Naskah UU Cipta Kerja Sudah Disampaikan ke Presiden, DPR: Silakan Dikaji
Berita

Naskah UU Cipta Kerja Sudah Disampaikan ke Presiden, DPR: Silakan Dikaji

Sekretaris Kemenko Perekonomian Susiwijono Moegiarso menyatakan tidak ada perubahan sedikit pun terkait substansi yang dimuat dalam naskah RUU Cipta Kerja yang disampaikan oleh DPR RI.

Fitri Novia Heriani
Bacaan 5 Menit
Sidang paripurna saat persetujuan RUU Cipta Kerja menjadi UU, Senin (5/10). Foto: RES
Sidang paripurna saat persetujuan RUU Cipta Kerja menjadi UU, Senin (5/10). Foto: RES

Naskah Rancangan Undang-undang tentang Cipta Kerja (RUU Cipta Kerja) yang telah disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) pada rapat Paripurna 5 Oktober 2020, telah disampaikan kepada Presiden Joko Widodo. Ketua DPR RI telah menyampaikan RUU Cipta Kerja kepada Presiden RI melalui surat Nomor LG/120/12046/DPR RI/X/2020, yang diterima oleh Menteri Sekretaris Negara pada tanggal 14 Oktober 2020.

Demikian disampaikan Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono Moegiarso dalam keterangan pers, Kamis (15/10/2020). "Dalam rangka proses pengesahan oleh Presiden, RUU Cipta Kerja yang disampaikan oleh Ketua DPR RI tersebut, dituangkan dalam format pengesahan oleh Presiden (layout margin dan kertas naskah UU)," lanjut Susiwijono.

Susiwijono mengungkapkan, RUU Cipta Kerja yang telah sesuai dengan format pengesahan tersebut, disampaikan oleh Menteri Sekretaris Negara kepada Menko dan Menteri Hukum dan HAM pada hari yang sama, untuk diberikan paraf pada naskah RUU Cipta Kerja pada setiap lembarnya dan saat ini pemberian paraf tersebut tengah dilakukan oleh kedua Menteri tersebut. Susiwijono menegaskan, tidak ada perubahan sedikit pun terkait substansi yang dimuat dalam naskah RUU Cipta Kerja yang disampaikan oleh DPR RI.

Selanjutnya, naskah RUU Cipta Kerja yang telah diberikan paraf oleh kedua Menteri, akan disampaikan oleh Menteri Sekretaris Negara kepada Presiden untuk mendapatkan pengesahan. Berdasarkan ketentuan Pasal 73 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, diatur bahwa pengesahan oleh Presiden dengan membubuhkan tanda tangan pada naskah UU Cipta Kerja dan dilakukan dalam jangka waktu paling lama 30 hari terhitung sejak RUU Cipta Kerja disetujui bersama oleh DPR RI dan Pemerintah No. HM.4.6/148/SET.M.EKON.2.3/10/2020.

Terkait proses penyusunan, pemerintah mengklaim jika penyusunan RUU Cipta Kerja telah mengikuti ketentuan yang diatur dalam UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Pembahasan telah dilakukan setidaknya sebanyak 64 kali rapat di dalam pembahasan di Panitia Kerja (Panja) RUU Cipta Kerja. (Baca Juga: Pentingnya Keterbukaan Akses bagi Publik dalam Proses Legislasi)

Serangkaian proses panjang telah dilalui, sejak penyusunan draft RUU Cipta Kerja di internal Pemerintah pada tahun 2019, penyampaian RUU Cipta Kerja oleh Presiden kepada Ketua DPR RI melalui Surat Presiden (SurPres) tanggal 7 Februari 2020, penyerahan RUU Cipta Kerja oleh Pemerintah kepada DPR RI pada tanggal 12 Februari 2020, dan pembahasan mulai dilakukan pada Rapat Kerja Baleg DPR RI dengan Pemerintah pada tanggal 14 April 2020.

Akhirnya, pengambilan keputusan atas hasil pembahasan RUU Cipta Kerja pada Pembicaraan Tingkat I telah diputuskan pada Rapat Kerja Badan Legislasi DPR RI bersama dengan Pemerintah dan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) pada tanggal 3 Oktober 2020, yang menerima hasil pembahasan RUU tentang Cipta Kerja yang dilaporkan oleh Ketua Panja dan menyetujui RUU tentang Cipta Kerja untuk dibawa dalam Tahap Pembicaraan Tingkat II pada Rapat Paripurna DPR.

Persetujuan atas RUU Cipta Kerja menjadi UU Cipta Kerja telah diputuskan pada Pembicaraan Tingkat II yang dilakukan pada Rapat Paripurna DPR RI pada hari Senin tanggal 5 Oktober 2020.

Seperti dikutip dari Antara, Jumat (16/10), anggota DPR RI Rifqinizamy Karsayuda mengimbau dan mempersilakan publik untuk mengkaji Omnibus Law UU Cipta Kerja setelah UU tersebut diterbitkan menjadi lembaran negara. "Proses legislasinya masih berlanjut di tangan Presiden hingga diterbitkan dalam lembaran negara. Setelah itu, silakan kaji pasal dan ayat yang dirasa tidak sesuai dengan harapan rakyat Kalimantan Selatan," ujar Rifqi.

Menurutnya, jika secara intelektual telah dikaji dan nyatanya ada pasal-pasal yang merugikan, dirinya menyatakan siap memperjuangkan revisi UU Cipta Kerja tersebut dalam waktu dekat. "Merevisi suatu UU yang baru disahkan, bukan hal yang haram, jika benar-benar ada materi yang merugikan rakyat dan bangsa ini," katanya.

Sebelumnya, para pengusaha yang tergabung dalam sejumlah asosiasi menilai Undang-Undang Cipta Kerja diperlukan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi melalui program pemulihan terutama saat dan setelah pandemi Covid-19. "Ada 45 juta orang yang belum optimal dengan pekerjaan yang ada. Nah, inilah salah satu alasan kenapa UU Cipta Kerja ini penting," kata Wakil Ketua Umum Badan Pengurus Pusat Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (BPP Hipmi) Eka Sastra dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (15/6).

Menurut dia, UU Cipta Kerja ini akan mengakomodasi pengusaha muda untuk mendorong penciptaan lapangan mengingat ada sekitar 45 juta orang butuh lapangan pekerjaan. Eka menambahkan dengan adanya dinamika perubahan ekonomi global memerlukan respons yang cepat dan tepat sehingga UU Cipta Kerja yang sudah disahkan dapat memberikan sinyal kuat Indonesia kondusif dan terbuka untuk bisnis dan investasi. "Karena salah satu tugas negara, wajib menyiapkan lapangan kerja. Tidak mungkin semuanya bisa masuk ke pegawai negeri sipil (PNS), atau pun kelembagaan formal yang lain," ujarnya.

Polemik

Seperti diketahui, pada 5 Oktober lalu, DPR menyetujui RUU Cipta Kerja menjadi undang-undang. Namun, penyetujuan itu menimbulkan polemik di masyarakat. Dari Transparency International Indonesia (TII), misalnya, Sekjen TII Danang Widoyoko mengatakan indeks korupsi Indonesia sebelum revisi UU KPK skornya 40. Beberapa faktor yang menyebabkan skor Indonesia mandek karena terkait korupsi politik dan korupsi di bidang peradilan.

“Korupsi politik dan peradilan itu berdampak pada kepastian investasi,” kata Danang Widoyoko dalam diskusi secara daring bertema “UU Cipta Kerja vs Pemberantasan Korupsi”, Kamis (15/10).

Tingkat Global Competitiveness Index (GCI) Indonesia tahun 2020 berada di peringkat 50. Danang menyebut ada 12 indikator yang digunakan untuk menghitung indeks ini. Beberapa indikator yang perlu dibenahi untuk meningkatkan GCI, antara lain kemampuan riset yang rendah, infrastruktur IT, dan institusi pemerintahan. “Tidak ada soal ketenagakerjaan dan lingkungan hidup,” kata dia. 

Begitu pula tingkat EODB Indonesia berada di peringkat 73 dan berbagai indikator yang digunakan untuk menilai indeks kemudahan berusaha ini tidak ada yang terkait ketenagakerjaan, melainkan memulai bisnis dan penegakan kontrak. Alih-alih membenahi berbagai persoalan yang dihadapi itu, pemerintah malah menempuh cara lain yakni menerbitkan UU Cipta Kerja. Ada dua hal yang paling disorot masyarakat dari regulasi ini yakni sektor ketenagakerjaan dan lingkungan hidup.

Mengacu hal tersebut, Danang ragu jika UU Cipta Kerja ini memudahkan masuknya investasi dari luar negeri. Beragam ketentuan yang ada dalam UU Cipta Kerja dinilai lebih mengakomodir kepentingan investasi lokal. Hal ini diperkuat oleh proses penyusunan RUU Cipta Kerja yang berbeda dari RUU lain yang melibatkan akademisi dan ahli. Apalagi, Satgas yang dibentuk pemerintah isinya sebagian besar kalangan pengusaha.

Terlebih, Danang melihat ada lebih dari 30 investor luar negeri yang mengkritik UU Cipta Kerja. Dia yakin puluhan investor yang menolak UU Cipta Kerja itu tergolong investor berkualitas karena mereka mengutamakan pembangunan (ekonomi) yang berkelanjutan termasuk di sektor lingkungan hidup dan ketenagakerjaan. “Tapi yang ‘dijual’ (lewat UU Cipta Kerja, red) ini politik upah murah. Makin jauh dengan green recovery dan sustainability,” ujarnya.

 

Tags:

Berita Terkait