Ngadinah: Dari Buruh Pabrik Jadi “Lawyer
Edsus Akhir Tahun 2010:

Ngadinah: Dari Buruh Pabrik Jadi “Lawyer

Mengadu nasib ke Jakarta bermodalkan ijazah SD.

IHW
Bacaan 2 Menit
Ngadinah. Foto: IHW
Ngadinah. Foto: IHW

Sinar matahari tak lagi menyengat sore hari itu, 13 Agustus 2009, di pelataran gedung Pengadilan Hubungan Industrial Jakarta, Jalan MT. Haryono, Jakarta Selatan. Tapi teriakan perempuan berkerudung itu masih sanggup membakar semangat ratusan buruh perempuan PT Megariamas Sentosa yang ada di hadapannya.

 

“Kita kawal terus agar putusan majelis hakim yang telah memenangkan kita ini tak cuma berarti di atas kertas,” teriak perempuan pemilik nama Ngadinah itu. Orasi Ngadinah ini disambut sukacita oleh para buruh yang memproduksi pakaian dalam perempuan dengan berbagai merek terkenal itu. Mereka bersukaria karena sebelumnya majelis hakim PHI Jakarta memerintahkan perusahaan untuk mempekerjakan kembali mereka.

 

Ngadinah tak hanya piawai berorasi. Sebelumnya, di ruang persidangan, ia duduk sebagai kuasa hukum sekira 400-an buruh yang bertindak sebagai penggugat. Maklum, posisinya sebagai pengurus pusat bidang Hukum dan HAM Gabungan Serikat Buruh Independen (GSBI), memungkinkan dirinya bertindak sebagai kuasa hukum buruh.

 

“Tapi dalam kasus PT Megariamas Sentosa kami juga sangat dibantu oleh tim kuasa hukum TURC (Trade Union Right Centre, Pusat Studi dan Advokasi Hak Serikat Buruh, red),” ungkap Ngadinah saat berbincang dengan hukumonline di kediamannya di bilangan Sawangan, Depok, Kamis (23/12).

 

Buat Ngadinah, bekerjasama dengan TURC dan lembaga swadaya masyarakat atau pegiat perburuhan lainnya adalah pengalaman berharga. “Saya bisa belajar banyak dari mereka untuk kemudian membantu berjuang bersama dengan teman-teman buruh lain yang tertindas.”

 

Bicara soal penindasan terhadap buruh, pikiran perempuan kelahiran Kebumen itu lalu melayang pada sekitar tahun 1986-an. “Saya pergi dari kampung ikut kakak saya ke Tangerang. Waktu itu saya baru setahun lulus dari Sekolah Dasar (SD),” kenang Ngadinah. Kehidupan ekonomi keluarga yang sulit menjadi alasan utama Ngadinah kecil merantau.

 

Di Tangerang, ia pertama kali bekerja di sebuah perusahaan elektronik dengan upah hanya sekitar Rp600 tiap hari. “Pekerjaan saya adalah menyolder alat-alat ektronik,” tutur perempuan yang saat ini sedang hamil muda anak pertamanya.

 

Sekitar dua tahun bekerja, Ngadinah memutuskan untuk berpindah kerja ke industri garmen. Tetap sebagai buruh. Upahnya memang lebih baik ketimbang sebelumnya. “Tapi jam kerjanya gila-gilaan. Dari jam tujuh pagi sampai jam sembilan malam.”

 

Ngadinah tak betah berlama-lama bekerja di industri garmen. Ia mulai melihat dan merasakan sendiri bagaimana buruh diekspolitasi. Selain soal jam kerja dan upah murah, ia juga mengetahui adanya pelanggaran hak normatif buruh seperti hak untuk beribadah dan cuti haid bagi buruh perempuan.

 

“Bahkan ada teman saya yang sampai harus terduduk di lantai menahan sakit di hari pertama dia haid. Tapi dia tak berani ijin pulang karena takut dimarahi oleh supervisor. Ada juga buruh yang tak berani ijin untuk melakukan solat.”

 

Kala itu, Ngadinah belum bisa berbuat banyak. Ia baru bisa ‘memberontak’ bagi dirinya sendiri. “Saya dari dulu nggak takut. Kalau waktunya solat, ya solat. Itu adalah hak saya sebagai manusia, sekaligus kewajiban saya sebagai makhluk-Nya.”

 

Ditahan dan dikriminalisasi

Setelah berpindah-pindah tempat bekerja, pada sekitar 1995 Ngadinah bekerja di PT Panarub Industry, Tangerang. Masih sebagai buruh. Di perusahaan yang memproduksi berbagai merek sepatu terkenal itu, semangat ‘perlawanan’ Ngadinah makin membuncah. Ia tak pernah mau jika diminta lembur kerja, menunda solatnya atau tetap bekerja di saat haid.

 

“Gara-gara itu saya sering dipindahkan ke posisi kerja yang nggak ada temannya. Mungkin perusahaan takut kalau teman yang lain jadi seperti saya.”

 

Ternyata di PT Panarub Ngadinah bertemu dengan buruh lain yang punya kesadaran berserikat. Pada tahun 1999 Ngadinah bergabung dengan Perbupas (Perkumpulan Buruh Pabrik Sepatu) PT Panarub. Ia dipercaya menjadi Sekretaris Umum di organisasi itu.

 

Pada September 2000, Ngadinah mengorganisasikan teman-temannya melakukan aksi mogok kerja. Kala itu Ngadinah dan buruh lainnya menuntut pelaksanaan Kepmenaker No 150 Tahun 2000 yang mengatur soal Penyelesaian PHK, Pesangon, Uang Penghargaan Masa Kerja dan Ganti Kerugian di Perusahaan.

 

“Selain itu kami juga menuntut kebebasan berserikat, hak cuti haid, dan uang makan yang waktu itu jumlahnya kecil.” Aksi mogok kerja ini dilakukan selama empat hari kerja. Perusahaan mengaku mengalami kerugian hingga Rp500 juta akibat mogok kerja ini.

 

Beberapa bulan setelah aksi mogok, sekitar April 2001 Ngadinah menghadiri Kongres GSBI di Cibubur. Saat itu, ia diwawancari SCTV soal kondisi kerja di pabrik tempatnya bekerja. “Waktu itu saya sampaikan bahwa kami dibebankan target kerja. Ketika target tidak tercapai, terkadang atasan kami marah-marah.”

 

Boleh jadi wawancara Ngadinah dengan SCTV itu membuat perusahaan kebakaran jenggot. Mereka lantas mengadukan Ngadinah ke kepolisian. Perusahaan juga mengungkit lagi peran dan keterlibatan Ngadinah dalam mogok kerja pada September 2000.

 

Pada 23 April 2001 Ngadinah kembali dipanggil polisi. Setelah menandatangani Berita Acara Pemeriksaan, polisi membawa Ngadinah dan berkas perkara ke Kejaksaan Negeri Tangerang. Hari itu juga ia ditahan di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Wanita Tangerang dengan tuduhan melakukan perbuatan tidak menyenangkan (Pasal 335 KUHP) dan menghasut (Pasal 160 KUHP).

 

Ngadinah terpaksa mendekam di balik sel sempit selama 29 hari. Sampai akhirnya beberapa tokoh seperti almarhum Munir, Munarman dan Menteri Lingkungan Hidup saat itu, Sonny Keraf menjadi penjamin bagi penangguhan penahanan Ngadinah.

 

Keluar dari tahanan, Ngadinah harus menjalani persidangan atas kasus yang melilitnya di Pengadilan Negeri Tangerang. “Atas bantuan semua pihak, yaitu penasehat hukum, teman-teman serikat buruh dan sejumlah LSM maka majelis hakim memvonis saya dengan putusan bebas murni.”

 

Pendidikan dan Caleg

Usai diputus bebas, Ngadinah kembali bekerja di PT Panarub. Ia ditawari posisi baru sebagai staf HRD. “Saya terima tawaran posisi baru itu dengan syarat saya tetap bisa beraktifitas di serikat buruh.”

 

Di sela-sela aktivitasnya bekerja dan berorganisasi, Ngadinah menyisihkan waktu dan uangnya untuk mengikuti program persamaan pendidikan SMP dan SMA. Dalam sepekan, ia harus ‘bersekolah’ selama tiga jam selepas bekerja.

 

Seakan tak puas dengan ijazah persamaan SMA yang ia sandang, Ngadinah sangat berhasrat melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi. “Saya itu kalau main ke rumah saudara di Depok selalu kepingin (melanjutkan kuliah) setelah melihat anak-anak kuliahan.”

 

Ngadinah beruntung. Pada 2003, niatnya untuk kuliah kesampaian setelah dibantu secara finansial oleh koleganya di Jerman. “Saya kenal dia ketika saya dipenjara dulu. Dia dulu mendatangi saya untuk mendukung perjuangan saya dan buruh di Indonesia.” Berkuliah di sebuah universitas Islam swasta di Tangerang, ia memantapkan pilihannya pada jurusan ilmu hukum.

 

Baru setahun kuliah, Ngadinah ‘dilamar’ sejumlah partai politik untuk Pemilu 2004. Ia ditawari duduk sebagai calon anggota legislatif untuk daerah Tangerang. “Saya terima (lamaran) PKS. Sedangkan (tawaran) Partai Demokrat dan PAN tidak saya ambil,” kata perempuan yang mengaku mengikuti aktivitas keagamaan (liqo).

 

Usai menerima ‘pinangan’ partai, Ngadinah memutuskan mengundurkan diri dari pekerjaan dan otomatis dari keanggotaan Perbupas PT Panarub. Ia tak mau perusahaan tempatnya bekerja dan organisasi beraktivitas dikait-kaitkan dengan kegiatannya berpolitik.

 

Di partai berlambang bulan sabit kembar itu, Ngadinah duduk sebagai caleg nomor urut enam. Namun dia tersingkir dan tak terpilih sebagai anggota DPRD karena hanya beroleh suara tiga terbanyak.

 

Kalah dalam Pemilu 2004 dan berada dalam kondisi menganggur setelah mengundurkan diri dari PT Panarub tak berarti kiamat bagi Ngadinah. Ia bertekad untuk menyelesaikan kuliahnya. Untuk bertahan hidup, Ngadinah memilih berjualan makanan.

 

“Malam saya belanja ke pasar, paginya memasak, lalu menjualnya hingga menjelang sore hari. Setelah itu saya berangkat kuliah,”

 

Pada 2007, Ngadinah berhasil menyelesaikan kuliahnya. Gelar sarjana hukum ia sandang. Gelar yang semakin memantapkan bahwa Ngadinah adalah orang yang tepat menduduki jabatan Ketua Departemen Hukum dan HAM GSBI sejak 2006.

 

UU No 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial yang memungkinkan pengurus serikat pekerja bertindak sebagai kuasa hukum buruh dijadikan landasan bagi Ngadinah untuk membela koleganya.

 

Sebagai ‘lawyer’, rapor keberhasilan Ngadinah dalam menyelesaikan kasus terbilang sukses. Di PHI Serang, Banten, ia berhasil memenangkan empat kasus yang putusannya memerintahkan pengusaha mempekerjakan lagi kliennya. Sementara di PHI Bandung, tiga dari lima kasus berhasil ia menangkan. “Yang pasti, ini bukan kemenangan saya pribadi. Tapi hasil perjuangan bersama teman-teman buruh.”

 

Meski menghabiskan hampir sebagian besar hidupnya untuk perjuangan buruh, Ngadinah mengaku tak pernah terinspirasi oleh tokoh aktivis buruh perempuan yang lain semisal Marsinah, Dita Indah Sari, dll. “Maap, ini bukannya saya sombong. Tapi saya memilih jalan ini bukan karena latah ingin mengikuti tokoh perempuan yang lain. Mungkin karena memang saya sudah ditakdirkan seperti ini.”

 

Lebih jauh Ngadinah mengaku belum terobsesi untuk menekuni profesi sebagai Advokat. Soalnya, ia masih ingin terus berjuang bersama buruh. “Lagi pula biaya PKPA (Pendidikan Khusus Profesi Advokat) dan ujiannya mahal, mas,” selorohnya. 

Tags:

Berita Terkait