas sebagaimana yang dimaksudkan. Pasal ini digunakan untuk sensor informasi dan wajib dikenakan pada setiap Penyelenggara Sistem Elektronik. Pasal ini kiranya perlu direvisi dengan memberikan definisi yang jelas mengenai batasan apa saja terkait informasi atau dokumen yang tidak relevan itu seperti apa.

  1. Pasal 27 ayat (1) tentang Penyebaran Konten yang Memuat Kesusilaan.

Pasal ini pernah menjerat seorang guru di Mataram, Nusa Tenggara Barat, Baiq Nuril yang di mana ia merupakan korban kekerasan seksual yang dilakukan oleh atasannya. Baiq Nuril divonis bersalah karena telah menyebarkan konten yang memiliki muatan melanggar kesusilaan berupa rekaman percakapan Baiq Nuril dan pelaku. Pasal ini tidak menjelaskan secara eksplisit mengenai apa saja muatan yang melanggar kesusilaan.

  1. Pasal 27 ayat (3) tentang Defamasi (Pencemaran Nama Baik).

Pada prinsipnya norma dalam Pasal 27 ayat (3) rujukannya adalah Pasal 310-311 KUHP adalah terkait parameter atau kategorisasi tindakan yang digolongkan sebagai pencemaran nama baik. Seharusnya Pasal 27 ayat (3) ini dicabut, karena tidak memiliki rigid unsur muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. Dalam pelaksanaan implementasinya, Pasal ini kerap dijadikan kriminalisasi dalam hal mengkritik sebuah produk atau jasa (sifatnya konsumen). Seperti yang dialami oleh seorang komika, Acho yang mengulas review apartemen di Jakarta dalam blognya.

  1. Pasal 28 ayat (2) tentang Ujaran Kebencian.

Aktivis sekaligus musisi, Jerinx mengalami vonis dari majelis hakim Pengadilan Negeri Denpasar karena dianggap menyebarkan rasa kebencian terhadap organisasi Ikatan Dokter Indonesia setelah mengkritik di media sosialnya mengenai vaksin, hingga Jerinx mengeluarkan caption “IDI Kacung WHO”. Selain itu, penerapan pasal ini juga dialami oleh seorang Jurnalis yang berasal dari Banjarmasin, Diananta P Sumedi setelah ia menulis mengenai konflik lahan yang ada di Kabupaten Kota Baru, Kalimantan Selatan. Pasal ini dianggap karet, karena tidak menjelaskan frasa “antargolongan” atau dapat ditafsirkan secara luas. Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 76/PUU-XV/2017 tentang perluasan tafsir frasa antara golongan, yaitu tidak hanya meliputi suku, agama, dan ras, melainkan meliputi lebih dari itu, yaitu semua entitas yang tidak terwakili atau terwadahi oleh suku, agama dan ras. Bahkan, kerap kali pelapor melaporkan dalam mewakili suatu badan hukum yang semestinya badan hukum tidak memiliki “rasa” yang tidak dapat dicemari.

  1. Pasal 29 tentang Ancaman Kekerasan.

Hasil putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1/PUU-XI/2013 harus merujuk pada Pasal 335 ayat (1) KUHP, yang menjelaskan “Barang siapa secara melawan hukum memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu, dengan memakai kekerasan atau dengan memakai ancaman kekerasan, baik terhadap orang itu sendiri maupun orang lain". Memang Pasal ini dinilai dapat menjadi multitafsir, sebagaimana pernah dialami oleh 12 Mahasiswa yang membuat somasi kepada Rektor ISTN yang membuat somasi karena dicutikan secara akademik karena telat membayar uang kuliah. Rektor menganggap somasi tersebut merupakan sebuah ancaman.

  1. Pasal 36 tentang Kerugian.

Ketika Pasal 27 hingga 34 dapat di junto-kan dengan Pasal 36 UU ITE karena perbuatan tersebut dapat diterapkan secara formil dan/atau materiil, maka ancamannya lebih berat yaitu 10 tahun pidana penjara. Namun, Pasal ini tidak menjelaskan secara rigid mengenai apakah bentuk kerugian tersebut adalah kerugian secara materiil maupun imateriil. Lalu bagaimana pembuktian kerugian tersebut, dan tidaklah tepat jika melalui jalur hukum pidana.

  1. Pasal 40 ayat 2 huruf a tentang Kewajiban Pemerintah Melakukan Pencegahan Penyebarluasan dan Penggunaan Informasi/Dokumen Elektronik.

Pasal ini tidak dijelaskan secara rigid mengenai muatan yang dilarang seperti apa yang diatur dalam perundang-undangan. Kerap kali Pemerintah melakukan pencegahan terkait berita yang dianggap hoax namun secara fakta benar. Hal ini melanggar hak atas untuk mendapatkan informasi.

  1. Pasal 40 ayat 2 huruf b tentang Kewenangan Pemerintah dalam Melakukan Pemutusan Akses Internet.

Pasal ini jelas memberikan kewenangan kepada Pemerintah dalam melakukan tindakan pemutusan akses internet yang bermuatan melanggar hukum. Pemerintah sebagai lembaga eksekutif tidak semestinya sebagai lembaga yudikatif seperti pengadilan dalam melakukan pemutusan akses internet. Tidaklah tepat jika kewenangan ini diberikan oleh Pemerintah dan pelaksanaannya tidak menggunakan asas due process of law. Selain itu, unsur muatan yang melanggar hukum juga tidak dijelaskan secara rigid, atau tafsirannya masih sangat luas dan bisa diintepretasikan.

Melindungi Kegiatan Transaksi Elektronik

UU ITE muncul keberadaannya di tahun 2008 dan sempat diubah dengan UU Nomor 18 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE. Seiring perkembangan dunia teknologi di berbagai sektor seperti perdagangan, ekonomi dan lain-lain dapat dilakukan dengan mudah. Maka, kegiatan bisnis yang berbasis transaksi seperti layanan ATM, pinjaman online, mobile banking, dan lain-lain membutuhkan sebuah landasan hukum dalam melakukan traksaksi jual beli agar terciptanya kepastian hukum dan perlindungan hukum.

Keberadaan UU ITE awalnya diharapkan memberikan koridor dalam dunia maya atau cyber space khususnya kehadiran pengaturan transaksi elektronik. Namun nyatanya beberapa pasal di dalam UU ITE ini semakin rancu ketika adanya pasal yang dapat membungkam kebebasan berpendapat. Memang, konsep dalam pemidanaan di Indonesia memiliki tiga aspek kepentingan, yaitu negara, masyarakat dan individu. Dalam aspek kepentingan individu, negara berkepentingan dalam melindungi hal yang berkaitan dengan nyawa, properti dan martabat seseorang.

Kebebasan berpendapat merupakan bagian dari kebebasan berekspresi yang dijamin hak-haknya dalam Konvenan Hak-Hak Sipil dan Poltik (International Convenant on Civil and Political Rights/ ICCPR) sebagaimana disebutkan dalam Pasal 19 yang menyatakan bahwa, setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat, dalam hak ini termasuk kebebasan memiliki pendapat tanpa gangguan, dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan informasi dan buah pikiran melalui media apa saja dengan tidak memandang batas-batas wilayah.

Kebebasan berpendapat juga diatur dalam konstitusi. Pasal 28F UUD 1945 menyebutkan, “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembakan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.”

Walaupun kebebasan berpendapat merupakan konsep derogable rights yaitu hak-hak yang boleh dikurangi atau dibatasi pemenuhannya oleh negara. Namun, pemenuhan hak tersebut sebanding ketika tidak terjadinya diskriminatif. Pengurangan hak asasi dalam Konvenan Sipol memiliki persyaratan yang rigid. Pembatasan kebebasan berekspresi di dunia maya dapat dibatasi untuk menjaga objektivitas, sebagaimana merujuk pada doktrin balanced test atau three past test atau uji kumulatif yaitu, pertama, adanya aturan hukum yang mengatur dengan prinsip prediktabilitas dan transparansi; kedua, melindungi hak atau reputasi orang lain dalam melindungi keamanan nasional atau ketertiban umum, kesehatan, atau moral masyarakat (prinsip legitimasi); dan ketiga harus dibuktikan secara proposionalitas.

UU ITE Perlu Direvisi Segera

Political will yang diutarakan oleh Presiden tersebut kiranya perlu diwujudkan dalam bentuk revisi. Memang kewenangan revisi UU dilakukan bersama DPR. Jika Presiden benar-benar serius dalam melakukan revisi ini, seharusnya Presiden mengeluarkan Perppu UU ITE sebagai desakan untuk merevisi bersama Pemerintah dan DPR. Berbagai pernyataan juga muncul dari pihak Kemkominfo yang mengatakan bahwa, sebaiknya dibuat sebuah pedoman interpretasi resmi UU ITE.

Menurut Penulis, konteks dalam perundang-undangan tidak ada metode intepretasi yang merupakan turunan dari norma suatu peraturan. Intepretasi atau penjelasan dituangkan dalam perundang-undangan, maka revisi lebih tepat jika dibandingkan dengan mengeluarkan interpetasi yang dibuat oleh suatu lembaga. Selain itu juga, perlunya Pemerintah bersama DPR untuk merevisi pasal karet di UU ITE bersama dengan melibatkan partisipasi publik yaitu bersama Komnas HAM yang merupakan lembaga yang concern terhadap hak kebebasan sipil dan politik dan korban-korban yang mengalami kriminalisasi UU ITE.

Selain itu, respons Kapolri dalam membentuk Virtual Police untuk mengedukasi masyarakat di dunia maya dapat membatasi ruang kebebasan berpendapat. Konsepnya memang bukan tujuan pemidanaan, namun lebih ke preventif dalam bentuk peneguran. Menurut Penulis, dengan adanya virtual office, masyarakat akan takut ketika mengemukakan pendapatnya di media sosial, karena merasa diawasi oleh aparat penegak hukum.

Selain itu, dengan adanya Virtual Office ini ada potensi abuse of power bagi orang-orang yang kritis dalam mengkritik Pemerintah dan jika dianggap berseberangan, maka dapat dikriminalisasi dengan UU ITE. Sebaiknya dengan peran kepolisian di ranah siber, lebih melindungi bagi korban-korban yang berkaitan dengan perlindungan konsumen seperti pinjaman online, penipuan online, dan kekerasan gender berbasis online.

*)Mona Ervita, Peneliti Lembaga Bantuan Hukum Pers Jakarta.

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait