Nasib RUU Penghapusan Kekerasan Seksual ‘Menggantung’
Berita

Nasib RUU Penghapusan Kekerasan Seksual ‘Menggantung’

Jalan tengah agar pembahasan terus berlangsung di tahun politik, perlunya penguatan konsolidasi antar fraksi partai untuk berkomitmen menyelesaikan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS).

Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Gedung MPR, DPR,DPD. Foto: RES
Gedung MPR, DPR,DPD. Foto: RES

Kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak masih saja terus terjadi. Meski terdapat ancaman pemidaan bagi pelakunya dengan menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), nampaknya tak juga menimbulkan efek jera. Perlunya pengaturan khusus  terhadap penghapusan kekerasan seksual melalui UU yang bersifat khusus.  Kini, DPR telah menginisasi pembentukan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS).

 

Juru Bicara Dewan Pengarah Nasional Forum Pengada Layanan (FPL), Veni Siregar, berpandangan RUU PKS memang sudah dibahas di DPR. Namun memasuki tahun politik, nasib RUU PKS nampaknya bakal menggantung. Sebab boleh jadi para anggota dewan yang bertugas melakukan pembahasan RUU PKS, justru fokus terhadap pemenangan partai maupun mempertahankan kursi dewan di periode berikutnya.

 

Terhitung sejak Maret 2018, RUU PKS masuk dalam pembicaraan tingkat pertama. Langkah tersebut menjadi angin segar lantaran menjadi capaian yang cukup baik bagi DPR.  Apalagi, itu RUU sudah tiga tahun masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas), namun tak juga kunjung disahkan menjadi UU.

 

“Pekerjaan Rumah anggota DPR khususnya untuk menunaikan janjinya tak kunjung juga terlaksana,” ujarnya kepada hukumonline beberapa waktu lalu.

 

Mestinya, keberadaan RUU PKS menjadi darurat. Sebab aksi tindak pidana kejahatan kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak masih saja terjadi. Menurut Veni, pembahasan RUU PKS mestinya dipercepat. Setidaknya penanganan tindak pidana  kekerasan seksual amatlah membutuhkan  beleid tersebut.

 

Status keberadaan RUU PKS kini berada di tangan Panitia Kerja (Panja) di Komisi VIII.  RUU tersebut memang sudah dibahas mulai awal 2018. Pembahasan dimulai dengan  mengagendakan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan para pemangku kepentingan. Yakni para ahli, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) perempuan, Komnas Perempuan, serta Ormas yang fokus terhadap perempuan. Begitu pula dengan kunjungan kerja yang dilakukan Panja ke berbagai daerah dan negara.

 

“Tetapi pembahasan substansi RUU ini masih ‘mandek’, belum berkembang jauh dan masih terkesan digantung,” ujarnya.

 

Veni yang juga Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Apik lebih lanjut berpendapat berbagai pemanku kepentingan, antara lain FPL telah membeberkan pentingnya adanya RUU PKS. Yakni dengan menyodorkan dokumentasi pendampingan terhadap perempuan korban kekerasan.

 

(Baca Juga: Begini Aturan Pencegahan Kekerasan Seksual dalam RUU PKS)

 

Setidaknya, sepanjang 10 tahun Komnas Perempuan telah melakukan kajian. Menurutnya, catatan tahunan Komnas Perempuan sekamir periode 2001 - 2011, menemukan kesimpulan bahwa rata-rata 35 perempuan (termasuk anak perempuan) menjadi korban kekerasan seksual setiap harinya.   

 

“Sepertinya kita harus mengingatkan kembali kepada pihak legislatif bahwa tidak ada kepentingan lain dari lahirnya RUU ini selain kepentingan korban kekerasan seksual yang selama ini masih diabaikan negara,” ujarnya.

 

Veni berpandangan substansi hukum dalam KUHP yang mengatur kekerasan seksual masihlah sempit. Sebab tidak semua kasus kekerasan seksual dapat diproses hukum. Hal ini lantaran dalam KUHP hanya mengenal perkosaan pencabulan dan perzinahan. Nah sulitnya korban dalam mengakses keadilan inilah mestinya menjadi perspektif yang digunakan dalam membahas RUU PKS.

 

“Kami meminta komitmen Panja RUU P-KS untuk segera membahas RUU ini dalam masa sidang V tahun 2017-2018. Sehingga persiapan pesta demokrasi dalam menyambut tahun politik 2019 tidak menjadi alasan bagi pihak legislatif untuk mengabaikan hak-hak korban kekerasan seksual,” ujarnya. 

 

(Baca Juga: Ingat! Korban Kekerasan Seksual Juga Punya Hak Restitusi)

 

Wakil Ketua Komisi VIII Iskan Qolba Lubis menampik mandegnya pembahasan RUU PKS. Menurutnya, RUU PKS masih terus dibahas oleh Panja, meski masih banyak yang perlu didalami. Misalnya pengaturan pemidanaan terhadap pelaku kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak pun sudah diatur dalam KUHP. Begitu pula diatur dalam UU No.35 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

 

Namun demikian bila nantinya dalam pembahasan terdapat pengaturan yang belum diatur dalam UU lainnya, maka bakal dimasukan dalam RUU PKS. Yang pasti, conten yang belum termuat bakal diatur dan menjadi penguatan dalam perlindungan bagi perempuan dan anak dari kejahatan tindak pidana kekerasan.

 

Soal memasuki tahun politik berdampak terhadap nasib RUU PKS, politisi Partai Keadilan Sejahtera itu menilai perlunya perkuat konsolidasi antar fraksi di parlemen.  “Ini masalah konsolidasi saja, dan pembahasan masih berlanjut. Insya Allah kita selesaikan,” pungkasnya.

 

Tags:

Berita Terkait