Nasib RKUHP ‘Hadiah’ Ultah Kemerdekaan RI Terancam Kandas
Berita

Nasib RKUHP ‘Hadiah’ Ultah Kemerdekaan RI Terancam Kandas

Karena masih terganjal persoalan komunikasi Panja dengan berbagai pihak menyangkut nasib RKUHP. Selain itu masih menuai berbagai persoalan yang bila disahkan berpotensi mengancam seluruh rakyat Indonesia, temasuk warga asing.

Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Suasana pembahasan RKUHP di Komisi III DPR. Foto: SGP
Suasana pembahasan RKUHP di Komisi III DPR. Foto: SGP

Rencana DPR bakal menjadikan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) menjadi kado ulang tahun republik Indonesia yang ke-73, terancam kandas. Ini dikarenakan masih terdapat berbagai persoalan dalam RKUHP. Setidaknya, terdapat  beberapa isu yang kerap menuai sorotan masyarakat. DPR pun mesti realistis dengan tidak mengesahkan RKUHP sebagai kado ulang tahun kemerdekaan Indonesia.

 

Anggota Panitia Kerja (Panja) RKUHP Teuku Taufiqulhadi berpandangan, persoalan sejumlah isu yang sempat belum menemui titik temu secara substatif telah dilakukan pembahasan. Meski demikian, Panja masih terus berupaya merampungkan pembahasan terhadap RKUHP. Taufiqulhadi mengakui RKUHP merupakan UU yang pembahasannya perlu kehati-hatian. Terlebih menyangkut hak warga negara. Kebebasan berpendapat misalnya.

 

Namun demikian, Panja melalui DPR secara kelembagaan terus melakukan komunikasi dengan berbagai pihak. Tak saja tim perumus, namun juga presiden. Lantas, apakah dapat dijadikan kado ulang tahun republik Indonesia yang ke 73? Taufiqulhadi menilai masih terbilang sulit. Pasalnya belum rampung secara keseluruhan RKUHP. Termasuk itu tadi, komunikasi yang belum terjalin dengan berbagai pihak.

 

“Tanggal 17 itu 6 hari lagi. Kalau menurut saya agak sedikit berat. Ini hanya soal komunikasi saja,” ujarnya kepada hukumonline di Gedung DPR, Jumat (10/8).

 

Anggota Aliansi Nasional Reformasi KUHP, Erasmus Napitupulu berpandangan status RKUHP  yang tengah dibahas DPR bersama pemerintah tak layak untuk disahkan kemudian dijadikan kado ulang tahun kemerdekaan Indonesia yang ke-73. Ia beralasan masih terdapat persoalan. Terlebih, rekomendasi yang dilakukan pemerintah pun belum pula dibahas di DPR.

 

Bahkan, Daftar Invertarisasi Masalah (DIM) DPR pun dinilai belum siap untuk dilakukan kembali pembahasan. Maklum saja, anggota dewan sedang sibuk menghadapi pemilihan presiden dan pemilihan legislatif. “Jadi kalau ditanya, layak atau tidak, saya jawab tidak layak untuk disahkan menjadi kado ulang tahun kemerdekaan. Karena di dalamnya masih banyak persoalan,” ujarnya.

 

Menurutnya, tim perumus pun masih gamang dengan draf RKUHP. Misalnya, menyoal tentang hukum yang hidup di tengah masyarakat (living law). Begitu pula dengan metode penentuan besaran pidana. Eras berpendapat, tidak adanya dokumen yang menyebutkan  nama ahli yang  mengusulkan terhadap penggunaan metode tersebut.

 

Nah, akibat masih banyak persoalan-persoalan itulah DPR dan pemerintah diminta tidak memaksakan untuk disahkannya RKUHP. Pasalnya dengan disahkannya RKUHP yang masih menuai persoalan menjadi UU misalnya, maka KUHP terbaru bakal berlaku bagi semua rakyat Indonesia, termasuk warga asing.

 

“Jangan dipaksanakan juga kemudian untuk disahkan. Ini kan semua manusia juga kena. Asing juga kena,” ujarnya.

 

Peneliti Indonesia Legal Roundtable (ILR), Erwin Natosmal menambahkan pengesahan RKUHP dengan menjadikan kado ulang tahun kemerdekaan sebagai bentuk pemaksaan. Jika pengesahan RKUHP tetap dilakukan, berpotensi merusak subtansi dan ujungnya terjadi tragedi. Ia menilai pemerintah dan DPR tak boleh membatasi waktu yang spesifik terhadap RKUHP.

 

“Selain tidak realistis, terlalu banyak persoalan pidana yang harus didiskusikan secara  mendalam untuk memperbaiki substansi dan efek dari pemidanaan bagi kepentingan publik secara luas. Menurutku, pemaksaan pengesahan R-KUHP untuk mengejar selebrasi,” ujarnya.

 

Baca:

 

Tunda pengesahan

Erwin yang juga anggota Aliansi Nasional Reformasi KUHP itu pun meminta pemerintah dan DPR menunda pengesahan RKUHP, ketimbang mengesahkannya. Nah, dalam masa penudanaan itulah menjadi waktu bagi pemerintah dalam memperbaiki substansi dan proses penyusunan yang lebih transparan. “Sebelum mendorongnya ke parlemen,” ujarnya.

 

Erasmus menambahkan sekalipun tidak disahkan di masa periode 2014-2019, toh masih dapat dilanjutkan di periode berikutnya. Kendati DPR mengenal tidak adanya carry over terhadap RUU yang tidak rampung di periode sebelumnya, namun praktiknya draf RKUHP di DPR periode sebelumnya masih dapat dilanjutkan pada periode berikutnya.

 

“Setiap keputusan di DPR itu bisa diubah. Sekarang draf perbaikan, draf 2012 itu buruk sekali. Sekarang sudah dari masukan masyarakat sipil. Kalau pun mau di-carry over, kan nanti bisa digunakan draf 2018. Jadi jangan karena tidak di-carry over kemudian diketok sekarang, jangan. Itu namanya mengorbankan seluruh rakyat indonesia,” ujarnya.

 

Peneliti Institute Criminal for Justice Reform (ICJR) itu lebih jauh berpandangan di masa-masa tahun politik, sedianya menjadi kesempatan tim pemerintah untuk mendalami kembali draf RKUHP. Seiring dengan itu, ia menyarankan pemerintah agar RKUHP tidak diboyong di tahun politik. Apalagi RKUHP pun terdapat isu politik yang ujung bakal menambah memanas eskalasi di tahun politik. Misalnya, penghinaan terhadap presiden, penghinaan terhadap lambang negara, ideologi, makar dan isu sensitif lainnya.

 

“Jadi bukan tahun politik kemudian mereka tidak membahas. Tahun-tahun sebelumnya juga yang ikut membahas juga sedikit. Kemudian tingkat pembahasannya juga tidak terlalu dalam. Jadi masalah juga di DPR, pemerintah juga tidak matang. RKUHP itu UU susah. Kalau RKUHP itu berat, UU paling berat itu hukum pidana karena menyangkut hak warga negara dan penghukuman,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait