Nasib Konsumen Saat Terjadi Force Majeure Terhadap Perusahaan
Berita

Nasib Konsumen Saat Terjadi Force Majeure Terhadap Perusahaan

Salah satu contoh kondisi force majeure yang dapat terjadi dalam kasus tiket pesawat. Saat penumpang telah membeli tiket, namun pesawat gagal berangkat karena bencana alam maka maskapai harus mengembalikan uang penumpang.

Mochammad Januar Rizki
Bacaan 6 Menit
Ilustrasi: HOL
Ilustrasi: HOL

Force majeure atau keadaan memaksa adalah kondisi tidak terlaksananya perjanjian karena berbagai hal yang sama sekali tidak dapat diduga atau tidak dapat berbuat apa-apa terhadap keadaan atau peristiwa yang terjadi. Foree majeure dapat menjadi suatu alasan bagi pihak debitur dari kewajiban membayar ganti rugi atas dasar wanprestasi yang disampaikan pihak kreditur.

Kondisi force majeure terjadi saat bencana alam seperti banjir, badai, gunung meletus, epidemik, perang, kerusuhan, kudeta pemerintahan. Bahkan, pandemi Covid-19 muncul spekulasi dapat dijadikan alasan sebagai force majeure. Meski pandangan tersebut keliru karena pandemi Covid-19 tidak secara otomatis membatalkan kontrak dengan alasan force majeure.

Penting bagi publik sebagai konsumen mengetahui risiko force majeure, sehingga pihak rekanan atau penyedia jasa tidak dapat memenuhi perjanjiannya. Hal ini karena penggantian biaya kerugian dan bunga dapat dimaafkan bilamana terjadi suatu keadaan yang memaksa, sehingga penyedia jasa tersebut terlepas kewajiban ganti rugi kepada konsumen. Pasal 1245 Kitab Undang Undang Hukum Perdata (BW) dapat dijadikan landasan hukum penerapan force majeure bahkan sekalipun klausa ini belum diatur dalam kontrak yang disepakati. (Baca: Sriwijaya Air Jatuh, Begini Aturan Asuransi Penumpang Kecelakaan Pesawat)

Ketua Bidang Studi Hukum Perdata dan dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Akhmad Budi Cahyono, menerangkan force majeure merupakan pembelaan debitur wanprestasi yang tidak dapat melaksanakan prestasinya sehingga tidak dapat diminta ganti rugi. Namun, dalam kasus jual-beli barang atau jasa, debitur wanprestasi atau penyedia layanan atau penjual tetap harus menanggung atas kerusakan barang apabila pembeli telah membayar atau melunasi.

“Pada intinya force majeure adalah pembelaan debitur wanprestasi, jadi kalau debitur yang tidak bisa melaksanakan prestasinya karena force majeure maka debitur tidak dapat dimintakan ganti rugi. Nah, kemudian yang harus menanggung risiko atau kerugian adalah penjual. Jadi, kalau barang musnah di tengah jalan pada saat diantar maka musnah atau rusaknya barang menjadi risiko atau kerugian penjual. Jika demikian maka penjual harus menggantinya dengan yang baru atau mengembalikan uang pembayaran apabila sudah dibayar atau dilunasi. Jika belum bayar tergantung kesepakatan para pihak apakah akan mengingkari perjanjian atau melanjutkan perjanjian, kalau lanjut maka penjual harus ganti barang yang baru. Kalau tidak diganti pembeli berhak untuk tidak membayar,” jelas Akhmad, Selasa (12/1).

Salah satu contoh kondisi force majeure yang dapat terjadi dalam kasus tiket pesawat. Saat penumpang telah membeli tiket, namun pesawat gagal berangkat karena bencana alam maka maskapai harus mengembalikan uang penumpang. Maskapai juga dapat menjadwal ulang penerbangan jika memungkinkan.

“Pengembalian uang pembelian tiket bukan ganti rugi tapi akibat pembatalan atau pengakhiran perjanjian disebabkan force majeure. Istilahnya lebih tepat restitusi bukan ganti rugi,” jelasnya.

Tapi, penumpang pesawat dapat menuntut kerugian saat pembatalan atau keterlambatan penerbangan karena kerusakan mesin atau selain force majeure. “Nah kalau gagal berangkat karena kerusakan mesin bukan force majeure kalau disebabkan karena kelalaian maskapai untuk melakukan perawatan pesawat secara layak. Nah dalam kasus ini konsumen bisa minta ganti rugi,” jelas Budi. (Baca: Aturan-Aturan Terkait Force Majeur dalam KUH Perdata)

Aturan-aturan Force Majeure

Dalam artikel Hukumonline sebelumnya, berjudul “Aturan-aturan terkait force majeure dalam KUH Perdata”, terdapat beberapa pasal dalam KUH Perdata yang berkaitan dengan pengaturan force majeure.

Pasal 1244 (aturan umum):

Jika ada alasan untuk itu, si berutang harus dihukum mengganti biaya, rugi dan bunga apabila ia tak dapat membuktikan bahwa hal tidak atau tidak pada waktu yang tepat dilaksanakannya perikatan itu, disebabkan karena suatu hal yang tak terduga, pun tidak dapat dipertanggungjawabkan padanya, kesemuanya itu pun jika iktikad buruk tidak ada pada pihaknya”.

Menurut J. Satrio dalam bukunya Hukum Perikatan, Perikatan pada Umumnya (1999), Pasal 1244 KUH Perdata ini memberikan ketentuan tentang adanya kerugian karena tidak dilaksanakannya perjanjian, atau pelaksanaan perikatan tidak tepat waktu karena hal yang tidak terduga, dan tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada debitur, serta tanpa iktikad buruk dari debitur.

Pasal 1245 (ketentuan umum):

Tiadalah biaya rugi dan bunga harus digantinya, apabila lantaran keadaan memaksa atau lantaran suatu kejadian tak disengaja di berutang berhalangan memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau lantaran hal-hal yang sama  telah melakukan perbuatan yang terlarang”.

Berbeda halnya dari Pasal 1244, Pasal 1245 bicara tentang kerugian yang timbul karena ada halangan debitur untuk memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan  oleh karena keadaan memaksa atau lantaran suatu kejadian yang tidak disengaja.

Menurut J. Satrio, rumusan dari kedua pasal ini berbicara tentang halangan-halangan yang muncul sesudah perikatan lahir. Dengan kata lain, halangan dalam pelaksanaan kewajiban perikatan. Ada empat hal yang disebutkan dalam Pasal 1244-1245 KUH Perdata, yang menyebabkan debitur tidak dapat melaksanakan kewajibannya, yaitu hal yang tidak terduga, tidak dapat dipersalahkan kepadanya, tidak disengaja, dan tidak ada iktikad buruk padanya.

Dijelaskan Satrio lebih lanjut, kata ‘keadaan memaksa’ atau overmacht dan ‘hal yang tidak terduga dalam Pasal 1244-1245 ditafsirkan para sarjana punya arti yang sama. Tetapi pada bagian lain, pembentuk undang-undang menggunakan istilah berbeda. Misalnya istilah ‘toeval’ (peristiwa yang tidak terduga) dalam Pasal 1510, 1745, 1746 KUH Perdata, dan pasal 91 KUH Dagang. Ada lagi istilah ‘bloot toeval’ yang dipakai dalam Pasal 1744 KUH Perdata, istilah ‘onvermijdelijk toevallen’ dalam Pasal 1562 dan 1708 KUH Perdata; serta istilah ‘buiten zijn schuld (di luar kesalahannya) dalam Pasal 1564 dan 1715 KUH Perdata. Semua istilah yang dipakai itu memiliki arti yang sama dengan overmacht.

Pasal 1497 (jual beli):

Jika pada waktu dijatuhkannya hukuman untuk menyerahkan barangnya kepada orang lain, ternyata bahwa barang yang dijual telah merosot harganya atau sangat rusak, baik karena disebabkan kelalaian si pembeli maupun karena keadaan memaksa, maka si penjual diwajibkan mengembalikan uang harga seutuhnya”. “Tetapi jika si pembeli telah mendapat manfaat karena kerugian yang disebabkan olehnya, maka si penjual berhak mengurangi uang harga dengan jumlah yang sama dengan keuntungan tersebut”.

Pasal 1510 (jual beli):

Jika barang yang dijual, yang mengandung cacat tersembunyi, musnah disebabkan oleh cacat itu, maka kerugiannya dipikul oleh si penjual, yang terhadap si pembeli diwajibkan mengembalikan yang harga pembelian dan mengganti segala kerugian lainnya yang disebutkan dalam dua pasal terdahulu, tetap kerugian yang disebabkan karena kejadian yang tak disengaja, harus dipikul oleh si pembeli”.

Pasal 1553 (sewa menyewa):

Jika selama waktu sewa, barang yang disewakan musnah karena suatu keadaan yang tidak disengaja, maka persetujuan sewa gugur demi hukum”. “Jika barangnya hanya sebagian musnah, si penyewa dapat memilih, menurut keadaan, apakah ia akan meminta pengurangan harga sewa, ataukah ia akan meminta pembatalan persetujuan sewa; tetapi tidak dalam satu dari kedua hal itu ia berhak atas suatu ganti rugi”.

Pasal 1716 (penitipan barang):

Jika barangnya dengan paksaan dirampas dari tangannya si penerima titipan dan orang ini telah menerima harganya atas suatu barang lain sebagai gantinya, maka ia harus mengembalikannya kepada orang yang menitipkan barang”.

Pasal 1746 (pinjam pakai):

Jika barangnya pada waktu dipinjamkan telah ditaksir harganya maka musnahnya barang, biarpun itu terjadi karena suatu keadaan yang tak disengaja, adalah atas tanggungan si peminjam, kecuali jika diperjanjikan sebaliknya”.

Pasal 1583 (sewa rumah dan perabot):

Pembetulan-pembetulan kecil dan sehari-hari dipikul oleh si penyewa”. “Jika tidak ada persetujuan, maka dianggap bahwa pembetulan pada lemari toko, daun jendela, kunci-kunci dalam, kaca jendela, baik di dalam maupun di luar rumah dan segala sesuatu yang dianggap termasuk itu, menurut kebiasaan setempat”. “Meskipun demikian, pembetulan-pembetulan tersebut harus dipikul oleh pihak yang menyewakan jika pembetulan-pembetulan itu  terpaksa dilakukan karena keadaan rusak dari barang yang disewa atau karena keadaan memaksa”.

Pasal 1602 d (ketenagakerjaan):

Juga si buruh tidak kehilangan haknya atas upah yang ditentukan menurut lamanya waktu, jika ia telah bersedia melakukan pekerjaan yang dijanjikan, tetapi si majikan tidak menggunakannya baik karena salahnya sendiri maupun karena halangan yang tak disengaja yang mengenai dirinya pribadi”.

Ketentuan mengenai force majeure dalam hubungan industrial sudah diatur dalam Pasal 164 ayat (1) UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pasal ini menyebutkan pengusaha dapat melakukan PHK karena perusahaan tutup yang disebabkan perusahaan mengalami kerugian secara terus menerus selama dua tahun, atau keadaan memaksa (force majeur) dengan ketentuan pekerja berhak atas uang pesangon sebesar satu kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar satu kali ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak sebesar ketentuan Pasal 154 ayat (4).

 

Tags:

Berita Terkait