Netralitas Media di Indonesia Terkait Pilpres 2014 dan Tanggung Jawab Hukumnya
Kolom

Netralitas Media di Indonesia Terkait Pilpres 2014 dan Tanggung Jawab Hukumnya

Komisi Penyiaran Indonesia harus bekerja lebih keras lagi.

Bacaan 2 Menit
Foto: Koleksi Pribadi (Edit: RES)
Foto: Koleksi Pribadi (Edit: RES)
“The media's the most powerful entity on earth. They have the power to make the innocent guilty and to make the guilty innocent, and that's power. Because they control the minds of the masses.” 
 -Malcolm X- 

Tanggal 9 Juli 2014 merupakan hari yang sangat penting dan amat menentukan bagi masa depan bangsa Indonesia setidaknya lima tahun ke depan. Pada  tanggal tersebut seluruh rakyat Indonesia akan menggunakan hak pilihnya untuk memberikan dukungan suara mereka kepada calon Presiden dan Wakil Presiden untuk satu periode mendatang. Kehadiran media massa merupakan pilar yang sangat penting bagi kehidupan demokrasi di Indonesia yang sedang tumbuh ini.
Di dalam masa kampanye yang akan berakhir tanggal 5 Juli nanti, tim pemenangan kedua kubu capres-cawapres berlomba-lomba mensosialisaikan visi, misi dan program serta  kelebihan masing-masing kandidat melalui media massa baik cetak maupun elektronik secara masif. Media massa baik cetak maupun elektronik memiliki pengaruh yang sangat kuat dengan pembentukan opini bagi masyarakat melalui “media framing” oleh karena itu demi kepentingan publik netralitas isi siaran suatu obyek pemberitaan media massa harus dijaga.

Bias Media dan Kekuasaan Politik
Jika kita mencermati media televisi mainstream seperti Metro TV dan TV One terlihat sekali ada bias atau kecenderungan yang diperlihatkan dari kedua stasiun televisi tersebut dalam membuat tayangan pemberitaan kedua pasangan kandidat capres-cawapres. Saat ini timbul kesan bagi masyarakat yang mendukung Joko Widodo cukup menonton saluran Metro TV dan bagi yang  memfavoritkan Prabowo tinggal pilih saluran TV One.
Fenomena ini terjadi karena kedua bos media tersebut berafiliasi dengan masing-masing kandidat. Metro TV yang dimiliki oleh politisi Surya Paloh seperti menjadi corong pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla, sedangkan Tv One yang dimiliki oleh politisi Aburizal Bakrie menunjukan keberpihakannya kepada pasangan Prabowo-Hatta meskipun intensitasnya belakangan ini agak sedikit berkurang dikarenakan adanya siaran Piala dunia Brazil di jaringan TV yang dimilikinya.

Pemihakan pemberitaan dua stasiun televisi tersebut melalui pembentukan opini politik tertentu atau media framing didasarkan oleh jumlah durasi, jumlah frekuensi serta kecenderungan obyek pemberitaan yang dirasakan seperti alat propaganda kandidat yang didukungnya. Hal ini sudah sangat melenceng dari peranannya sebagai media informasi dan sebagai pengontrol sosial, bahkan bertentangan dengan undang-undang. 
Penting untuk dibahas mengenai bagaimana proses media framing bekerja? Media framing atau pembentukan opini tertentu dalam media adalah hal yang tidak dapat dihindari dan natural karena merupakan bagian dari komunikasi dalam pembuatan suatu berita, khusunya pada event tertentu seperti Pemilu (Scheufele, 1999). Namun demikian, sebuah studi yang dilakukan oleh Robert M. Entman, Profesor pada George Washington University, menunjukan bahwa media framing terhadap politik meningkatkan ketidakpercayaan publik dan sinisme politik atau memiliki efek negatif dalam mengakuisisi pengetahuan masyarakat, meskipun dalam studi tersebut juga menunjukan bahwa framing yang dilakukan oleh media juga dipercaya meningkatkan minat masyarakat dalam politik dikarenakan media menawarkan informasi yang berguna dan mungkin belum diketahui masyarakat yang membuat masyarakat penasaran mengenai kebenaran atas pemberitaan tersebut (Entman,2008).
Menurut Entman pembentukan opini melalui media framing memiliki konsekuensi negatif bagi demokrasi kita, karena ketika stasiun televisi yang menayangkan isi siaran yang tidak netral dan hanya  fokus terhadap pemberitaan  mengenai  isu-isu yang tidak substantif, kepentingan pribadi politisi yang ditonjolkan serta hanya  fokus pada strategi pencitraan belaka bukannya fokus terhadap informasi politik yang lebih substansial seperti kebijakan para capres atau bagaimana strategi dalam mengesekusi program para masing-masing  kandidat, hal ini dapat melemahkan informasi politik yang sebenarnya lebih dibutuhkan masyarakat dan menimbulkan sinisme politik serta mengurangi hak masyarakat atas informasi yang benar dan mendidik.

Peran Hukum dalam Mengatur Media di Indonesia
Pengelolaan sebuah media biasanya dilakukan oleh sebuah organisasi atau perusahaan yang pada umumnya bertujuan mencari laba di dalam sistem ekonomi kapitalis. Oleh karenanya, menurut mantan Ketua Mahkamah Agung Alm Prof. Oemar Seno Aji (1973), jiwa kepentingan umum pada media bisa terkontaminasi oleh kepentingan privat dari pemilik perusahaan media tersebut. Hubungan ketiga komponen antara media, kepentingan umum dan kepentingan privat itulah yang menjadi inti dari peranan hukum media agar kepentingan umum dalam media dapat terjaga.

Pengamat politik Eep Saefulloh Fatah berpendapat bahwa pers merupakan pilar keempat bagi demokrasi dan mempunyai peranan penting dalam membangun kepercayaan, kredibilitas, bahkan legitimasi pemerintah. Dari sini dapat kita simpulkan betapa besarnya peran pers dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Mengingat pentingnya peran pers bagi proses demokratisasi di Indonesia, pemerintah telah mengatur mengenai aturan main media massa melalui Undang- undang Pers maupun Undang-undang Penyiaran.

Di dalam rezim hukum media, ketentuan pasal 33 UU No. 30 tahun 1999 tentang pers menyatakan bahwa fungsi pers adalah sebagai media informasi, media pendidikan, media hiburan serta fungsi kontrol sosial. Namun, jika kita kaitkan dengan fenomena yang kita rasakan hari ini fungsi Pers sebagai media pendidikan dan media pengontrol sosial tampak tidak hadir, padahal sudah dinyatakan secara hukum bahwa frekuensi radio, sebagai media pengantar informasi ke televisi, merupakan sumber daya alam terbatas dan merupakan kekayaan nasional yang harus dijaga dan dilindungi oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Dinyatakan pula  secara tegas dalam pasal 36 butir 4 UU Penyiaran  bahwa isi siaran wajib dijaga netralitasnya dan tidak boleh mengutamakan kepentingan golongan tertentu. Oleh karena itu, pemerintah lah yang berwenang dalam menegakan hukum tersebut.

Berdasarkan Undang-Undang Penyiaran No 32 tahun 2002, sebelum menyelenggarakan siaran, setiap lembaga penyiaran harus mendapat izin dari pemerintah. Oleh karena itu, sudah seharusnya lembaga penyiaran yang telah memiliki izin Penyelenggaran Penyiaran (IPP) yang diterbitkan oleh Kementrian Komunikasi dan Informasi wajib memberikan informasi yang benar, seimbang dan bertanggung jawab sesuai dengan tujuan pers nasional. Selanjutnya, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sebagai komisi yang diberi mandat dalam mengawasi lembaga penyiaran bersama Menkominfo harus bekerja lebih keras lagi dalam menyikapi masalah ini dan tidak perlu ragu ragu dalam mengambil tindakan tegas seperti  mencabut IPP dari media massa yang telah terbukti melanggar ketentuan undang-undang.

Pada akhirnya, mengenai  pemilu 2014 mari kita serahkan semua kepada rasionalitas dan kecerdasan publik Indonesia dalam menerima informasi yang dirasakan sudah tidak netral dan berimbang, hal ini juga sebagai pembuktian atas kematangan dan kedewasaan kita dalam berdemokrasi.  

*Alumni Universitas Trisakti dan University of Canberra

Tags:

Berita Terkait