Nasib Mantan Ketua PT Manado dan Menengok Kembali Nasihat Ketua MA
Utama

Nasib Mantan Ketua PT Manado dan Menengok Kembali Nasihat Ketua MA

Ketua MA Hatta Ali sempat memperingatkan sejumlah hal kepada apartur peradilan pasca OTT Ketua PT Manado. Salah satunya agar memedomani tiga paket PERMA di bidang pengawasan dan pembinaan.

Novrieza Rahmi
Bacaan 2 Menit
Mantan Ketua Pengadilan Tinggi (PT) Manado, Sudiwardono. Foto: RES
Mantan Ketua Pengadilan Tinggi (PT) Manado, Sudiwardono. Foto: RES

Masih ingat mantan Ketua Pengadilan Tinggi (PT) Manado, Sudiwardono, yang terjaring operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Oktober 2017 lalu, lantaran menerima suap dari anggota DPR yang menyuap demi membebaskan sang ibu dari jerat hukum? Sudiwardono kini tengah menjadi "pesakitan" dan telah menjalani sidang tuntutan di Pengadilan Tipikor Jakarta.

 

Padahal, sebelum terkena OTT, Sudiwardono lah yang biasa menangani dan memutus perkara banding para "pesakitan". Bahkan, jabatan Sudiwardono pun tidak sembarangan. Sudiwardono merupakan pucuk pimpinan di PT Manado. Namun, kini Sudiwardono harus memasrahkan nasibnya di tangan para majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta saat pembacaan putusan tiba.

 

Kursi "empuk" Ketua PT Manado langsung digantikan oleh hakim tinggi Robinson Tarigan yang dilantik oleh Ketua Mahkamah Agung (MA) M Hatta Ali pada 7 Desember 2017 bersama 11 Ketua PT lainnya berdasarkan Surat Keputusan Ketua MA No.190/KMA/SK/X/2017 tanggal 30 Oktober 2017, 187/KMA/SK/X/2017 tanggal 23 Oktober 2017, 205/KMA/SK/XI/2017 tanggal 21 November 2017.

 

Dalam sidang yang berlangsung pada Rabu (9/5), penuntut umum KPK Ali Fikri meminta majelis hakim menghukum mantan Ketua PT Manado Sudiwardono dengan pidana penjara selama delapan tahun. "Ditambah denda Rp500 juta dengan ketentuan bila tidak dibayar diganti kurungan enam bulan," katanya saat membacakan surat tuntutan.

 

Perbuatan Sudiwardono dianggap telah memenuhi semua unsur Pasal 12 huruf a dan c UU No.31 tahun 1999 tentan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU No.20 tahun 2001 (UU Tipikor). Sudiwardono dianggap terbukti menerima suap Sing$110 ribu dari Sing$120 ribu yang dijanjikan oleh politikus Partai Golkar Aditya Anugrah Moha.

 

Berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di persidangan, uang diberikan dalam dua tahap. Pertama AS$80 ribu dengan maksud agar Sudiwardono tidak mengeluarkan perintah penahanan terhadap ibu Aditya, Marlina Moha Siahaan yang kala itu menjadi terdakwa perkara korupsi yang ditangani Sudiwardono. Kedua, sebesar Sing$30 ribu dari janji Sing$40 ribu agar Marlina dinyatakan bebas di tingkat banding.

 

Kasus ini bermula ketika Marlina divonis lima tahun penjara dan denda Rp200 juta subsidair dua bulan kurungan dengan perintah agar ditahan dalam kasus korupsi Tunjangan Penghasilan Aparatur Pemerintah Desa (TPAPD) oleh pengadilan tingkat pertama. Marlina adalah mantan Bupati Bolaang Mongondow. Atas perkara yang menimpa ibunya, Aditya lalu mengajukan banding ke PT Manado.

 

Kemudian, kerabat Marlina yang juga Wakil Ketua PT Palu Lexsy Mamonto menyampaikan kepada Sudiwardono bahwa ada saudaranya yang meminta tolong. Setelah penyampaian tersebut, Sudiwardono dihubungi seseorang dengan panggilan "ustadz". Seseorang dengan dimaksud tak lain adalah Aditya yang memperkenalkan dirinya sebgai anggota DPR dan anak dari Marlina.

 

Pertemuan kedua dilakukan pada 7 Agustus 2017 di ruang kerja Sudiwardono. Aditya meminta bantuan Sudiwardono selaku Ketua PT Manado agar tidak melakukan penahanan terhadap Marlina dengan alasan sakit. Pertemuan Sudiwardono dan Aditya selanjutnya dilakukan di pekarangan masjid Kartini, Manado dengan kesepakatan pemberian Sing$80 ribu kepada Sudiwardono agar Marlina tidak ditahan.

 

Menurut Ali, uang Sing$80 ribu itu diserahkan pada 12 Agustus 2017 di rumah Sudiwardono di Yogyakarta. Sebagai imbalan, pada 18 Agustus 2017, Sudiwardono mengeluarkan surat agar tidak melakukan penahanan terhadap Marlina.

 

"Setelah terdakwa Sudiwardono menerima uang sejumlah 80 ribu dolar Singapura lalu ditukarkan ke mata uang rupiah sebesar Rp200 juta maka ditransfer ke teman terdakwa bernama Mulyani selaku hakim di Pengadilan Tinggi Surabaya sebagai pembayaran utang cicilan kredit Honda Jazz tahun 2015 dan Suzuki Swift 2011 sebanyak dua kali masing-masing Rp25 juta dan Rp12 juta," ujarnya.

 

(Baca Juga: Kisah Anggota DPR Suap KPT Manado Demi Bebasnya Ibunda)

 

Selanjutnya, uang sebesar Sing$20 ribu digunakan untuk keperluan akreditasi penjaminan mutu kantor Pengadilan Tinggi Manado. Antara lain, untuk merenovasi bantuan fisik, pembelian rak-rak untuk penataan dokumen, membeli AC di ruang arsip, memperbaiki jendela, taman kantor, pengecatan, dan membayar pegawai honorer yang mengerjakan pekerjaan tersebut.

 

Selain itu, sebagian uang dipergunakan untuk keperluan lain-lain, seperti keperluan rumah tangga keluarga Sudiwardono hingga tersisa Sing$ 23 ribu yang ditemukan saat KPK melakukan OTT awal Oktober 2017 lalu. Sementara, pemberian tahap kedua, yaitu uang senilai Sing$30 ribu dolar, fasilitas kamar hotel Alila Jakarta Pusat, dan menjanjikan uang sejumlah Sing$10 ribu.

 

Penyerahan uang sebesar Sing$30 ribu disepakati dengan kata sandi "pengajian" di hotel Alila, tepatnya di depan pintu tangga darurat sebagai bagian kesepakatan sebelumnya agar Marlina dapat diputus bebas. Saat Aditya turun, petugas KPK mengamankan Aditya dan Sudiwardono, serta menemukan Sing$11 ribu di dalam mobil Avanza dengan Sing$10 ribu dolar merupakan bagian dari uang yang dijanjikan oleh Aditya.

 

Penuntut umum Yadyn mengungkapkan, berdasarkan fakta persidangan, ketika OTT KPK ditemukan barang bukti Sing$30 ribu dan Sing$23 ribu yang merupakan sisa dari pemberian Aditya dengan jumlah Sing$80 ribu. Namun, Sudiwardono sudah mengembalikan Rp361,453 juta dan Rp195 juta ke rekening KPK yang disetor keluarga Sudiwardono melalui Arya Senatama.

 

"Dari jumlah tersebut, yaitu Sing$23 ribu, Rp361,453 juta, dan Rp195 juta maka seluruhnya ekuivalen dengan nilai sebesar Sing$80 ribu sebagaimana uang yang telah diterima terdakwa dari Aditya Anugrah Moha, sehingga dalam perkara ini terdakwa Sudiwardono tidak lagi dijatuhi hukuman uang pengganti," terangnya.

 

Terhadap tuntutan itu, Sudiwardono akan mengajukan pledoi (nota pembelaan) pada 23 Mei 2018. Sementara, dalam sidang terpisah, anggota DPR periode 2014-2019 dari fraksi Partai Golkar Aditya dituntut pidana enam tahun penjara dan denda Rp200 juta subsidair dua bulan kurungan.

 

Ingat Tiga Paket SEMA!

Hakim sebagai "wakil Tuhan" di dunia yang memutus "nasib" para pesakitan seharusnya menghindarkan diri dari perbuaatan tercela, termasuk korupsi. Terlebih lagi, jika jabatan hakim tersebut sebagai pucuk pimpinan lembaga pengadilan. Sudah sepatutnya menjadi contoh bagi para hakim dan aparat penegak hukum di wilayah kerjanya.

 

Berdasarkan data statistik KPK, sepanjang 2004 hingga 2017, terdapat 17 perkara yang melibatkan profesi hakim. MA pun kini tengah melakukan operasi untuk membersihkan lembaga peradilan. Meski begitu, masih saja ada hakim yang "membandel". Pada Maret 2018, KPK kembali menangkap hakim tak lain hakim Pengadilan Negeri Tangerang, Wahyu Widya.

 

Padahal, pasca penangkapan Sudiwardono, Ketua MA Hatta Ali dalam sejumlah kesempatan telah mewanti-wanti agar tidak ada lagi aparat pengadilan yang melakukan tindakan serupa dengan Ketua PT Manado. Sebagaimana dikutip dari situs mahkamahagung.go.id, dalam suatu acara yang digelar di Yogyakarta pada Oktober 2017, Hatta mengatakan tindakan semacam itu berawal dari tindakan pelanggaran disiplin sebagaimana diatur dalam Peraturan MA (PERMA) No.7 Tahun 2016 tentang Penegakan Disiplin Kerja Hakim pada MA dan Badan Perdilan yang Berada di Bawahnya.

 

(Baca Juga: Baca Juga: Ketua Pengadilan Tinggi Manado Terjaring OTT KPK, MA Operasi Besar-Besaran)

 

Sebagai contoh, saat kejadian OTT KPK Sudiwardono berada di Jakarta. Keberadaan Sudiwardono tidak atas sepengetahuan dan izin dari atasan langsungnya, Direktur Jenderal Badana Peradilan Umum (Badilum). Sementara, PERMA 7 Tahun 2016 sudah tegas mengatur ketentuan jam kerja, prosedur meninggalkan jam kerja, tidak masuk kerja, dan hal lain yang berkaitan dengan disiplin hakim. 

 

Oleh karena itu, Hatta meminta seluruh aparatur pengadilan agar memahami tiga paket PERMA terkait pengawasan dan pembinaan. Petama, Perma No.7 Tahun 2016, Perma No.8 Tahun 2016 tentang Pengawasan dan Pembinaan Atasan Langsung di Lingkungan MA dan Badan Peradilan di Bawahnya, dan ketiga PERMA No.9 Tahun 2016 tentang Pedoman Penanganan Pengaduan (Whistleblowing System) di MA dan Badan Peradilan di Bawahnya.

 

“Kalau ketiga PERMA itu dibaca dan dikuasai, dihayati dan dilaksanakan, insya Allah tidak akan terjadi OTT seperti yang kita alami baru-baru ini”, ujar Hatta masih mengutip situs mahkamahagung.go.id.

 

Hatta juga meminta seluruh jajaran peradilan, khususnya hakim memedomani kode etik dan pedoman prilaku hakim. Ia menceritakan, pernah menerima laporan pengaduan mengenai seorang hakim yang jujur, tetapi kejujuran hakim itu tidak diikuti dengan prinsip kehati-hatian. Hakim tersebut menerima kedatangan salah satu pihak berperkara tanpa dihadiri pihak lain.

 

"Padahal, sudah ada SEMA bahwa seorang hakim tidak boleh menerima pihak yang berperkara kecuali kedua-dua pihak berperkara pada hakim dengan didampingi Panitera, itu pun dibatasi hanya sekadar menanyakan masalah jadwal persidangan. Jangan mau mati konyol karena kurang waspada, kurang hati-hati menjaga dirinya,” tuturnya.

 

Selain itu, Hatta meminta agar aparatur peradilan meningkatkan ketakwaan kepada Tuhan untuk menjaga kebersihan hati nurani. Ia meminta pula aparatur peradilan selalu berdiri di atas jalan yang benar. Jangan sekali-kali merasa ketakutan, jangan mau diintervensi, dan jangan mau dipengaruhi.

 

Terakhir, demi efektifitas pembinaan dan pengawasan, Hatta memerintakan Pengadilan Tinggi selaku voorpost atau kepanjangan tangan MA untuk melakukan pembinaan dan pengawasan kepada jajaran pengadilan yang berada di daerah hukumnya. Sebab, menurut Hatta, masih banyak ditemukan Ketua Pengadilan tingkat pertama dan banding jarang memberikan pembinaan dan pengawasan.

 

"Yang seharusnya diberikan para hakim tinggi untuk mengawasi di daerah yang sudah ditentukan, ini pun tidak jalan. Saya minta, jangan sekali-sekali, cukup yang pertama dan yang terakhir seorang ketua pengadilan tingkat banding terkena OTT. Dan, OTT ini terjadi adalah setelah keluarnya 3 PERMA ini dan juga setelah keluarnya Maklumat,” tandasnya. (ANT/mahkamahagung.go.id)

 

Tags:

Berita Terkait